Jul 9, 2018

Positivity di Tengah Zaman Edan


Bagi saya, lima tahun terakhir dan lima tahun ke depan adalah zaman edan sekaligus zaman waras. Terkejut? Nanti dulu! Ada alasannya kok. Kenapa saya sebut zaman edan? Karena semuanya berjalan berbalik arah. Terus, kenapa pula disebut zaman waras? Karena memang begitulah seharusnya.
Nah, lho!, Argumen ini setidaknya-tidaknya bisa ditelusuri dari lima tren bisnis, selama lima tahun terakhir hingga lima tahun ke depan. Mari kita preteli satu persatu.

Pursuit for Spirituality, itulah tren bisnis yang pertama. Konon pada zaman nabi, spesies manusia adalah makhluk spiritual. Namun sepeninggal nabi, perlahan - lahan spesies ini menjelma menjadi makhluk rasional. Tidak cukup sampai di situ! Seiring perjalanan waktu, spesies manusia berubah lagi, dari makhluk rasional menjadi makhluk emosional.

Proses ini masih terus berlanjut. Anehnya, memasuki milenium kedua prosesnya seolah-olah berbalik arah. Spesies manusia malah kembali menjadi makhluk spiritual, mirip-mirip zaman nabi (meskipun jauh berbeda dari segi pemaknaan, intensitas dan lain-lain). Setidaknya-tidaknya, spesies manusia mulai kangen sentuhan-sentuhan spiritual, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbisnis. All goes spiritual.

Kitab-kitab suci pun kembali diintip dan dikutip oleh pelaku bisnis. Bahkan Businees Week pernah membuat satu liputan khusus tentang pengaruh Bhagavad Gita dari India dalam kancah bisnis akhir-akhir ini. Kapitalisme Karma, kata mereka. Begitu pula petuah-petuah klasik China. Hal yang mengejutkan dan menakjubkan, seluruh Megatrend ala pemikir dunia Patricia Aburdene berakar dari satu terminologi. Apa itu? Spiritualitas! Istilah Patricia Aburdene, Conscious Capitalism.

Tren bisnis yang kedua tidak lain ialah Societal Marketing, yang merupakan turunan dari Pursuit for Spirituality. Dahulu, sembari menjalankan usaha, seorang pedagang amat peka terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitarnya , meski tanpa dipaksa. Pikir si pedagang, "Jangan sampai saya mengotori lingkungan, jangan sampai saya mengganggu masyarakat." Begitulah kira-kira. Kemudian, tibalah Revolusi Industri. Lalu gampang ditebak, perkara-perkara tersebut pun terabaikan.

Nah, bagaimana dengan lima tahun terakhir? Tanpa disangka-sangka, semuanya malah berbalik arah! Atas nama Societal Marketing, di samping dituntut untuk menjaga integritasnya, kini pelaku bisnis juga didesak untuk melek akan lingkungan dan masyarakat di sekelilingnya. Yah, sebuah keniscayaan memang. Dalam konteks ini , sukar mencari contoh yang lebih representatif dari pada Body Shop. Dalam menjalankan proses produksi maupun pemasaran, mereka sangat concern akan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya.

Tren bisnis yang ketiga adalah People Power. Dalam wacana ini, people yang di maksud tidak lain adalah konsumen. Sebelum revolusi industri, bagaimana sih seorang konsumen melakukan sebuah transaksi? Semisal ia membutuhkan kemeja. Apa yang perlu ia lakukan adalah dengan mendatangi tukang jahit kenalannya, bukan toko pakaian, karena belum lazim kala itu.

Si penjahit pun dengan senang hati menyambut seraya menyebut namanya, karena saling kenal. Sejenak mereka tawar-menawar harga. Setelah harga cocok, terus si penjahit mengukur badannya. Selang beberapa hari, kemejapun jadi dengan ukuran, rancangan dan warna yang dikehendaki konsumen. Dan tentu saja, betul-betul berbeda dengan kemeja manapun. Tak diragukan lagi, konsumen pun puas! Dengan senang hati ia menceritakan penjahit tersebut kepada teman-temannya.

Ada empat kata kunci di sana, yaitu layanan perorangan (personalized service), kesepakatan harga (price understanding), produk khusus (customized product), dan cerita dari mulut ke mulut (word of mouth).

Nah, begitu Revolusi Industri mulai bergerak dan menggebrak, fenomena - fenomena tersebut lenyap! Aturan baru yang muncul! Tidak ada lagi layanan perorangan. Tidak ada lagi kesepakatan harga. Tidak ada lagi produk khusus. Smuanya serba ditentukan secara sepihak oleh pabrik demi satu - satunya tujuan, yakni produksi secara massal. Suka tidak suka, konsumen harus nrimo.

Lha, dewasa ini apa yang terjadi? Segalanya justru berjalan berbalik arah. Inilah masa ketika konsumen dianugerahi kekuatan yang luar biasa. Yah, lantaran tumpah-ruahnya informasi dan pilihan. Konsumen kembali menginginkan layanan perorangan, kesepakatan harga, dan produk khusus, seperti sedia kala. Di samping itu, cerita dari mulut ke mulut juga kembali menyebar ke kalangan konsumen. Ya memang begitulah yang smestinya.

Dengan terpaksa atau tidak, produsen coba memenuhi semua tuntutan tersebut, walaupun dengan metode-metode yang lebih canggih, tidak lagi sekadarnya seperti Revolusi Industri. Mau bukti? Tengoklah sepeda motor handmade seharga 100.000 dollar milik Shaquille O'neil, seorang jagoan basket berbadan bongsor. Adalah Josse Gregory James yang membikin sepeda motor khusus tersebut. Begitu personalized. Begitu customized. Yap, konsumen berkuasa!

Bukti-bukti People Power tidak cukup sampai disitu. Supaya tidak penasaran, sesekali klik lah situs Levi's, Nike dan Dell. Terlihat di sana bagaimana mereka sanggup menyiapkan sehelai celana, sepasang sepatu, dan seperangkat komputer sesuai selera Anda (personalized), yang pastilah betul-betul berbeda dengan yang lain (customized).

Tren bisnis yang keempat adalah Pursuit for Simpilicity. Dulu, waktu luang yang tersedia amatlah banyak. Barang yang tersedia sangatlah sedikit. Wal hasil, konsumen memilih sesuatu yang sederhana memang hanya itulah yang ada.

Lima tahun belakangan ini, yang terjadi justru sebaliknya. Betul-betul berbalik arah! Waktu luang yang tersedia amatlah sedikit. Barang yang tersedia sangatlah banyak. Terus, apa yang menjadi preference konsumen? Ternyata, konsumen tetap menyukai sesuatu yang sederhana. Lho, kok bisa? Begini ceritanya. Kekangan waktu dan limpahan barang malah membuat konsumen bingung, sehingga konsum terpaksa "menyelamatkan diri" dengan menjatuhkan pilihan pada sesuatu yang sederhana.

Dengan perilaku konsumen seperti itu, maka tantangan bagi pelaku bisnis adalah bagaimana menjadikan kesederhanaan itu sebagai suatu keunikan. Allen Adamson dalam karya lawasnya Brand Simple: How the Best Brands Keeps it Simple and Succeed, juga menyarankan hal yang senada. Dengan kata lain, kesederhanaan dalam keunikan, keunikan dalam kesederhanaan. Sungguh tidak gampang! Karena, keunikan sering bermuara pada keruwetan, musuhnya kesederhanaan.

Akan tetapi, Google berhasil mengentaskannya. Bahkan Philips, produsen alat - alat elektronik asal Belanda, melantik Sara Berman, desainer pakaian dari Inggris, sebagai Simplicity Advisory Board di Philips. Satu - satunya tugas dewan ini adalah menjaga agar produk - produk besutan Philips tetap sederhana. Bayangkan, demi kesederhanaan, sebuah perusahaan elektronik rela merekrut seorang desainer pakaian.

Tren bisnis kelima adalah Positivity Insurrection. Indikator - indikator ekonomi nasional, layaknya pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat investasi, tingkat pengangguran dan lain - lain, tidak satupun menunjukkan digit yang terlalu istimewa. So, apakah itu semua berhasil melenturkan dan melunturkan semangat pelaku - pelaku bisnis? Tak bisa disangkal lagi, akhir 90-an memang itulah yang menghantui masyarakat Indonesia. Pesimisme!

Akan tetapi, belakangan ini apa yang berlaku justru kebalikannya. Perlahan - lahan, optimisme membersit! Pelaku bisnis pun bergerak gesit! Mereka tidak lagi memusingkan apa - apa yang tidak bisa ia kendalikan, misalnya, krisis ekonomi, kebijakan pemerintah, kepastian hukum dan bencana alam. Mereka malah memusatkan perhatian pada apa - apa yang bisa ia kendalikan, umpamanya, pikirannya, keluarganya, perusahaannya dan lain sebagainya.

Sebenarnya pola pikir mereka sederhana saja, positifkan yang negatif! Tentu, positivity ini tidak terlepas dari jasa para motivator dengan segala buku, seminar dan pelatihannya. Ujung - ujungnya, roda bisnis pun kembali berputar. Sebagai penutup, jadikanlah positivity sebagai amalan di segala waktu, di segala tempat. Wajib itu!

No comments:

Post a Comment