Video klip di atas ada "so fine" dan "don't cry". Itu SettiaBlog ambil dari albumnya GnR, Ilusion 1 dan Ilusion 2. Kalau kedua judul lagu tersebut di gabungkan kira - kira memiliki arti apa ya. "So fine" kalau dalam bahasa gaul biasa di artikan sangat cantik, sangat tampan, pokoknya yang memperlihatkan ekspresi bahagia. "Don't cry" biasa di artikan jangan menangis atau jangan bersedih. Jadi gabungan kata so fine dan don't cry, kali ini SettiaBlog artikan 'kamu akan terlihat cantik jika ndak bersedih'. Wes, mulai ngacau SettiaBlog, mengartikan bahasa orang kok seenaknya gitu. He... he... ngacau - ngacau dikit kan ndak apa - apa, yang penting Its Fine I'm Fine Everything Is Fine. Thu kan tambah ngacau. Ilusion sendiri biasa di artikan Ilusi. Ilusi adalah fenomena di mana persepsi seseorang tentang dunia nyata atau pengalaman sensorik mereka menjadi berbeda dari kenyataan. Misalnya kayak Ilusi optik pada pensil yang dicelupkan sebagian dalam air akan terlihat patah. O.. ya SettiaBlog, kalau 'rumput tetangga terlihat lebih hijau' itu termasuk ilusi apa? Lha... Mbuuh... he... he...
Mengapa kita cenderung melakukan kritik kepada orang lain? Mengapa pula kita amat sibuk dengan diri kita sendiri, seolah kita takut kehilangan momentum atau kesempatan? Sungguh sebuah pertanyaan kecil dengan alternatif jawaban yang ndak mudah. Memang, ketika segala sesuatu di sekitar kita bergerak dan berubah dengan cepat, kita acapkali mengalami kegagapan apakah kita akan mengikuti perubahan itu, atau berhenti sejenak kemudian melakukan refleksi, atau bertanya secara mendalam kepada diri kita sendiri. “Is it the world that’s busy, or is it my mind?” Dalam praktik kehidupan, kita umumnya cenderung memisahkan antara (kehidupan) dunia dan (kehidupan) pikiran kita. Kita sejak lama telah mendisposisikan diri bahwa antara dunia dan pikiran sebagai dua entitas yang terpisah. Satu sama lain seperti berdiri sendiri dan independen.
Mari kita perhatikan sejenak praktik kehidupan harian kita. Misalkan kalau ada teman kita yang bertanya: mana pikiran kamu, maka kita selalu mengacu kepada sesuatu yang ada di dalam kepala. Kita kemudian menunjuk kepala kita. Kalau kita ditanya apakah kamu mempunyai atau memiliki perasaan, emosi, maka kita langsung menunjuk kepada letak hati kita di dalam tubuh kita sendiri. Kita jarang sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu dengan cara menunjuk sesuatu yang ada di luar diri kita sendiri, misalnya menunjuk langit untuk menjawab di mana letak pikiran kita. Atau menunjuk mobil atau cuaca untuk melukiskan perasaan dan emosi kita. Praktik kehidupan seperti di atas merupakan cermin bahwa persepsi yang ada di dalam diri kita telah memberi batas atau membatasi. Ia memberi batas tentang apa yang ada di dalam pikiran kita, dan apa yang (tersedia) ada di luar pikiran kita. Pikiran kita diletakkan dalam satu entitas terpisah dengan apa yang terjadi di dunia (kehidupan) luar, 'the outside world'.
Kalau kita perhatikan secara seksama, pemisahan yang bersifat tegas antara pikiran dan (praktik) dunia kehidupan merupakan sebuah ilusi yang ada pada diri kita. Kita mengatakan bahwa kehidupan kita amat sibuk, misalnya, itu adalah ilusi kita yang ada di dalam diri kita. Kehidupan sibuk adalah sesuatu yang ditentukan oleh pikiran kita, 'our mind'. Pikiran kitalah yang mengatakan bahwa kita sibuk. Pikiran kitalah yang menentukan kita begini atau kita begitu. Pikiran kitalah yang mengendalikan penilaian subyektif terhadap pengalaman kehidupan dunia yang kita lalui. Pikiran kita yang lebih menentukan apakah praktik kehidupan kita akan bahagia, menderita, emosional, gembira, menyenangkan, menyebalkan, mencla-mencle, atau bahkan memuakkan.
Kita sering melihat kehidupan dunia di luar kita sebagai sesuatu yang menjadi bagian kecil dari kehidupan yang lebih luas. Sebuah kehidupan yang lebih sempit dari kehidupan yang lebih universal. Pada ketika itu, kita kemudian melihat bahwa praktik kehidupan seolah menjadi terbatas. Apa yang dapat kita kerjakan hanyalah sebatas apa yang ada pada diri kita. Kita seolah-olah hanya ‘ditentukan untuk bisa mengerjakan sesuatu yang terbatas’. Kita lupa atau ndak menyadari bahwa pembatasan tersebut merupakan ulah dari pikiran kita. Pikiran kitalah yang memberi rambu-rambu, membatasi dirinya sendiri. Padahal realitas kehidupan begitu luas. Ia menyediakan begitu banyak kemungkinan.
The world comes to exist because we are aware of it. We cannot live in a reality of which we are unaware. The world depend on our minds in order to exist, just as our minds depend on the world as the subject of our Awareness.
Itu sebabnya pikiran kitalah yang membawa kehidupan dunia itu menjadi sesuatu yang hadir di tengah kita. Pikiran kitalah yang fokus terhadap kehidupan dunia kita. Dengan kata lain, “what our minds focus on become our world”.
Dalam menjalani kehidupan seperti sekarang ini, di mana dunia informasi dipenuhi dengan kebohongan, hoaks, kebohongan massal, manipulasi, 'bungkus-bungkus', saling disinformasi, kuasi kebenaran, maka kita harus memiliki kesadaran bahwa apa yang tersaji di hadapan kita adalah produk dari pikiran-pikiran (terbatas) orang. Apa yang tersaji belum tentu mencerminkan itulah isinya yang benar. Kita harus menyediakan diri untuk memfungsikan pikiran kita untuk menguji apakah pikiran orang lain itu merepresentasikan kebenaran (universal), atau semua itu hanya sebatas hasil dari sebuah pikiran (orang lain) yang terbatas.
Narasi-narasi yang sekarang muncul ke permukaan kehidupan bersama kita merupakan penglihatan dari pikiran-pikiran yang terbatas itu. Oleh sebab itu, kita harus dapat menyikapinya secara bijak, tenang, rileks, dan enjoyful. Dengan demikian, kita bisa berkehidupan dengan seimbang, lebih bisa menahan emosi, ndak mudah bersikap negatif.
When your mind is joyful and compassionate, the world is, too. When your mind is filled with negative thoughts, the world appears negative, too.
Tugas kita sekarang adalah bagaimana kita menjaga agar pikiran kita selalu berada di dalam rel kehidupan positif, sehingga kita bisa melakukan praktik kehidupan bersama dengan lebih bahagia dan sejahtera. Selamat mengembalikan pikiran ke arah yang positif, semoga kita semua berhasil menjalankannya, dan berpraktik kehidupan dengan lebih terhormat.
Mengapa kita cenderung melakukan kritik kepada orang lain? Mengapa pula kita amat sibuk dengan diri kita sendiri, seolah kita takut kehilangan momentum atau kesempatan? Sungguh sebuah pertanyaan kecil dengan alternatif jawaban yang ndak mudah. Memang, ketika segala sesuatu di sekitar kita bergerak dan berubah dengan cepat, kita acapkali mengalami kegagapan apakah kita akan mengikuti perubahan itu, atau berhenti sejenak kemudian melakukan refleksi, atau bertanya secara mendalam kepada diri kita sendiri. “Is it the world that’s busy, or is it my mind?” Dalam praktik kehidupan, kita umumnya cenderung memisahkan antara (kehidupan) dunia dan (kehidupan) pikiran kita. Kita sejak lama telah mendisposisikan diri bahwa antara dunia dan pikiran sebagai dua entitas yang terpisah. Satu sama lain seperti berdiri sendiri dan independen.
Mari kita perhatikan sejenak praktik kehidupan harian kita. Misalkan kalau ada teman kita yang bertanya: mana pikiran kamu, maka kita selalu mengacu kepada sesuatu yang ada di dalam kepala. Kita kemudian menunjuk kepala kita. Kalau kita ditanya apakah kamu mempunyai atau memiliki perasaan, emosi, maka kita langsung menunjuk kepada letak hati kita di dalam tubuh kita sendiri. Kita jarang sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu dengan cara menunjuk sesuatu yang ada di luar diri kita sendiri, misalnya menunjuk langit untuk menjawab di mana letak pikiran kita. Atau menunjuk mobil atau cuaca untuk melukiskan perasaan dan emosi kita. Praktik kehidupan seperti di atas merupakan cermin bahwa persepsi yang ada di dalam diri kita telah memberi batas atau membatasi. Ia memberi batas tentang apa yang ada di dalam pikiran kita, dan apa yang (tersedia) ada di luar pikiran kita. Pikiran kita diletakkan dalam satu entitas terpisah dengan apa yang terjadi di dunia (kehidupan) luar, 'the outside world'.
Kalau kita perhatikan secara seksama, pemisahan yang bersifat tegas antara pikiran dan (praktik) dunia kehidupan merupakan sebuah ilusi yang ada pada diri kita. Kita mengatakan bahwa kehidupan kita amat sibuk, misalnya, itu adalah ilusi kita yang ada di dalam diri kita. Kehidupan sibuk adalah sesuatu yang ditentukan oleh pikiran kita, 'our mind'. Pikiran kitalah yang mengatakan bahwa kita sibuk. Pikiran kitalah yang menentukan kita begini atau kita begitu. Pikiran kitalah yang mengendalikan penilaian subyektif terhadap pengalaman kehidupan dunia yang kita lalui. Pikiran kita yang lebih menentukan apakah praktik kehidupan kita akan bahagia, menderita, emosional, gembira, menyenangkan, menyebalkan, mencla-mencle, atau bahkan memuakkan.
Kita sering melihat kehidupan dunia di luar kita sebagai sesuatu yang menjadi bagian kecil dari kehidupan yang lebih luas. Sebuah kehidupan yang lebih sempit dari kehidupan yang lebih universal. Pada ketika itu, kita kemudian melihat bahwa praktik kehidupan seolah menjadi terbatas. Apa yang dapat kita kerjakan hanyalah sebatas apa yang ada pada diri kita. Kita seolah-olah hanya ‘ditentukan untuk bisa mengerjakan sesuatu yang terbatas’. Kita lupa atau ndak menyadari bahwa pembatasan tersebut merupakan ulah dari pikiran kita. Pikiran kitalah yang memberi rambu-rambu, membatasi dirinya sendiri. Padahal realitas kehidupan begitu luas. Ia menyediakan begitu banyak kemungkinan.
The world comes to exist because we are aware of it. We cannot live in a reality of which we are unaware. The world depend on our minds in order to exist, just as our minds depend on the world as the subject of our Awareness.
Itu sebabnya pikiran kitalah yang membawa kehidupan dunia itu menjadi sesuatu yang hadir di tengah kita. Pikiran kitalah yang fokus terhadap kehidupan dunia kita. Dengan kata lain, “what our minds focus on become our world”.
Dalam menjalani kehidupan seperti sekarang ini, di mana dunia informasi dipenuhi dengan kebohongan, hoaks, kebohongan massal, manipulasi, 'bungkus-bungkus', saling disinformasi, kuasi kebenaran, maka kita harus memiliki kesadaran bahwa apa yang tersaji di hadapan kita adalah produk dari pikiran-pikiran (terbatas) orang. Apa yang tersaji belum tentu mencerminkan itulah isinya yang benar. Kita harus menyediakan diri untuk memfungsikan pikiran kita untuk menguji apakah pikiran orang lain itu merepresentasikan kebenaran (universal), atau semua itu hanya sebatas hasil dari sebuah pikiran (orang lain) yang terbatas.
Narasi-narasi yang sekarang muncul ke permukaan kehidupan bersama kita merupakan penglihatan dari pikiran-pikiran yang terbatas itu. Oleh sebab itu, kita harus dapat menyikapinya secara bijak, tenang, rileks, dan enjoyful. Dengan demikian, kita bisa berkehidupan dengan seimbang, lebih bisa menahan emosi, ndak mudah bersikap negatif.
When your mind is joyful and compassionate, the world is, too. When your mind is filled with negative thoughts, the world appears negative, too.
Tugas kita sekarang adalah bagaimana kita menjaga agar pikiran kita selalu berada di dalam rel kehidupan positif, sehingga kita bisa melakukan praktik kehidupan bersama dengan lebih bahagia dan sejahtera. Selamat mengembalikan pikiran ke arah yang positif, semoga kita semua berhasil menjalankannya, dan berpraktik kehidupan dengan lebih terhormat.
Untuk video klip kedua SettiaBlog kasih "don't stop believing'. Kita boleh kehilangan segalanya, namun jangan kehilangan kepercayaan. Kepercayaan itu ndak hanya mahal, tetapi juga ndak ada yang ngejual. Kendati pandai setinggi langit, namun jika tanpa kepercayaan, kita susah berbuat dan mendapat apa-apa. Pendapatan dan penghasilan kita sesungguhnya diperoleh dari berbagai aktivitas yang bersinggungan dengan orang lain. Kita menjadi pimpinan, misalnya, karena dipercaya oleh masyarakat di sekitar kita. Orang mau berbisnis hingga hidup bersama kita juga karena ada kepercayaan. Hampir ndak ditemukan aktivitas di dunia ini yang ndak mensyaratkan adanya kepercayaan. Jika demikian, kepercayaan mutlak dibutuhkan dalam setiap hubungan dan pergaulan keseharian kita.
Menurut pakar, kepercayaan mendasari orang untuk mau atau ndak mau melakukan sesuatu atas permintaan kita. Kepercayaan menjadi dasar dari keyakinan seseorang untuk berani mengambil keputusan dan kemudian berani melakukan tindakan. Sebaliknya, tanpa kepercayaan, siapa saja pasti ragu dalam mengambil keputusan, dan apalagi melakukan tindakan. Kepercayaan lahir dari kejujuran. Karena itu, kejujuran diyakini sebagai harta paling berharga dalam pergaulan hidup ini. Faktor utama sukses dakwah Rasulullah SAW ialah karena beliau sangat jujur dan dapat dipercaya sampai-sampai digelari Al-Amin. Gelar Al-Amin menjadi modal penting Rasulullah SAW menjalankan misi kenabian dan usaha perdagangan.
Ndak pernah sekalipun Rasulullah SAW berbohong. Dapat dipahami, dalam sebuah hadis dikatakan bahwa akhlak paling Rasulullah SAW benci ialah berbohong. Sementara orang yang paling kubenci dan tempatnya paling jauh dariku kelak dihari kiamat adalah mereka yang keras dan rakus, suka menghina dan sombong” (HR. Tirmizi).
Pengalaman membuktikan, sukses besar seseorang dalam menjalankan bisnis apa saja, ndak terlepas dari kepercayaan orang lain kepadanya. Uang bukan modal utama dan segala-galanya dalam berbisnis. Modal utama adalah kepercayaan. Dengan kepercayaan, seseorang bahkan mampu memulai dan menjalankan bisnis tanpa modal uang sedikit pun. Rasulullah SAW, misalnya. Sebagai pedagang, beliau sebenarnya bukan pemilik modal. Namun, karena dikenal sebagai pemuda yang jujur dan teguh memegang janji, orang lalu merasa nyaman berbisnis, bahkan menitipkan uang. Nilai-nilai kejujuran itu harus menjadi teladan bagi setiap Muslim yang ingin meraup sukses dalam aktivitas di bidang apa aja. Dan, jika dibilang menanamkan kepercayaan itu ndak mudah, menjaga kepercayaan lebih susah lagi. Menanam kepercayaan perlu pembuktian, menjaga kepercayaan butuh kewaspadaan.
Ringkasnya, menjaga kepercayaan perlu kewaspadaan ekstra untuk ndak sampai berbuat salah. Sekali berbuat salah, sulit bagi kita memperoleh kepercayaan. Emha Ainun Nadjib bilang: Kalau kamu berbuat baik seribu kali, jangan berharap ada orang memujimu. Tetapi kalau kamu berbuat salah sekali saja, kamu harus siap akan ada seribu orang yang mengutukmu.
Udah ya, maaf in SettiaBlog.
Menurut pakar, kepercayaan mendasari orang untuk mau atau ndak mau melakukan sesuatu atas permintaan kita. Kepercayaan menjadi dasar dari keyakinan seseorang untuk berani mengambil keputusan dan kemudian berani melakukan tindakan. Sebaliknya, tanpa kepercayaan, siapa saja pasti ragu dalam mengambil keputusan, dan apalagi melakukan tindakan. Kepercayaan lahir dari kejujuran. Karena itu, kejujuran diyakini sebagai harta paling berharga dalam pergaulan hidup ini. Faktor utama sukses dakwah Rasulullah SAW ialah karena beliau sangat jujur dan dapat dipercaya sampai-sampai digelari Al-Amin. Gelar Al-Amin menjadi modal penting Rasulullah SAW menjalankan misi kenabian dan usaha perdagangan.
Ndak pernah sekalipun Rasulullah SAW berbohong. Dapat dipahami, dalam sebuah hadis dikatakan bahwa akhlak paling Rasulullah SAW benci ialah berbohong. Sementara orang yang paling kubenci dan tempatnya paling jauh dariku kelak dihari kiamat adalah mereka yang keras dan rakus, suka menghina dan sombong” (HR. Tirmizi).
Pengalaman membuktikan, sukses besar seseorang dalam menjalankan bisnis apa saja, ndak terlepas dari kepercayaan orang lain kepadanya. Uang bukan modal utama dan segala-galanya dalam berbisnis. Modal utama adalah kepercayaan. Dengan kepercayaan, seseorang bahkan mampu memulai dan menjalankan bisnis tanpa modal uang sedikit pun. Rasulullah SAW, misalnya. Sebagai pedagang, beliau sebenarnya bukan pemilik modal. Namun, karena dikenal sebagai pemuda yang jujur dan teguh memegang janji, orang lalu merasa nyaman berbisnis, bahkan menitipkan uang. Nilai-nilai kejujuran itu harus menjadi teladan bagi setiap Muslim yang ingin meraup sukses dalam aktivitas di bidang apa aja. Dan, jika dibilang menanamkan kepercayaan itu ndak mudah, menjaga kepercayaan lebih susah lagi. Menanam kepercayaan perlu pembuktian, menjaga kepercayaan butuh kewaspadaan.
Ringkasnya, menjaga kepercayaan perlu kewaspadaan ekstra untuk ndak sampai berbuat salah. Sekali berbuat salah, sulit bagi kita memperoleh kepercayaan. Emha Ainun Nadjib bilang: Kalau kamu berbuat baik seribu kali, jangan berharap ada orang memujimu. Tetapi kalau kamu berbuat salah sekali saja, kamu harus siap akan ada seribu orang yang mengutukmu.
Udah ya, maaf in SettiaBlog.
No comments:
Post a Comment