Jun 25, 2019

Makna Syi'ir Tanpo Waton


syi'ir tanpo waton, cover

SettiaBlog sering mendengar pujian ini menjelang Maghrib di masjid-masjid dekat rumah. Syiir Tanpo Waton karya Gus Nizam, yang selama ini kerap dianggap sebagai buah karya dari almarhum Gus Dur. Kebanyakan orang hanya merasa asyik mendengar alunan nadanya saja dari kejauhan meski mungkin tak begitu memahami makna Syiir Tanpo Waton itu. Padahal jika dicermati dan diresapi lebih dalam, Syi'ir Tanpo Waton memiliki makna yang luar biasa.


Salah satunya, adalah pada bait yang berbunyi:

Duh bolo konco priyo wanito
(Duhai para pria dan wanita)

Ojo mung ngaji syareat bloko
(Jangan hanya belajar syariat saja)

Gur pinter ndongeng nulis lan moco
(Hanya pandai bicara, menulis dan membaca)

Tembe mburine bakal sengsoro
(Esok hari kelak bakal sengsara)

jika sepintas mendengar bait syair tersebut, kadang ada yang salah mengartikan bahwa bait tersebut menganggap syariat tidak penting.

Padahal jika ditilik lebih saksama, anggapan itu jelas kurang tepat. Karena dalam bait itu tertulis “Ojo mung ngaji syareat bloko…” Ada kata “Ojo mung” di situ yang berarti “Jangan hanya”, maka jelas menyatakan bahwa ilmu syariat itu penting, tapi jangan berhenti belajar hanya sebatas ilmu syariat saja. Karena belajar ilmu yang lebih tinggi dari sekadar ilmu syariat dengan tujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Gusti Allah juga merupakan hal yang wajib bagi kita sebagai manusia agar nasib kita kelak tidak sengsara.

Makna mendalam lainnya, adalah seperti apa yang terdapat pada bait pertama yang berbunyi:

Ngawiti ingsung nglaras syiiran
(Aku memulai menembangkan syiir)
Kelawan muji maring Pangeran
(Dengan memuji kepada Tuhan)
Kang paring rahmat lan kenikmatan
(Yang memberi rahmat dan kenikmatan)
Rino wengine tanpo pitungan
(Siang-malamnya tanpa terhitung)

Dalam bait ini kita diajak insyaf dan sadar betapa rahmat dan kenikmatan Tuhan tercurah tanpa batas siang-malam. Sehingga patut bagi kita memuji-Nya dengan penuh rasa syukur yang mendalam.

Pada bait selanjutnya, yang berbunyi:

Akeh kang apal Qur’an Hadise
(Banyak yang hafal Qur’an dan Hadisnya)
Seneng ngafirke marang liyane
(Senang mengkafirkan kepada orang lain)
Kafire dewe dak digatekke
(Kafirnya sendiri tak dihiraukan)
Yen isih kotor ati akale
(Jika masih kotor hati dan akalnya)

Dalam bait itu disebutkan bahwa betapa banyak orang yang hafal Al-Qur’an dan Hadis namun justru senang mengkafirkan orang lain, sementara kekafiran dirinya sendiri tak pernah diperhatikan. Begitulah sifat mereka yang masih kotor hati dan akalnya. Bukankah gambaran sikap yang demikian dapat kita lihat dalam kehidupan nyata saat ini? Betapa banyak golongan yang merasa dirinya paling paham makna Al-Qur’an dan Hadis lalu mengklaim diri sebagai golongan yang paling benar, dan pada saat yang sama merasa berhak mengkafirkan golongan lain?

Maka apa yang biasanya menimpa golongan yang masih kotor hati dan akalnya tersebut? Maka setidaknya mereka akan berada dalam kondisi sebagaimana yang digambarkan pada bait berikutnya.

Gampang kabujuk nafsu angkoro
(Gampang terbujuk nafsu angkara)
Ing pepaese gebyare ndunyo
(Dalam hiasan gemerlapnya dunia)
Iri lan meri sugihe tonggo
(Iri dan dengki kekayaan tetangga)
Mulo atine peteng lan nisto
(Maka hatinya gelap dan nista)

Pada bait-bait selanjutnya, kita diajak untuk selalu mengingat dan tidak lupa bahwa kewajiban mengaji Al-Qur’an dan mengkaji agama, mesti dibarengi dan dilengkapi dengan segenap paranatanya. Hal ini perlu dilakukan agar iman dan tauhid kita semakin meningkat kadarnya, sehingga bisa menjadi bekal yang memadai saat kematian tiba.

Ayo sedulur jo nglaleake
(Ayo saudara jangan melupakan)
Wajibe ngaji sak pranatane
(Wajibnya mengkaji lengkap dengan aturannya)
Nggo ngendelake iman tauhide
(Untuk mempertebal iman tauhidnya)
Baguse sangu mulyo matine
(Bagusnya bekal mulia matinya)

Lalu apa saja syarat minimal yang mesti dipenuhi agar kita layak disebut sebagai insan shaleh itu? Insan shaleh tak lain adalah mereka yang baik hatinya, mapan dan lengkap ilmunya. Orang yang shaleh adalah mereka yang tekun dan rajin, disiplin dalam menjalankan laku tarekat dan makrifat sehingga ilmu hakikat meresapi kalbunya.

Kang aran sholeh bagus atine
(Yang disebut sholeh adalah bagus hatinya)
Kerono mapan seri ngelmune
(Karena mapan lengkap ilmunya)
Laku thoriqot lan ma’rifate
(Menjalankan tarekat dan ma’rifatnya)
Ugo haqiqot manjing rasane
(Juga hakikat meresap rasanya)

Selain itu, Syiir Tanpo Waton juga mengingatkan kita tentang posisi Al-Qur’an sebagai wahyu mulia yang datang dari Allah SWT. Wahyu yang diibaratkan sebagai perintah tak tertulis namun bisa dibaca (dipahami), yang layak menjadi pedoman hidup bagi kita semua, terlebih karena Al-Qur’an itu merupakan petuah yang ditancapkan langsung oleh Sang Guru Mumpuni ke dalam dada. Hingga menempel di hati dan pikiran, merasuki keseluruhan jiwa dan badan. Itulah Al-Qur’an, mukjizat Rasul sekaligus pedoman dan sarana bagi menghunjamnya iman.

Al Qur’an qodim wahyu minulyo
(Al Qur’an qodim wahyu mulia)
Tanpo tinulis biso diwoco
(Tanpa ditulis bisa dibaca)
Iku wejangan guru waskito
(Itulah petuah guru mumpuni)
Den tancepake ing jero dodo
(ditancapkan di dalam dada)
Kumantil ati lan pikiran
(Menempel di hati dan pikiran)
Mrasuk ing badan kabeh jeroan
(Merasuk dalam badan dan seluruh hati)
Mu’jizat Rosul dadi pedoman
(Mukjizat Rasul (Al-Qur’an) jadi pedoman)
Minongko dalan manjinge iman
(Sebagai sarana jalan masuknya iman)

Selanjutnya, Syiir Tanpo Waton juga mengajak kita pada laku ibadah yang berkesinambungan, dengan ibarat terhubung dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT Yang Maha Suci sepanjang waktu, pagi, siang dan malam. Dengan kesungguhan dan keikhlasan, seraya tak lupa berzikir dan menempuh jalan pendekatan atau suluk kepada-Nya tanpa henti.
Kelawan Alloh Kang Moho Suci
(Kepada Alloh Yang Maha Suci)
Kudu rangkulan rino lan wengi
(Harus mendekatkan diri siang dan malam)
Ditirakati diriyadohi
(Diusahakan dengan sungguh-sungguh secara ikhlas)
Dzikir lan suluk jo nganti lali
(Dzikir dan suluk jangan sampai lupa)

Maka dengan segala daya-upaya yang telah dilakukan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh itu diharapkan agar hidup kita terasa aman, sebagaimana pertanda kehidupan mereka yang beriman. Yakni mereka yang senantiasa tetap mampu bersabar dan bersyukur dalam kondisi hidup pas-pasan, karena yakin sepenuhnya bahwa itulah takdir yang telah ditetapkan Tuhan.

Uripe ayem rumongso aman
(Hidupnya tenteram merasa aman)
Dununge roso tondo yen iman
(Mantapnya rasa tandanya beriman)
Sabar narimo najan pas-pasan
(Sabar menerima meski hidupnya pas-pasan)
Kabeh tinakdir saking Pangeran
(Semua itu adalah takdir dari Tuhan)

Di bait-bait terakhir, Syiir Tanpo Waton kembali mengajak kita agar menjalani kehidupan yang senantiasa rukun tanpa pertengkaran, baik dengan sesama teman, saudara, maupun tetangga. Karena hidup damai dalam prinsip rahmatan lil ‘alamin itu sesungguhnya merupakan Sunah Rasul mulia, Nabi panutan dan teladan kita dalam berakhlak; akhlak dalam berteman, bersaudara, bertetangga dan bermasyarakat.

Kelawan konco dulur lan tonggo
(Terhadap teman, saudara dan tetangga)
Kang podho rukun ojo dursilo
(Yang rukunlah jangan bertengkar)
Iku Sunahe Rosul kang mulyo
(Itu Sunahnya Rosul yang mulia)
Nabi Muhammad panutan kito
(Nabi Muhammad tauladan kita)

Di bait-bait akhir, Syiir Tanpo Waton menegaskan kepada kita bahwa semua amalan mulia itu sungguh layak dilakukan keseluruhannya tanpa keraguan sedikitpun, dengan keyakinan penuh bahwa dengan semua itulah maka Allah akan berkenan mengangkat derajat kita. Betapapun rendahnya kondisi lahiriah kita dalam pandangan manusia, tapi insya Allah, Dia yang akan meninggikan maqam kita di hadapan-Nya.

Ayo nglakoni sakabehane
(Ayo jalankan semuanya)
Alloh kang bakal ngangkat drajate
(Allah yang akan mengangkat derajatnya)
Senajan asor toto dhohire
(Walaupun rendah tampilan lahiriahnya)
Ananging mulyo maqom drajate
(Namun mulia maqam derajatnya di sisi Allah)

Akhirnya, ketika akhir hidup kita telah tiba, dan saatnya kita kembali menghadap ke haribaan-Nya, maka insya Allah roh dan sukma kita takkan tersesat, melainkan Allah berkenan menempatkan kita di surga-Nya. Bahkan dalam kondisi utuh jasad dan kain kafan kita, sebagaimana jasad para wali dan kekasih-Nya.

Lamun palastro ing pungkasane
(Ketika ajal telah datang di akhir hayatnya)
Ora kesasar roh lan sukmane
(Tidak tersesat roh dan sukmanya)
Den gadang Alloh swargo manggone
(Dirindukan Allah surga tempatnya)
Utuh mayyite ugo ulese
(Utuh jasadnya juga kain kafannya)

No comments:

Post a Comment