Oct 19, 2018

Mengenal Rangkaian Bunga Ikebana



Berbicara tentang Ikebana sama dengan membicarakan sejarah Ikenobo, karena Ikebana lahir bersamaan dengan lahirnya Ikenobo lebih dari 500 tahun yg lampau. Ikebana berawal dari Kuil Rokkakudo yang dibangun oleh seorang Pangeran yang bernama Pangeran Shotoku didekat kolam tempat ia mandi.
Kemudian dia mempercayakan seorang pendeta untuk menjadi pimpinan kuil tersebut, sebagai pimpinan kuil Rokkakudo, rangkaian bunga dipakai sebagai persembahan untuk Buddha setiap pagi dan malam.

Untuk mengenang Pangeran Shotoku, maka ia mulai merangkai bunga dipondok dekat kolam itu. Dia bernama Ono-no-Imoko yang menjadi pelopor Ikenobo. Ono-no-Imoko lahir dari seorang bangsawan yang menjadi pendeta Buddha, pada permulaan abad ke-7. Ono-no-Imoko mempelajari seni merangkai bunga dari Cina sebagai pelengkap altar Buddha, selain dupa dan lilin. Ketiga elemen itu disebut mitsugusoki. Wadah yang digunakan terbuat dari logam dan berbentuk tinggi dengan bunga asli yang mempunyai lebar bervariasi. Itulah sebabnya karya seni ikebana menggambarkan kehidupan spiritual dan sikap mental dari si perangkainya. Ono-no-Imoko berhasil menurunkan Ikenobo dari generasi ke generasi. Setelah berabad abad, pengikut Ikenobo makin dikenal sebagai ahli dalam seni merangkai Ikebana.

Saat ini banyak sekali aliran Ikebana yang muncul yang semuanya berasal dari Ikenobo itu sendiri. Oleh sebab itu Ikebana Ikenobo sering disebut sebagai “the origin of Ikebana”.

Ada beberapa hal yang berbeda antara rangkaian Ikebana dengan rangkaian- rangkaian lain yang ada didunia ini antara lain :



1. Merangkai gaya Ikebana tidak sekedar menancapkan materi floral kedalam wadah, tetapi harus disertai kesadaran agar rangkaian itu dapat merefleksikan keindahan alami materi floral itu,baik bunganya, daunnya juga ranting yang dipakai.

2. Rangkaian Ikebana tidak sekedar berfungsi sebagai dekorasi saja, tapi antar si perangkai dan mereka yang melihat rangkaian itu tercipta komunikasi atau lebih tepat dikatakan rangkaian Ikebana seakan berbicara dengan orang yang menatapnya.

3. Rangkaian Ikebana sangat menekankan pada ‘space’ Dalam rangkaian Ikebana, perubahan waktu juga sering direfleksikan dalam rangkaian misalnya penggunaan materi floral yang kuncup menggambarkan waktu yang akan datang, bunga yang sedang mekar sebagai gambaran masa kini dan daun- daun yang agak menguning sebagai kejadian yang sudah lampau.

Sejak sekitar pertengahan abad ke-15, Ikebana berubah statusnya dari yang sebelumnya sebagai symbol keagamaan menjadi bentuk seni yang bebas. Dan sejak Di pertengahan zaman Edo hingga akhir zaman Edo, Ikebana yang dulunya hanya bisa dinikmati kalangan bangsawan atau kaum samurai secara berangsur-angsur mulai disenangi rakyat kecil.

Pada zaman itu, Ikebana gaya Shōka (seika) menjadi populer di kalangan rakyat. Yang kemudian lambat laun sejalan dengan perjalanan waktu, tumbuh sekolah-sekolah Ikebana, terjadi perubahan style dan menjadi lebih sederhana untuk semua lapisan masyarakat Jepang.

Aliran Mishōryū, aliran Koryū, aliran Enshūryū dan aliran Senkeiryū melahirkan banyak guru besar dan ahli Ikebana yang memiliki teknik tingkat tinggi yang kemudian memisahkan diri membentuk banyak aliran yang lain.

Ikebana mulai diperkenalkan ke Eropa pada akhir zaman Edo hingga masa awal era Meiji. Ketika itu minat orang Eropa terhadap kebudayaan Jepang mencapai puncaknya. Ikebana dianggap mempengaruhi seni merangkai bunga Eropa yang mencontoh Ikebana dalam line arrangement.

Gaya Rangkaian Ikebana

Ada 3 gaya dalam Ikebana, yaitu : rikka, shoka dan jiyuka.


a. Rikka (Standing Flower) adalah ikebana gaya tradisional yang banyak dipergunakan untuk perayaan keagamaan. Gaya ini menampilkan keindahan landscape tanaman. Gaya ini berkembang sekitar awal abad 16. Ada 7 keutamaan dalam rangkaian gaya Rikka, yaitu : shin, shin-kakushi, soe, soe- uke, mikoshi, nagashi dan maeoki.


b. Shoka adalah rangkaian ikebana yang tidak terlalu formal tapi masih tradisional. Gaya ini difokuskan pada bentuk asli tumbuhan. Ada 3 unsur utama dalam gaya Shoka yaitu : shin, soe, dan tai. Sesuai dengan perkembangan zaman, sesudah Restorasi Meiji 1868, gaya ini lebih berkembang karena adanya pengaruh Eropa Nageire arti bebasnya “dimasukan” (rangkaian dengan vas tinggi dengan rangkaian hampir bebas) dan Moribana. rangkaian menggunakan wadah rendah dan mulut lebar). Lalu pada tahun 1977 lahir gaya baru yaitu Shoka Shimputai, yang lebih modern, terdiri dari 2 unsur utama yaitu shu dan yo, dan unsur pelengkapnya, ashirai.


c. Jiyuka adalah rangkaian Ikebana bersifat bebas dimana rangkaiannya berdasarkan kreativitas serta imaginasi. Gaya ini berkembang setelah perang dunia ke-2. Dalam rangkaian ini kita dapat mempergunakan kawat,logam dan batu secara menonjol.

Makna Ikebana Bagi Masyarakat Jepang

a. Ikebana sebagai ungkapan keindahan Sebagai negara yang modern, jepang masih memiliki sesuatu yang menjadi ciri khasnya. Kekhasan Jepang adalah, meskipun Jepang telah menjadi Negara yang modern, tetapi Jepang masih mempertahankan unsur tradisi keindahan yang sangat kuat. Rangkaian ikebana mengupayakan keselarasan antar bunga yang dirangkai. Bagi pandangan orang Jepang, bunga yang besar dan banyak tidak selalu lebih baik dari bunga yang kecil dan berjumlah sedikit. Karena walaupun bunganya kecil dan jumlahnya sedikit, apabila tersusun dengan keserasian warna dan bentuk, tentu akan menghasilkan sesuatu yang indah. Dengan menentukan letak, fungsi, dan ukuran dahan-dahan yang digunakan dalam rangkaian, dimana hal tersebut bermakna bahwa setiap dahan itu akan saling mendukung untuk menghasilkan rangkaian yang terbaik. Rangkaian ikebana mengacu pada kesederhanaan, keindahan, materi, warna dan bentuk. Setiap dahan memiliki fungsi masing-masing. Misalnya dari tiga dahan utama yang menggambarkan langit, manusia, dan bumi. Dalam rangkaian ikebana sekuntup bunga dapat memberikan suatu makna, apabila dikaitkan dengan keberadaan manusia dan makhlik hidup lainnya mencerminkan suatu hal yang juga akan dialami semua makhluk hidup yaitu kehidupan dan kematian atau dua sisi yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi.

Orang Jepang dalam memandang rangkaian bunga lebih melihat makna yang terdapat di dalamnya. Orang Jepang menganggap bahwa bunga seolah dapat ikut berbicara seperti manusia, oleh sebab itu bunga sering dibawa untuk mengungkapkan tujuan dan maksud yang ingin diutarakannya. Jadi bunga bagi orang Jepang merupakan lambang keindahan dan suatu sarana untuk mengungkapakan kesan dan perasaannya. Selain itu dari bunga mereka dapat melihat ketidakkekalan yang ada dalam hidup ini.

b. Ikebana Sebagai Simbol Keharmonisan Alam Nilai estetika yang dianut oleh bangsa Jepang yaitu harmonisasi dengan alam, alam menjadi inspirasi utama dalam menciptakan suatu kreasi. Jepang merupakan suata bangsa dengan budaya yang mempunyai rasa seni antara kehidupan dan alam. Dalam suatu karya seni orang Jepang menganggap bahwa memasukkan unsur alam ke dalam karya seni adalah hal yang mutlak. Karena bagi orang Jepang alam cenderung dianggap sebagai suatu bentuk eksistensi yang paling indah dan paling tinggi, dimana disitulah manusia hidup. Alam bagi orang Jepang sangat berharga karena selain tempat manusia hidup juga merupakan sesuatu dimana manusia sangat tergantung kepadanya. Orang Jepang memiliki perasaan dekat dengann alam dan hal ini sudah berlangsung sejak lama. Mereka akan dapat menangkap makna yang terdapat dalam fenomena yang ada di alam.

Jepang memperlakukan alam seolah-olah seperti teman dekatnya dan rasa ketertarikan terhadap kecintaan alam sama seperti ketertarikan mereka akan kecantikan yang dimiliki manusia. Dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa menghargai sesuatu yang alami telah menjadi satu kesatuan dalam kehidupan orang Jepang yang memiliki konsep hidup yang sederhana.

c. Ikebana Sebagai Simbol terciptanya Keselarasan Dalam Interaksi Sosial Pada Masyakat Jepang Ada berbagai macam bentuk untuk menunjukkan hubungan dan keharmonisan antara sesama manusia. Di Jepang, masyarakat mewujudkan hal ini dalam sebuah rangkaian bunga. Dalam rangkaian bunga ikebana terdapat dahan jin yang melambangkan manusia. Tidak hanya dengan alam, masyarakat Jepang dalam hubunganya dengan manusia juga mengutamakan chowa atau harmoni dengan lingkungan sekitarnya yang berarti bahwa segala perbuatan dan tingkah laku mereka sebagai manusia sedapat mungkin tidak bertentangan dengan alam. Masyarakat Jepang sangat menyadari bahwa hubungan yang baik dengan sesama manusia harus dilakukan karena bagaimanapun juga, manusia adalah bagian dari alam dan manusia tidak akan dapat hidup tanpa bantuan dari alam. Perasaan dekat dengan alam dapat dikatakan segabagai warisan dari kepercayaan asli masyarakat Jepang yaitu Shinto yang sangat mengagungkan pemujaan terhadap alam. Dan pemujaan terhadap alam merupakan suatu bentuk penghargaan mereka terhadap alam.

No comments:

Post a Comment