Feb 9, 2017

Introspeksi Untuk Perbaikan (I'tikaf)


Eksekusi vs Evaluasi

Salah satu kebiasaan efektif menurut Stephen Covey adalah 'mengasah gergaji' ( sharpen the saw), termasuklah di dalamnya, introspeksi diri dan evaluasi diri. Sesibuk apapun kita menggergaji, tetap saja kita harus berhenti sejenak untuk mengasah gergaji. Yang seperti ini, agama menyebutnya muhasabah.


Kayaknya Anda rada bingung. Baiklah, saya jelaskan sedikit. Begini. Muhasabah berasal dari kata hasiba yahsabu hisab, yang artinya melakukan perhitungan. Dan ini sesuai dengan perintah dan peringatan dari Yang Maha Kuasa (lihat QS 59.18). Secara sederhana, muhasabah itu seperti introspeksi diri dan evaluasi diri atas perbuatan-perbuatan baik dan buruk, baik secara vertikal maupun harisontal.

Ibnu Qayyim pernah berpesan, "muhasabah itu di lakukan sebelum dan sesudah berbuat sesuatu." Pesan Ibnu Qudamah pula, "Sudah semestinya orang beriman menyisihkan waktunya di pagi hari dan sore hari untuk bermuhasabah, berhitung sebagaimana para pedagang dengan rekan-rekannya menghitung keuntungan dan kerugian jual beli mereka di setiap akhir penjualan."

Sahabat-sahabat terdekat Nabi Muhammad, tak pernah menutup malamnya, kecuali telah ber-muhasabah. Bahkan seorang Abubakar yang sudah dijanjikan surgapun, sangat keras menghisab dirinya. Tidaklah heran kalau Umar bin Khattab berwasiat, "Hisablah diri kalian sebelum dihisab. Karena, lebih mudah bagi kalian menghisab diri kalian hari ini, daripada hari esok. Dan siapkan diri menghadapi pertemuan terbesar itu."

Lantas, kapan baiknya kita ber-muhasabah secara mendalam? Yah, kapan saja. Sekali lagi, kapan saja. Tapi, kalau kita bicara timing yang lebih utama, maka bolehlah kita memilih Ramadhan dan Tahun Baru Hijriyah sebagai momentum.

Boleh dibilang, muhasabah terkait erat dengan I'tikaf. Ditilik dari segi makna, I'tikaf adalah berdiam diri dalam rangka ibadah dan ketaatan kepada-Nya di dalam masjid (baiknya di masjid yang biasa menyelenggarakan sholat Jumat). Dan ini berlaku sepanjang waktu, bukan bulan Ramadhan saja. Meskipun I'tikaf ketika Ramadhan adalah timing yang baik, tiada tanding, tiada banding.

Suatu ketika, ada yang bertanya, "Bolehkah non muslim I'tikaf di masjid?" Saya tidak langsung menjawab pertanyaan nyleneh ini. Saya tanyain guru-guru dulu. Setelah itu, barulah saya jawab, "Kalau sekadar masuk yah boleh, tapi namanya bukan I'tikaf . Baiknya ia masuk ke masjid, disebabkan keperluan khusus dan diizinkan salah satu pemimpin muslim." Apakah harus mandi junub dahulu? Nah, syarat mandi ini hanya berlaku buat muslim. Kalau non muslim? Nggak harus.

Imam Syafi'i, Imam Hanafi, dan Imam Qurthubi membolehkan non muslim masuk ke masjid. Ini juga pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Utsaimin, dan Al-Albani. Kalaupun ada pengecualian, hanyalah Masjidil Haram. Dan sejarah menunjukkan, tamu-tamu non muslim dari Taif dan pendeta-pendeta dari Najran pernah diterima Nabi di masjid. Sewaktu masih musyrik, Abu Sufyan dan Umair bin Wahab juga pernah masuk ke masjid. Karena peristiwa-peristiwa itulah, kemudian Barack Obama diterima oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Mustafa Yakub, di masjid.

Kembali soal muhasabah. Ini juga terjadi ketika berhaji. Ngomong-ngomong, apa itu haji? Dijelaskan oleh Nabi, haji adalah Arafah. Boleh dibilang, untuk berhaji kita mesti berada di Arafah. Ngapain? Cuma satu, wukuf. Secara kata, Arafah itu mengenal diri dan wukuf itu berdiam diri. Mengenal diri. Berdiam diri. Muhasabah.

Arogan Vs Elegan


Suatu ketika saya mengunjungi kakek saya di Sumatera. Beliau adalah sosok yang telah mendidik saya selama belasan tahun. Di mata saya, beliau tampak begitu uzur. Melihat kondisi fisiknya yang seperti itu, sayapun menangis. Tetapi, dengan bijaknya ia memeluk saya dan menasehati saya, "Tidak perlu bersedih. Semua itu ada waktunya. Ada masa di atas, ada pula masa di bawah. Jadi, kita tinggal menjalaninya saja." Lalu beliau menambahkan, "Yang terpemting, saat berada di atas, jangan sombong!" Batin saya langsung tersentak, "Bagaimana dengan saya selama ini?" (Beliau telah meninggal, semoga Allah menerima amal-amal beliau. Mohon doanya).

Memang, keberhasilan demi keberhasilan kerap memancing kebanggaan yang tidak pada tempatnya, yang acap kali disebut kesombongan. Lantas saya teringat akan sebuah kisah dari guru saya. Dahulu kala, ternyata iblis diperkenankan Allah untuk menghuni surga. Sayangnya, manakala dipertemukan dengan manusia pertama-Adam- iblis malah bersikap tinggi hati. Allah pun murka padanya. Tanpa tedeng aling-aling, ia langsung dihalau dari surga. Ungkap guru saya, itulah kesombongan pertama dalam sejarah! Jujur saja, sampai saat ini, agak susah bagi saya untuk mengelak dari impian yang meluap-luap. Sesekali sayapun khilaf. Syukurlah, saya dikaruniai keluarga dan teman-teman yang peduli. Mereka tidak segan-segan untuk menegur saya dan mendoakan saya. Selanjutnya, saya berubah dan berbenah. Improvement sebisa-bisanya, walaupun masih minus di sana-sini.

Sekurang-kurangnya ada tiga alasan mengapa kesombongan kudu dijauhi dalam berkarier dan berbisnis. Pertama, kesombongan dapat memangkas self-esteem. Kedua, kesombongan bisa menular dan menjalar. Saya pernah menyaksikan, bagaimana seorang owner diteladani alias diduplikasi oleh manajer, supervisor, staf, hingga satpamnya. Meski barangkali si owner tidak bermaksud begitu, tetapi tabiat itulah yang terlihat, yang kemudian ditiru oleh bawahan-bawahannya. Padahal sadarkah mereka, perangai seperti itu akan mengusik, bahkan mengusir para pelanggan. Termasuk khalayak luas.

Ketiga, kesombongan akan membersitkan sifat-sifat negatif lainnya, semisal segan untuk melayani, enggan untuk memperbaiki diri, sungkan untuk meminta maaf, dan masih banyak lagi. Termasuklah penyakit-penyakit hati seperti riya, ujub, dan sum'ah. Nah, seperti yang kita maklumi bersama, itu semua bisa mengundang malapetaka bagi individu dan organisasi manapun. Iya kan? Jadi, adalah wajar apabila ahli pemasaran Al Ries berhujah, "Kesuksesan sering disusul dengan keangkuhan, sedangkan keangkuhan pastilah berujung pada kehancuran." Terus Al Ries mencontohkan beragam korporasi raksasa yang akhirnya tumbang lantaran kesombongan.

Mari sejenak kita ikuti cerita Darwin Smith - direktur Kimberly Clark, perusahaan yang memegang merek Huggies dan Kleenex. Semasa ia dan penggantinya memimpin, perusahaannya berhasil mengambil alih Scott Paper dan mengalahkan P&G untuk sejumlah produk. Padahal Scott Paper telah sekian lama merajai produk berbasis kertas dan P&G adalah perusahaan besar memiliki reputasi nyaris tak terkalahkan.

Dengan demikian, tidak berlebihan bilamana Darwin Smith diakui sebagai eksekutif yang sukses di zamannya. Dan bagi eksekutif sekelas dia, adalah 'wajar' untuk tampil mewah-mewahan serta gagah-gagahan. Akan tetapi, Darwin Smith sama sekali berbeda dengan eksekutif-eksekutif lainnya. Ia begitu pendiam. Ia begitu bersahaja. Pokoknya, jauh dari kesan sombong.

Sebaliknya, Al Dunlap direktur Scott Paper, menulis buku tentang dirinya sendiri dan membangga-banggakan dirinya sebagai "Rambo Berbusana Formal". Tidak cukup sampai di situ, sampai-sampai ia sesumbar, "Scott Paper akan dicatat sebagai perusahaan yang paling sukses dan membuat perusahaan lain pucat." Sayangnya, apa yang terjadi kemudian malah sebaliknya. Perusahaannya diambil alih oleh pesaing! Tepatnya, diambil alih oleh Kimberly Clark. Nabi Muhammad pun melarang, "Janganlah engkau berdiri seperti orang-orang asing yang ingin saling diagungkan." Renungkanlah, talenta adalah karunia namun karakter adalah pilihan. Artinya sewaktu sukses, Anda dapat memutuskan apakah Anda akan menjadi sosok yang arogan atau yang elegan. Simak juga petuah seorang filsuf, "Lakukanlah hal yang pantas, maka Anda akan memperoleh kekuatan." Saya sependapat dengan dia dan saya harap Anda juga!

No comments:

Post a Comment