Jun 14, 2019

Buruknya Perbuatan Bakhil



Secara difinisi, bakhil adalah perbuatan hati dari menahan sesuatu yang bersifat wajib. Orang bakhil adalah seseorang yang menahan apa yang mestinya dia tidak boleh menahannya, entah atas dasar ketentuan syara' atau entah atas dasar kelaziman dari perilaku jujur. Dengan demikian, apabila seseorang telah melaksanakan sesuatu yang wajib menurut syara' dan hal-hal yang lazim secara jujur yang disertai dengan keikhlasan dalam mengeluarkannya, maka orang ini tidak dapat disebut bakhil.
Barangsiapa yang melaksanakan ketentuan syara' dan kelaziman dari perilaku jujur, berarti dia telah terlepas dari sifat bakhil. Akan tetapi dia belumlah memiliki sifat kedermawanan, selagi tidak mau mengeluarkan harta bendanya (kekayaannya) lebih dari itu.

Suatu contoh, bila ada seseorang yang mengeluarkan zakat, namun dengan penuh tanggungjawab juga memberikan nafkah kepada keluarganya perbuatan orang ini adalah wajib berdasarkan syara'. Sedangkan yang bersifat lazim, seseorang itu di dalam mengeluarkan harta bendanya tidak owel, karena dia tidak mau dihinakan oleh kekayaannya. Perbuatan orang ini telah membebaskannya dari sifat bakhil, tetapi belum dapat disebut sebagai orang yang dermawan. Bila menginginkan jenjang spititual yang lebih tinggi, yaitu sebagai seorang yang dermawan, maka dia secara rela dan senang dengan merahasiakan segala apa yang telah dikeluarkan dari harta kekayaannya dalam jurnlah yang banyak, semata untuk mencari ridla Allah SWT.

Jadi, dapatlah dipahami bahwa sesuatu yang dipandang buruk pada diri orang yang kaya belum tentu dipandang buruk pada diri orang miskin. Sebaliknya, apa yang dipandang buruk pada diri seseorang karena menyusahkan keluarga, kerabat dan tetangganya dalam urusan makanan, belum tentu dianggap buruk pada diri orang tersebut.

Yang paling parah adalah, bila seseorang itu telah bakhil terhadap dirinya sendiri, sekalipun dia membutuhkannya. Dalam realitas kehidupan sosial masyarakat kita, berapa banyak orang bakhil yang tidak mau membelanjakan hartanya; meski dia dalam keadaan sakit yang parah. Di kehidupannya seorang yang bakhil cenderung mengabaikan kepentingan dirinya sendiri di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Orang seperti ini mempunyai kecederungan yang sangat terhadap pemenuhan hawa nafsunya. Padahal hal ini telah diwasiatkan Nabi SAW, "Wahai Ali! Barangsiapa menentang hawa nafsunya, maka surgalah tempatnya kembali. Dan barangsiapa menuruti hawa nafsunya, maka neraka Jahanamlah tempatnya kembali" (Sayyid Abdul Wahhab Sya'rani)

Perilaku bakhil diakibatkan oleh cintanya pada harta benda yang berlebihan. Sehingga memandang sebelah mata terhadap selain harta benda yang dimaksudkannya. Manakala seseorang itu telah mengidap penyakit bakhil, maka dalam kehidupan kesehariannya tidak mempunyai kecenderungan rasa keberagamaan yang ketat. Sebaliknya, totalitas kehidupannya didasarkan pada untung dan rugi saja. Artinya, seorang yang bakhil di dalam melakukan aktifitas hidupnya dengan menjadikan `untung dan rugi' sebagai parameter yang diyakininya akan membawa keberuntungannya, kesejahteraannya, keberhasilannya, dan kebahagiaannya.

Jadi, apabila sesuatu itu menurutnya dapat membawa keberuntungannya, maka apa pun cara pasti akan dilakukannya. Namun, bila sesuatu itu dipandang merugikannya, maka dia akan membiarkannya begitu saja. Orang seperti ini tidak lagi mempercayai, apalagi mengimani sesuatu yang ghaib yang berada sisi Allah SWT. Orang seperti ini tidak lagi percaya dengan ajaran kesabaran, ketawakkalan, dan syukur. Bahkan pada kulminasinya orang seperti ini tidak lagi percaya pada konsep pahala, adanya surga dan neraka, dan terjadinya siksa kubur. Guru kami pernah berkata, "'Orang seperti itu seandainya disuruh memilih untuk mendapatkan telur hari ini, dan mendapatkan ayam satu minggu lagi. Niscaya dia akan memilih untuk mendapatkan telur hari ini karena sudah dapat dilihat barangnya, dan menurutnya itu adalah sebuah kepastian. Inilah orang yang tidak pernah paham dan mau memahami ayat Allah."

Seseorang mencintai harta kekayaaan itu lebih di karenakan oleh: Pertama, Menuruti hawa nafsunya; dan Kedua, Cintanya kepada harta benda.

Secara substansi mengobati penyakit hati senantiasa harus dilawan dengan kebalikannya. Suatu misal, mengobati penyakit cinta kepada nafsu harus dilawan dengan perilaku qana'ah dan perilaku sabar. Mengobati seseorang yang mempunyai angan-angan yang muluk-muluk dengan banyak melakukan dzikrul-maut. Mengobati orang yang mempunyai perangai takabur mesti dilawan dengan perilaku ikhlas dan perilaku tawadlu'. Begitu pula dengan penyakit bakhil, dia hanya dapat dilawan dengan perilaku dermawan. Hingga suatu ketika Nabi SAW pernah berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib RA, "Wahai Ali! Seorang yang pemurah itu dekat dengan Allah, dekat dengan rahmatullah, dan jauh dari siksa Allah. Dan sebaliknya, seorang yang bakhil itu jauh dari Allah, jauh dari rahmatullah, dan dekat dengan siksa Allah" (Sayyid Abdul Wahhab Sya'rani).

Perilaku dermawan hanya dapat dilakukan, bila dalam kehidupannya telah mampu mendahulukan kepentingan orang lain. Dia rela memberikan hartanya kepada orang lain, padahal dia sendiri juga rnernbutuhkannya. Dia tidak pernah mengukur dirinya dengan sebuah parameter yang namanya `harga diri', karena seorang yang dermawan hanya mencari nilai di sisi Allah SWT bukan popularitas atau sanjungan orang lain. Sebagaimana telah diwasiatkan Nabi SAW kepada Ali bin Abi Thalib RA, "Wahai Ali! Sayanglah kepada saudaramu, seperti kamu menyayangi diri-mu sendiri" (Sayyid Abdul Wahhab Sya'rani).

Ada sebuah teladan yang dapat dijadikan contoh buat kita. Sebut saja namanya, Abu Kautsar, dia seorang direktur dari sebuah perusahan yang cukup bergengsi. Namun dia rela dan ikhlas harus angkat jinjing sayuran dan ikan, bahkan keluar masuk di pasar-pasar tradisional pada malam hari setelah pulang kantor, demi untuk membantu istrinya dalam usaha catering, padahal di dalam usaha cateringnya sama sekali tidak mencari profit. Dikarenakan usaha cateringnya itu untuk rmendidik anak-anak santri, yang hasilnya digunakan untuk membantu sebuah panti asuhan, sebuah pesantren, dan pengembangan dakwah Islam guna menghadapi upaya pe-murtad-an yang dilakukan kaum Nasrani terhadap `orang-orang miskin yang tinggal di karnpung sebelahnya.

Bagi keluarga Abu Kautsar uang itu dapat dicari, akan tetapi persaudaraan dan mempersaudarakan sesama rnuslim dalam kekuatan akidah islamiah merupakan cita-cita yang hendak diwujudkannya di sisa umurnya. Sehingga praktis kehidupan keluarganya diarahkan untuk kepentingan dakwah Islam, termasuk usaha cateringnya pun sebagai sarana 'dakwah melalui makanan'. Sedemikian pentingnya perilaku dermawan, sampai-sampai Nabi Muhammad SAW mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib RA supaya tidak lupa dengan berderma untuk ahlinya yang telah meninggal dunia, sebagaimana telah diriwayatkan Sayyid Abdul Wahhab Sya'rani RA dalam bukunya al-Bayaanul Mushaffa fii Washiyyatil Musthafaa, Nabi SAW bersabda, `Wahai Ali! Bersedekahlah untuk orang-orang mati-mu, sebab Allah telah menyuruh malaikat supaya membawa sedekah orang-orang yang hidup untuk orang-orang yang telah meninggal dunia. Mereka (para ahli kubur) sangat gembira sebagaimana mereka bergembira ketika di dunia. Lalu mengatakannya, `Ya Allah ampunilah orang-orang yang menerangi kubur kami, dan berilah mereka kabar gembira dengan surga; sebagaimana kami diberi kabar gembira dengan surga'."

Dari kenyataan-kenyataan di atas, maka Imam Ibnu Qudamah berpesan kepada kita dengan mengatakan, Jika banyak hal yang dicintai di dunia, maka hanyak pula musibah yang dirasakannya, dikarenakan dia tidak mendapatkannya. Barangsiapa yang mengetahui bencananya harta kekayaan, sudah barang tentu tidak akan mau bersanding dengannya. Barangsiapa yang mengambil sekadar untuk memenuhi kebutuhannya dan menyimpan sekadar untuk memenuhi kebutuhannya, maka dia bukanlah orang yang bakhil."

Guru kami mengatakan, "Budi pekerti yang baik merupakan anugerah Allah SWT yang diletakkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya." Kita hanya dapat berdoa, "Ya Allah, dan segala apa yang telah Engkau jauhkan dari kami segala apa yang kami cintai. Jadikanlah (anugerah itu) sebagai kesempatan buat kami untuk mengerjakan segala apa yang Engkau cintai."

No comments:

Post a Comment