Pada bahasan kali SettiaBlog gunakan background Belimbing Wuluh dan bunganya, kebetulan pohon Belimbing Wuluh di sini baru pertama berbuah. Untuk video klipnya SettiaBlog kasih " ceilings" milik Lizzy McAlpine.
Ceiling bisa di artikan langit - langit atau batas atas. Seperti kita ketahui bahwasanya banyak sekali pendapat yang mengatakan bahwa langit 7 lapis ( langit sap pitu ~ orang Jawa bilang), dalam Al-Qur’an juga di jelaskan adanya langit 7 lapis.
“Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?" (baca Surah Al-Mulk Ayat 3)
Ada pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud “lapisan” bukanlah wujud yang berlapis-lapis seperti halnya rainbow cake, akan tetapi ketujuh lapisan tersebut semakin meningkat kedudukannya sesuai dengan bertambah tingkat dimensi nya. Pertambahan tingkat dimensi ketujuh lapisan langit tersebut hanya bisa digambarkan dengan memproyeksikannya ke langit pertama (dimensi ruang yang dihuni oleh kita) yang berdimensi tiga. Karena hanya ruang berdimensi tiga inilah yang bisa difahami oleh kita. Kita bisa menganalogikannya sebagai berikut: Ketika Anda akan menggambar bangun berdimensi 3 kayak balok atau kubus. Tentu akan di mulai dengan sebuah garis berdimensi 1 tersusun dari titik-titik dalam jumlah ndak terbatas. Kemudian garis-garis tersebut disusun dalam jumlah ndak terbatas hingga menjadi sebuah luasan berdimensi 2. Jika luasan-luasan serupa ini ditumpuk ke atas dalam jumlah yang ndak terbatas, maka akan terbentuk sebuah balok (ruang berdimensi 3). Kesimpulannya adalah sebuah ruang berdimensi tertentu tersusun oleh ruang berdimensi lebih rendah dalam jumlah yang ndak terbatas. Atau dengan kata lain ruang yang berdimensi lebih rendah dalam jumlah yang ndak terbatas akan menyusun menjadi ruang berdimensi yang lebih tinggi. Misalnya, ruang 3 dimensi – dimensi ruang yang sekarang dihuni oleh kita ini – dengan jumlah ndak terbatas menyusun menjadi satu ruang berdimensi empat. Dan langit pertama dimulai dari ruang tiga dimensi yang sekarang kita huni, lapisan langit selanjutnya adalah berdimensi 4, 5 dan seterusnya sampai langit ketujuh adalah berdimensi 9.
Langit pertama
Ruang berdimensi 3 yang dihuni oleh makhluk berdimensi 3, yakni manusia, binatang, tumbuhan dan benda-benda berwujud 3 dimensi lainnya baik yang ada di bumi maupun di luar angkasa seperti planet dan benda langit. Seperti disebutkan pada ayat 11-12 Surah Fushshilat, maka yang disebut langit yang dekat tersebut adalah langit dunia kita ini atau disebut juga alam semesta kita ini. Digambarkan bahwa langit yang dekat itu dihiasi dengan bintang-bintang yang cemerlang, dan memang itulah isi yang utama dari alam semesta. Bintang-bintang membentuk galaksi dan kluster hingga superkluster. Planet-planet sesungguhnya hanyalah pecahan dari bintang-bintang itu. Seperti tata surya kita, matahari adalah sebuah bintang dan sembilan planet yang mengikatinya adalah pecahannya, atau pecahan bintang terdekat lainnya. Sedangkan tokoh utama di langit pertama ini adalah kita manusia yang mendiami bumi, planet anggota tata surya. Langit pertama ini ndak terbatas namun berhingga. Artinya batasan luasnya ndak diketahui tapi sudah bisa dipastikan ada ujungnya. Diperkirakan diameter alam semesta mencapai 30 miliar tahun cahaya. Artinya jika cahaya dengan kecepatannya 300 ribu km/detik melintas dari ujung yang satu ke ujung lainnya, maka dibutuhkan waktu 30 miliar tahun untuk menempuhnya.
Apabila digambarkan bentuknya kira-kira seperti sebuah bola dengan bintik-bintik di permukaannya. Di mana bintik-bintik tersebut adalah bumi dan benda-benda angkasa lainnya. Apabila kita berjalan mengelilingi permukaan bola berkeliling, akhirnya kita akan kembali ke titik yang sama. Permukaan bola tersebut adalah dua dimensi. Sedangkan alam semesta yang sesungguhnya adalah ruang tiga dimensi yang melengkung seperti permukaan balon. Jadi penggambarannya sangat sulit sekali sehingga diperumpamakan dengan sisi bola yang dua dimensi agar memudahkan penjelasannya.
Langit kedua
Langit kedua adalah langit berdimensi empat dengan komponen penyusunnya adalah langit berdimensi 3. Jika langit ketiga dihuni makhluk berdimensi 3, di langit ini belum jelas dihuni oleh siapa saja. Kemungkinan yang menghuninya adalah jin dan makhluk berdimensi 4 lainnya. Apabila digambarkan posisi langit kedua terhadap langit pertama adalah seperti gambaran balon pertama tadi. Di mana bagian permukaan balon berdimensi 2 adalah alam dunia kita yang berdimensi 3, sedangkan ruangan di tempati balon yang berdimensi 3 adalah langit kedua berdimensi 4. Jadi apabila kita melintasi alam dunia harus mengikuti lengkungan bola, akibatnya perjalanan dari satu titik ke titik lainnya harus menempuh jarak yang jauh. Sedangkan bagi bangsa jin yang berdimensi 4 mereka bisa dengan mudah mengambil jalan pintas memotong di tengah bola, sehingga jarak tempuh menjadi lebih dekat.
Langit ketiga
Kemungkinan langit ketiga yang berdimensi 5 di dalamnya “hidup” arwah dari orang-orang yang sudah meninggal. Mereka juga menempati langit keempat sampai dengan langit keenam. Langit ketiga ini bersama-sama dengan langit ketiga lainnya menyusun langit keempat dan seterusnya hingga langit ketujuh yang berdimensi 9. Bisa dibayangkan betapa besarnya langit ketujuh itu. Karena ia adalah jumlah kelipatan ndak terbatas dari langit dunia (langit pertama) yang dihuni oleh manusia. Berarti langit dunia kita ini berada dalam struktur langit yang enam lainnya, termasuk langit yang ketujuh ini. Jika alam akhirat, surga dan neraka terdapat di langit ke tujuh, maka bisa dikatakan surga dan neraka itu begitu dekat dengan dunia kita tapi berbeda dimensi. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa langit dunia kita ini merupakan bagian dari struktur langit ketujuh. Berarti alam dunia ini merupakan bagian terkecil dari alam akhirat. Penjelasan ini sesuai dengan hadist Nabi:
“Perbandingan antara alam dunia dan akhirat adalah seperti air samudera, celupkanlah jarimu ke samudera, maka setetes air yang ada di jarimu itu adalah dunia, sedangkan air samudera yang sangat luas adalah akhirat”.
Perumpamaan setetes air samudera di ujung jari tersebut menggambarkan dua hal:
1.Ukuran alam dunia dibandingkan alam akhirat adalah seumpama setetes air di ujung jari dengan keseluruhan air dalam sebuah samudera. Hal ini adalah penggambaran yang luar biasa betapa luasnya alam akhirat itu.
2.Keberadaan alam dunia terhadap alam akhirat yang diibaratkan setetes air berada dalam samudera. Perumpamaan tersebut menunjukkan bahwa alam dunia merupakan bagian dari alam akhirat, hanya ukurannya yang ndak terbatas kecilnya. Begitu juga dengan kualitas dan ukuran segala hal, baik itu kebahagiaan, kesengsaraan, rasa sakit, jarak, panas api, dan lain sebagainya, di mana ukuran yang dirasakan di alam dunia hanyalah sedikit sekali.
“Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?" (baca Surah Al-Mulk Ayat 3)
Ada pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud “lapisan” bukanlah wujud yang berlapis-lapis seperti halnya rainbow cake, akan tetapi ketujuh lapisan tersebut semakin meningkat kedudukannya sesuai dengan bertambah tingkat dimensi nya. Pertambahan tingkat dimensi ketujuh lapisan langit tersebut hanya bisa digambarkan dengan memproyeksikannya ke langit pertama (dimensi ruang yang dihuni oleh kita) yang berdimensi tiga. Karena hanya ruang berdimensi tiga inilah yang bisa difahami oleh kita. Kita bisa menganalogikannya sebagai berikut: Ketika Anda akan menggambar bangun berdimensi 3 kayak balok atau kubus. Tentu akan di mulai dengan sebuah garis berdimensi 1 tersusun dari titik-titik dalam jumlah ndak terbatas. Kemudian garis-garis tersebut disusun dalam jumlah ndak terbatas hingga menjadi sebuah luasan berdimensi 2. Jika luasan-luasan serupa ini ditumpuk ke atas dalam jumlah yang ndak terbatas, maka akan terbentuk sebuah balok (ruang berdimensi 3). Kesimpulannya adalah sebuah ruang berdimensi tertentu tersusun oleh ruang berdimensi lebih rendah dalam jumlah yang ndak terbatas. Atau dengan kata lain ruang yang berdimensi lebih rendah dalam jumlah yang ndak terbatas akan menyusun menjadi ruang berdimensi yang lebih tinggi. Misalnya, ruang 3 dimensi – dimensi ruang yang sekarang dihuni oleh kita ini – dengan jumlah ndak terbatas menyusun menjadi satu ruang berdimensi empat. Dan langit pertama dimulai dari ruang tiga dimensi yang sekarang kita huni, lapisan langit selanjutnya adalah berdimensi 4, 5 dan seterusnya sampai langit ketujuh adalah berdimensi 9.
Langit pertama
Ruang berdimensi 3 yang dihuni oleh makhluk berdimensi 3, yakni manusia, binatang, tumbuhan dan benda-benda berwujud 3 dimensi lainnya baik yang ada di bumi maupun di luar angkasa seperti planet dan benda langit. Seperti disebutkan pada ayat 11-12 Surah Fushshilat, maka yang disebut langit yang dekat tersebut adalah langit dunia kita ini atau disebut juga alam semesta kita ini. Digambarkan bahwa langit yang dekat itu dihiasi dengan bintang-bintang yang cemerlang, dan memang itulah isi yang utama dari alam semesta. Bintang-bintang membentuk galaksi dan kluster hingga superkluster. Planet-planet sesungguhnya hanyalah pecahan dari bintang-bintang itu. Seperti tata surya kita, matahari adalah sebuah bintang dan sembilan planet yang mengikatinya adalah pecahannya, atau pecahan bintang terdekat lainnya. Sedangkan tokoh utama di langit pertama ini adalah kita manusia yang mendiami bumi, planet anggota tata surya. Langit pertama ini ndak terbatas namun berhingga. Artinya batasan luasnya ndak diketahui tapi sudah bisa dipastikan ada ujungnya. Diperkirakan diameter alam semesta mencapai 30 miliar tahun cahaya. Artinya jika cahaya dengan kecepatannya 300 ribu km/detik melintas dari ujung yang satu ke ujung lainnya, maka dibutuhkan waktu 30 miliar tahun untuk menempuhnya.
Apabila digambarkan bentuknya kira-kira seperti sebuah bola dengan bintik-bintik di permukaannya. Di mana bintik-bintik tersebut adalah bumi dan benda-benda angkasa lainnya. Apabila kita berjalan mengelilingi permukaan bola berkeliling, akhirnya kita akan kembali ke titik yang sama. Permukaan bola tersebut adalah dua dimensi. Sedangkan alam semesta yang sesungguhnya adalah ruang tiga dimensi yang melengkung seperti permukaan balon. Jadi penggambarannya sangat sulit sekali sehingga diperumpamakan dengan sisi bola yang dua dimensi agar memudahkan penjelasannya.
Langit kedua
Langit kedua adalah langit berdimensi empat dengan komponen penyusunnya adalah langit berdimensi 3. Jika langit ketiga dihuni makhluk berdimensi 3, di langit ini belum jelas dihuni oleh siapa saja. Kemungkinan yang menghuninya adalah jin dan makhluk berdimensi 4 lainnya. Apabila digambarkan posisi langit kedua terhadap langit pertama adalah seperti gambaran balon pertama tadi. Di mana bagian permukaan balon berdimensi 2 adalah alam dunia kita yang berdimensi 3, sedangkan ruangan di tempati balon yang berdimensi 3 adalah langit kedua berdimensi 4. Jadi apabila kita melintasi alam dunia harus mengikuti lengkungan bola, akibatnya perjalanan dari satu titik ke titik lainnya harus menempuh jarak yang jauh. Sedangkan bagi bangsa jin yang berdimensi 4 mereka bisa dengan mudah mengambil jalan pintas memotong di tengah bola, sehingga jarak tempuh menjadi lebih dekat.
Langit ketiga
Kemungkinan langit ketiga yang berdimensi 5 di dalamnya “hidup” arwah dari orang-orang yang sudah meninggal. Mereka juga menempati langit keempat sampai dengan langit keenam. Langit ketiga ini bersama-sama dengan langit ketiga lainnya menyusun langit keempat dan seterusnya hingga langit ketujuh yang berdimensi 9. Bisa dibayangkan betapa besarnya langit ketujuh itu. Karena ia adalah jumlah kelipatan ndak terbatas dari langit dunia (langit pertama) yang dihuni oleh manusia. Berarti langit dunia kita ini berada dalam struktur langit yang enam lainnya, termasuk langit yang ketujuh ini. Jika alam akhirat, surga dan neraka terdapat di langit ke tujuh, maka bisa dikatakan surga dan neraka itu begitu dekat dengan dunia kita tapi berbeda dimensi. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa langit dunia kita ini merupakan bagian dari struktur langit ketujuh. Berarti alam dunia ini merupakan bagian terkecil dari alam akhirat. Penjelasan ini sesuai dengan hadist Nabi:
“Perbandingan antara alam dunia dan akhirat adalah seperti air samudera, celupkanlah jarimu ke samudera, maka setetes air yang ada di jarimu itu adalah dunia, sedangkan air samudera yang sangat luas adalah akhirat”.
Perumpamaan setetes air samudera di ujung jari tersebut menggambarkan dua hal:
1.Ukuran alam dunia dibandingkan alam akhirat adalah seumpama setetes air di ujung jari dengan keseluruhan air dalam sebuah samudera. Hal ini adalah penggambaran yang luar biasa betapa luasnya alam akhirat itu.
2.Keberadaan alam dunia terhadap alam akhirat yang diibaratkan setetes air berada dalam samudera. Perumpamaan tersebut menunjukkan bahwa alam dunia merupakan bagian dari alam akhirat, hanya ukurannya yang ndak terbatas kecilnya. Begitu juga dengan kualitas dan ukuran segala hal, baik itu kebahagiaan, kesengsaraan, rasa sakit, jarak, panas api, dan lain sebagainya, di mana ukuran yang dirasakan di alam dunia hanyalah sedikit sekali.
Di atas tadi SettiaBlog lagi ngomongin apa c? Ya, lupain aja dan maaf in SettiaBlog. Untuk background kedua ini SettiaBlog gunakan buah Kluwih yang udah di potong - potong dan di buat sayur lodeh. Biasanya di Jaw sayur lodeh Kluwih merupakan uborampe dari Nasi Tumpeng. Di keraton Yogyakarta sana Kluwih memiliki makna "Kaluwargo luwihono anggone gulowentah gatekne" yang berarti keluarga harus diperhatikan dengan banyak memberi nasihat dan perhatian. Dalam perkembangannya
Lodeh Kluwih dan Sukun
Sayur lodeh, sayur yang dimasak dengan santan. Santan yang adalah sari perasan dari kelapa matang, melambangkan intisari dari suatu tujuan dan doa. Yakni esensi termurni yang telah melalui serangkaian proses pematangan. Lodeh juga dapat diartikan sebagai 'lodeh' yang dalam bahasa Jawa berarti tinular (tersebarkan).
Adapun buah kluwih (Artocarpus camansi) sejenis sukun yang dibaut sayur lodeh bermakna dari kata kluwih itu sendiri. Dalam perkembangannya di masyarakat ada yang diartikan sebagai keluwihan/linuwih yakni kelebihan dan keutamaan. "Lodeh kluwih" dimaksudkan sebagai bentuk kelebihan dan keutamaan yang di-lodehkan (ditularkan) pada lingkungan. Dengan kata lain, setiap keutamaan dan kelebihan manusia harus memberi manfaat pada manusia dan lingkungan sekitarnya. Maka kluwih juga merupakan simbol dari panjatan do'a.
Dalam cara dan jarak pandang Langit Pertama, yang dipahami oleh mayoritas ummat manusia sampai abad ini: manusia itu debu kecil di Spektrum Tujuh Langit yang luasnya ndak terukur dan ndak terjangkau. Tetapi di dalam pengertian “dzat” Khaliq dan kemakhlukan, Tujuh Langit itu berada di dalam jagat batin setiap manusia.
Langit Pertama itu Kasat atau Nadhar atau Luar atau Njaba atau Katon atau lazim disebut Materi dan Materialisme. Materi dan Materialisme adalah pasal pertama yang dikhalifahi oleh manusia dengan bekal Khalaq atau daya ubah atau ikhtiar atau daya olah atau kreativitas. Hewan memakan rumput dan daun, manusia mengolahnya menjadi sayuran, sebagaimana padi diberaskan kemudian dinasikan dan diolah menjadi bermacam-macam pewujudan baru. Serta segala bahan materiil di tangan kreatif manusia. Sejak awal Manusia sudah mengandung Langit Ketiga di dalam diri kemakhlukannya, tetapi kalau ndak mampu mengambil keputusan atas skala prioritas olah kemanusiaannya, maka ummat manusia akan terjebak dan keserimpet di antara Langit Pertama dan Langit Kedua: yakni peradaban dan ideologi materialisme yang dibangun dengan peralatan kapitalisme.
Manusia yang Pendidikannya sejak bayi belajar mengetahui dan menyadari Langit Ketiga atau Langit Batin atau Dunia Dalam atau Ruh atau Rohaniah, kehidupannya akan terbangun berdasarkan kemenyatuan dan keseimbangan antara Luar dan Dalam, Dunia dan Akhirat, makrokosmis dan mikrokosmos, sangkan paraning dumadi. Burung saja bisa membangun Susuh atau rumahnya, maka bukan keistimewaan kalau manusia mampu bikin rumah dan Gedung-gedung. Tetapi keistimewaan manusia adalah memiliki alat atau cara untuk mengerti posisi dan koordinat “Susuh”nya dalam alur atau peta sangkan paraning dumadi. Manusia mengerti rumah sejatinya di surga, menyadari bumi dan dunia tempat pengembaraan atau “outbond” sementaranya, serta berjuang untuk “mudik” ke kampung halaman sejatinya yakni Jannatun-Na’im. Keistimewaan makhluk manusia itu disediakan oleh Sang Pencipta di Langit Keempat. Di dalamnya ada ilmu hingga ngelmu, ada kata dan bahasa, ada deskripsi dan kognisi, ada peta perjalanan, ada pangkal dan ujung yang keduanya adalah titik yang sama.
Dengan fasilitas itu di Langit Kelima manusia ditugasi untuk tajmil atau memperindah kehidupan dengan batu bata kebenaran dan semen kebaikan, atau “mamayu hayuning bawana”. Dititipi “rahmatan lil’alamin”. Dan itu semua pada Langit Keenam ndak ada alternatif lain kecuali manusia mempersembahkannya kepada Maha Sangkan Paran, Ilaihi roji’un. Sehingga setiap titik, garis, bidang dan ruang, setiap benda, peristiwa dan pengalaman, diilmui oleh manusia sebagai manifestasi dari kemenyatuan konsep Dunia dan Akhirat sekaligus. Itu satu-satunya jalan untuk menjalani kehidupan di arus dinamis “Inna lillahi wa inna ilaiHi roji’un”.
Jika kehidupan pribadi dan keluarga, interaksi sosial, bangunan kebudayaan dan suluk peradaban dijalani oleh manusia secara eskalatif dari Langit Pertama sampai ke Langit Keenam, muncullah “kun fayakun” perkenan Allah untuk nyawiji atau menyatu atau manunggal atau bertauhid dan mentauhid dengan-Nya di Langit Ketujuh. Itulah Ilmu dan pengetahuan yang diijtihadi oleh Maiyah bersama semua jaringan masyarakat untuk memahami dan menjalani eskalasi suluk perjalanan untuk membangun Islam dan menemukan “Silmi”, yang himpunan tetesan-tetesannya menjadi Telaga Haudl atau Al-Kautsar
Udah ya, tambah ngacau bahasan SettiaBlog.
Dalam cara dan jarak pandang Langit Pertama, yang dipahami oleh mayoritas ummat manusia sampai abad ini: manusia itu debu kecil di Spektrum Tujuh Langit yang luasnya ndak terukur dan ndak terjangkau. Tetapi di dalam pengertian “dzat” Khaliq dan kemakhlukan, Tujuh Langit itu berada di dalam jagat batin setiap manusia.
Langit Pertama itu Kasat atau Nadhar atau Luar atau Njaba atau Katon atau lazim disebut Materi dan Materialisme. Materi dan Materialisme adalah pasal pertama yang dikhalifahi oleh manusia dengan bekal Khalaq atau daya ubah atau ikhtiar atau daya olah atau kreativitas. Hewan memakan rumput dan daun, manusia mengolahnya menjadi sayuran, sebagaimana padi diberaskan kemudian dinasikan dan diolah menjadi bermacam-macam pewujudan baru. Serta segala bahan materiil di tangan kreatif manusia. Sejak awal Manusia sudah mengandung Langit Ketiga di dalam diri kemakhlukannya, tetapi kalau ndak mampu mengambil keputusan atas skala prioritas olah kemanusiaannya, maka ummat manusia akan terjebak dan keserimpet di antara Langit Pertama dan Langit Kedua: yakni peradaban dan ideologi materialisme yang dibangun dengan peralatan kapitalisme.
Manusia yang Pendidikannya sejak bayi belajar mengetahui dan menyadari Langit Ketiga atau Langit Batin atau Dunia Dalam atau Ruh atau Rohaniah, kehidupannya akan terbangun berdasarkan kemenyatuan dan keseimbangan antara Luar dan Dalam, Dunia dan Akhirat, makrokosmis dan mikrokosmos, sangkan paraning dumadi. Burung saja bisa membangun Susuh atau rumahnya, maka bukan keistimewaan kalau manusia mampu bikin rumah dan Gedung-gedung. Tetapi keistimewaan manusia adalah memiliki alat atau cara untuk mengerti posisi dan koordinat “Susuh”nya dalam alur atau peta sangkan paraning dumadi. Manusia mengerti rumah sejatinya di surga, menyadari bumi dan dunia tempat pengembaraan atau “outbond” sementaranya, serta berjuang untuk “mudik” ke kampung halaman sejatinya yakni Jannatun-Na’im. Keistimewaan makhluk manusia itu disediakan oleh Sang Pencipta di Langit Keempat. Di dalamnya ada ilmu hingga ngelmu, ada kata dan bahasa, ada deskripsi dan kognisi, ada peta perjalanan, ada pangkal dan ujung yang keduanya adalah titik yang sama.
Dengan fasilitas itu di Langit Kelima manusia ditugasi untuk tajmil atau memperindah kehidupan dengan batu bata kebenaran dan semen kebaikan, atau “mamayu hayuning bawana”. Dititipi “rahmatan lil’alamin”. Dan itu semua pada Langit Keenam ndak ada alternatif lain kecuali manusia mempersembahkannya kepada Maha Sangkan Paran, Ilaihi roji’un. Sehingga setiap titik, garis, bidang dan ruang, setiap benda, peristiwa dan pengalaman, diilmui oleh manusia sebagai manifestasi dari kemenyatuan konsep Dunia dan Akhirat sekaligus. Itu satu-satunya jalan untuk menjalani kehidupan di arus dinamis “Inna lillahi wa inna ilaiHi roji’un”.
Jika kehidupan pribadi dan keluarga, interaksi sosial, bangunan kebudayaan dan suluk peradaban dijalani oleh manusia secara eskalatif dari Langit Pertama sampai ke Langit Keenam, muncullah “kun fayakun” perkenan Allah untuk nyawiji atau menyatu atau manunggal atau bertauhid dan mentauhid dengan-Nya di Langit Ketujuh. Itulah Ilmu dan pengetahuan yang diijtihadi oleh Maiyah bersama semua jaringan masyarakat untuk memahami dan menjalani eskalasi suluk perjalanan untuk membangun Islam dan menemukan “Silmi”, yang himpunan tetesan-tetesannya menjadi Telaga Haudl atau Al-Kautsar
Udah ya, tambah ngacau bahasan SettiaBlog.
No comments:
Post a Comment