Sep 18, 2019

Nilai - nilai Sosial Dalam Asmaul Husna


asmaul husna, cover

a. Kepekaan Sosial

Kepekaan sosial secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk bereaksi secara cepat dan tepat terhadap objek atau situasi sosial tertentu yang ada di sekitarnya. Bentuk kepekaan sosial lainnya adalah keberanian meminta maaf bila melakukan kesalahan, serta menghargai orang lain yang memiliki kondisi yang berbeda.


Salah satu sifat Allah yang terdapat dalam Asmaul Ḥusna yang mengajarkan kepekaan sosial adalah sifat al-wadūd artinya adalah Allah Yang Maha Mencintai, Mengasihi dan Yang Maha Dicintai. Allah al- Wadūd berarti Allah dicintai makhluk-Nya dan diapun mencintai mereka, kecintaan yang nyata dan membekas dalam kehidupan nyata. Penjelasan Allah tentang sifat ini dapat kita lihat dalam firman-Nya:
إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ
"Sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali)." (Qs Al Buruj : 13).

Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Sementara itu Qurais Shihab menjelaskan bahwa orang yang meneladani sifat ini dituntut untuk selalu mencintai makhluk dan mengharap buat mereka apa yang diharapkan untuk dirinya, seandainya berada pada posisi mereka, bahkan ia mendahulukan mereka diatas kepentingannya sendiri.

b. Kepedulian Sosial

Pengertian kepedulian sosial adalah perasaan bertanggung jawab atas kesulitan yang dihadapi oleh orang lain dan seseorang tersebut terdorong untuk melakukan sesuatu untuk membantunya. Kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat lebih kental diartikan sebagai perilaku baik seseorang terhadap orang lain di sekitarnya. Diantara sifat Allah dalam Asmaul Ḥusna yang mengajarkan kepedulian sosial adalah sifat sifat al-Wahhāb. Allah mempunyai sifat ini artinya Allah adalah Dzat Yang Maha memberi banyak dari milik-Nya walau tanpa dimintai. Dia memberi berulang-ulang tanpa mengharapkan imbalan. Sifat Allah al-Wahhāb ini tergambar dalam doa Nabi Sulaiman yang diabadikan Al-Qur‟an:
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّن بَعْدِي ۖ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi."

Orang yang meneladani sifat ini akan meiliki kepedulian sosial. Ia akan senantiasa siap untuk memberi tanpa mengharapkan imbalan. Dia akan ikhlas memberikan bantuan, karena ia sadar bahwa kesulitan orang yang ada di sekitarnya merupakan tanggung jawabnya juga. Orang yang meneladani sifat ini dituntut untuk berupaya untuk terus menerus memberi sekuat kemampuan. Pemberian tertinggi yang dapat dilakukan manusia adalah memberi tanpa takut neraka atau tanpa mengharap surga, namun itub tidak menjadikan manusia itu sebagai al-wahhāb. Karena hanya Allah lah yang al-Wahhāb.

c. Kerukunan

Kerukunan merupakan kondisi dan proses tercipta dan terpeliharannya pola-pola interraksi yang beragam diantara unit-unit (unsure / sub sistem) yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai, saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai kebersamaan.

Salah satu sifat Allah dalam Asmaul Ḥusna yang dapat diteladani untuk berperilaku rukun adalah sifat al-jāmi', artinya yang menghimpun. Allah SWT berfirman:
رَبَّنَا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَّا رَيْبَ فِيهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya." (Qs Al Imron : 9).

Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. Allah al-Jāmi' menurut Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Quraish Shihab adalah Dia yang menghimpun yang sama, yang berbeda dan yang bertolak belakang. Allah menghimpun yang sama antara lain manghimpun manusia seluruhnya di permukaan bumi dan kelak di padang mahsyar. Allah menghimpun yang berbeda, seperti menghimpun semua langit, planet-planet, udara, bumi, samudra, binatang, tumbuh- tumbuhan, barang tambang yang beraneka macam. Semuanya dalam bentuk, warna, rasa dan sifat yang berbeda, dan dihimpunnya dalam satu alam raya ini. Sedangkang Allah menghimpun yang bertolak belakang adalah semacam menghimpun dalam binatang antara panas dan dingin, lembab dan kering.

Sifat al-Jāmi' ini mengandung nilai kerukunan diantara manusia yang berbeda-beda. Perbedaan merupakan suatu keniscayaan, namun yang diharapkan adalah pola-pola interaksi yang dengan saling menerima dan melengkapi satu sama lain.

Tafsir Q.S. Al-Ḥasyr Ayat 22
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ۖ هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
"Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang."

Al-Biqā'i sebagiaman dikutip Quraish Shihab, berkomentar tentang kata (هو) huwa pada ayat di atas, bahwa Dia Yang wujud-Nya dari Dzat- Nya sendiri sehingga Dia sama sekali tidak disentuh oleh adam (ketiadaan) dalam bentuk apapun. Dan dengan demikian tidak ada wujud yang pantas disifati dengan kata tersebut selain-Nya, karena Dialah yang selalu wujud sejak dahulu hingga kemudian yang tak terhingga. Dialah yang hadir pada setiap benak, dan yang gaib (tidak terjangkau) keangungan-Nya oleh semua indra, dan karena itu pula gunung retak karena takut kepada-Nya. Dengan demikian menurut Quraish Shihab kata (هو) huwa yang mendahului kata al- Raḥmān dan al-Raḥīm berfungsi mengkhususkan kedua sifat itu dalam pengertiannya yang sempurna hanya untuk Allah SWT.

Kata (الله) Allāh sepintas tidak diperlukan lagi karena kata huwa telah menunjuk kepada-Nya. Tetapi ini agaknya untuk menggambarkan semua sifat-sifat-Nya, sebelum menyebut sifat-sifat tertentu, karena kata Allah menunjuk pada Dzat yang wajib wujud-Nya itu dengan semua sifat-sifat- Nya, baik sifat Dzat maupun sifat fi‟il. Apabila dikatakan “Allah”, maka apa yang diucapkan itu telah mencakup nama-nama-Nya yang lain. Sedang bila Anda mengucap nama-Nya yang lain - misalnya al- Raḥīm atau al-Malik maka ia hanya menggambarkan sifat Rahmat atau sifat kepemilikan-Nya.

Kata (الغيب) al-gaib berarti segala sesuatu yang tak tampak di pandangan dari alam raya ini, sedangkan (الشهادة) al-syahādah berarti sebaliknya, yakni segala yang tampak dan tertangkap oleh pandangan. Ada juga mufassir yang mengartikan al-gaib dengan akhirat dan al-syahādah dengan dunia. Serta ada juga yang mengartikan al-gaib dengan rahasia dan al-syahādah dengan terang-terangan.

Sedangkan al-Qurṭubi memaknainya dengan antara yang sudah ada dan yang akan ada. Didahulukannya kata al-gaib atas al-syahādah dalam ayat ini karena sesuatu yang gaib dan tak tampak merupakan ketiadaan yang lebih dahulu adanya sebelum datang sesuatu yang tampak yang wujudnya datang kemudian.

Kata al-raḥmān begitu juga kata al-raḥīm terambil dari kata rahmat. Kata "raḥmat‟ dapat dipahami sebagai sifat żat sehingga "raḥmān‟ dan "raḥīm‟ merupakan sifat zat Allah SWT, dan juga dapat dipahami sebagai sesuatu yang dicurahkan. Menurut pakar bahasa Ibnu Faris, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Rā, Ḥā‟ dan Mīm, mengandung makna "kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan silaturrahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang melahirkan kasih sayang.

Kerabat juga dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin antara anggota-anggotanya. Al-Raḥīm sebagai sifat Allah berarti Dia adalah wujud/dzat yang yang memiliki sifat rahmat, sedangkan al-Raḥmān mempunyai arti bahwa Allah mencurahkan rahmat kepada seluruh makhluk-Nya. Penyebutan sifat al-Raḥmān dan al-Raḥīm setelah menegaskan pengetahuan-Nya yang menyeluruh mengisyaratkan bahwa Dia Maha Mengetahui keadaan makhluk-Nya sehingga semua diberikan rahmat sesuai kebutuhan dan kewajarannya menerima.
Ayat ini sampai ayat terakhir (ayat ke 24) merupakan penutup uraian surah. Sebelum ini berulang-ulang disebut nama Allah atau pengganti nama-Nya serta sifat-sifat-Nya. Kesemuanya menunjuk keagungan Allah SWT. Ayat ini menunjuk-Nya dengan kata “Dia” yakni Dia yang menurunkan al- Qur‟an dan yang disebut-sebut pada ayat-ayat sebelum ayat ini. Sesungguhnya Allah Yang Menurunkan Al-Qur‟an adalah Dzat Yang tiada tuhan yang patut untuk disembah kecuali Dia, tiada tuhan yang lain. Dan setiap sesembahan selain Dia adalah batil. Dan sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Mengetahui segala sesuatu yag samar dari pengindraan dan segala sesuatu yang tampak. Tiada kesamaran sedikitpun bagi-Nya apa yang ada di bumi dan di langit, baik itu barang mulia atau hina, kecil ata besar, baik berupa barang terkecil seperti semut yang hitam yang berada dalam kegelapan, semuanya Allah Tahu. Dan sesungguhnya Dia mempunya rahmat yang luas yang mencakup seluruh makhluk, Dialah dzat yang Maha pengasih dan penyayang baik di dunia ataupun di akhirat.

Dia, Allah Yang tiada tuhan yang berhak disembah, serta tiada Pencipta dan pengendali alam raya selain Dia, Dia Maha Mengetahui yang gaib baik yang nisbiy/relative maupun yang mutlak dan yang nyata. Dikatakan, adalah sama bagi Allah antara yang terang dan rahsia, antara yang Nampak dan tidak tampak, dikatakan juga Allah mengetahui keadaan dunia dan akhirat. Dia-lah saja al-Raḥmān Pencurah rahmat yang bersifat sementara untuk seluruh makhluk dalam pentas kehidupan dunia ini lagi al-Raḥīm Pencurah rahmat yang abadi bagi orang-orang yang beriman di akhirat nanti.

Di dalam Tafsir fī Ẓilalil Qur‟an, Sayyid Quthb dalam menafsiri ayat ini menjelaskan bahwa keyakinan yang kokoh kepada ilmu Allah tentang perkara-perkara lahiriah dan perkara yang tersembunyi akan membangun kesadaran dalam hati tentang pengawasan Allah terhadap perkara perkara yang rahasia dan terang-terangan. Manfaatnya, seorang hamba akan melaksanakan segala sesuatu dengan perasaan diawasi oleh Allah dan mawas diri kepada-Nya. Keyakinan itu akan menghantarkan hamba terhadap perasaan bahwa manusia tidak hidup sendirian walaupun dia sedang menyendiri atau sedang bermunajat. Kemudian selalu disesuaikan dengan perasaan itu, dan hatinya tidak akan melupakan dan melalaikan dirinya sendiri.

Perasaan ketenangan dan damai dalam nurani kepada rahmat Allah dan kenikmatan-Nya akan semakin kokoh. Kemudian antara perasaan ketakutan dengan harapan pun pasti menjadi seimbang dan demikian pula antara perasaan terguncang dengan ketenangan. Dalam pandangan seorang mukmin, Allah tidak akan mengusir hamba-hamba-Nya melainkan hanya mengawasi mereka. Allah tidak menginginkan keburukan bagi mereka, namun menginginkan petunjuk dan kebaikan bagi mereka. Dia tidak membiarkan mereka tanpa pertolongan-Nya menghadapi sendirikejahatan dan hawa nafsunya. Inilah hati seorang hamba ketika menyelami dan meyakini sifat al-Raḥmān dan al-Raḥīm.

No comments:

Post a Comment