Apr 1, 2024

Shalat, Cara Menjadi Rendah Hati di Hadapan Allah SWT

 


SettiaBlog dari tadi coba gambar wanita dengan pipi yang nyempluk seperti pipi istri SettiaBlog, ternyata susah e... Terus SettiaBlog searching di Youtube siapa tahu ada bentuk pipi nyempluk tapi tetap belum bisa jadi gambarnya. Lha waktu lagi searching kok SettiaBlog dapatin Fatin lagi bawain lagu "ketika tangan, kaki berkata dan sebuah pengakuan". Video klip di atas itu. Mulai lah SettiaBlog mengetik bahasan ini.

Hati yang hadir dan khusyuk ketika shalat bagaikan ruh bagi badan. Tanpa kehadiran dan kekhusyukan hati maka shalat bagaikan raga tanpa nyawa.
“Seorang hamba dalam shalatnya tidak hanya muka dan badannya saja yang menghadap kiblat tetapi juga hati dan jiwanya turut hadir sepenuhnya menghadap kepada Allah SWT"
Dengan hati yang hadir maka seseorang membayangkan seolah dirinya berada langsung di hadapan Allah SWT dan Allah SWT selalu memperhatikannya. Kondisi kejiwaannya sibuk merenungkan kebesaran (ta’zhim) Allah, menghayati bacaan dan gerakan shalat (tafahhum), dan timbul rasa takut dan malu (al khauf wal raja’) akan segala kekurangan dirinya, lalu berharap akan dilimpahi rahmat dari-Nya.
“Alangkah naif shalat seorang hamba saat bibirnya mengikrarkan diri mengabdi hanya kepada Allah SWT sementara hatinya melayang-layang memikirkan selain Allah SWT, sibuk menilai shalat orang lain, merasa paling baik, riya’ dan takabbur merasa paling benar dan diterima Allah SWT”

Oleh karena itu, shalat tanpa kehadiran hati bagaikan jasmani tanpa ruh, tidak bernyawa, tanpa nilai tanpa makna. Maka Allah SWT mengingatkan dalam surat Thaha ayat ke 14
“Dirikanlah shalat untuk mengingatku”,
Orang yang hatinya lupa inilah yang disindir oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya: “berapa banyak orang solat tetapi tidak ada yang didapatnya melainkan lelah dan letih”.

Orang yang lalai dalam shalat, hatinya terhijab atau terhalang dari Allah SWT, walaupun lidahnya membaca ayat dan zikir, dan anggota tubuhnya rukuk dan sujud. Karena tertutup, maka orang yang lalai ini tidak merasakan kehadiran Allah SWT dan mata batinnya jauh dari cahaya, sehingga shalat-nya menjadi mati dan tidak membekas dalam kehidupan nyata, serta tidak mampu menghindarkannya dari perbuatan keji dan munkar.
“Hati yang hadir sangat penting agar shalat menjadi hidup dan membekas untuk menjadikan pelakunya sebagai orang yang semakin dekat kepada Allah SWT, sayang kepada sesama, memiliki sifat rendah hati, menghargai perbedaan, menghormati dan memperlakukan orang lain dengan sebaiknya, dan mendidik pelakunya untuk menjauhi semua kekejian dan kemunkaran"
Dengan shalat yang khusyu’ dan hati yang hadir maka bukan hanya menjadikan kedekatan hamba pada Tuhan-Nya tetapi juga membawa pengaruh kebaikan dalam sikap dan prilaku sosial; husnuzzhan (selalu berpikir positif dan mengalirkan energi positif pada sekitarnya), kepedulian, toleran, mengajak kepada nilai-nilai kebaikan, yang manfaatnya tidak terbatas tetapi untuk seluruh alam semesta.

❢ ❢ ♍ ♉ ❢ ❢


Bahasan di atas sebenarnya untuk mengingatkan diri SettiaBlog sendiri. Mohon maaf ya!

Sebenarnya di balik ibadah shalat tersimpan rahasia besar.
“Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut [29]: 45)

Ayat di atas begitu eksplisit menjelaskan adanya keterkaitan antara shalat dan perilaku yang ditunjukkan oleh seorang muslim. Pengaruh shalat memang tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk menggeneralisasi dan menghukumi kepribadian semua orang. Tetapi, paling tidak dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan sikap seorang manusia dari sudut pandang karakter dan watak atau tabiat yang dibawanya. Shalat itu membersihkan jiwa, menyucikannya, mengkondisikan seorang hamba untuk munajat kepada Allah SWT di dunia dan taqarrub dengan-Nya di akhirat. Shalat sebagai salah satu bagian penting ibadah dalam Islam sebagaimana bangunan ibadah yang lain juga memiliki banyak keistimewaan. Ia tidak hanya memiliki hikmah spesifik dalam setiap gerakan dan rukunnya, namun secara umum shalat juga memiliki pengaruh drastis terhadap perkembangan kepribadian seorang muslim. Tentu saja hal itu tidak serta merta dan langsung kita dapatkan dengan instan dalam pelaksanaan shalat. Manfaatnya tanpa terasa dan secara gradual akan masuk dalam diri muslim yang taat melaksanakannya.

Shalat merupakan media komunikasi antara sang Khlalik dan seorang hamba. Media komunikasi ini sekaligus sebagai media untuk senantiasa mengungkapkan rasa syukur atas segala nikmat. Selain itu, shalat bisa menjadi media untuk mengungkapkan apapun yang dirasakan seorang hamba. Dalam psikologi dikenal istilah katarsis, secara sederhana berarti mencurahkan segala apa yang terpendam dalam diri, positif maupun negatif. Maka, shalat bisa menjadi media katarsis yang akan membuat seseorang menjadi tentram hatinya.

Shalat sebagai tiang agama, penyangga bangunan megah lagi perkasa. Ia sebagai cahaya terang keyakinan, obat pelipur ragam penyakit di dalam dada dan pengendali segala problem yang membelenggu langkah-langkah kehidupan manusia. Oleh karenanya, shalat dapat mencegah perilaku keji dan munkar, menjauhkan hawa nafsu yang condong pada kejelekan untuk mencampakkannya sejauh mungkin.

Ibadah Shalat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam adalah bangunan megah indah yang memiliki sejuta ruang yang menampung semua inspirasi dan aspirasi serta ekspresi positif seseorang untuk berperilaku baik, karena perbuatan dan perkataan yang terkandung dalam shalat banyak mengandung hikmah, yang diantaranya menuntut kepada mushalli untuk meninggalkan perbuatan keji dan mungkar.

Sayangnya shalat sering dipandang hanya dalam bentuk formal ritual, mulai dari takbir, ruku’, sujud, dan salam. Sebuah kombinasi gerakan fisik yang terkait dengan tatanan fikih, tanpa ada kemuan yang mendalam atau keinginan untuk memahami hakikat yang terkandung di dalam simbol-simbol shalat. Berikut ini adalah nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam proses menjalankan ibadah shalat.

Pertama, latihan kedisiplinan. Waktu pelaksanaan shalat sudah ditentukan sehingga kita tidak boleh seenaknya mengganti, memajukan ataupun mengundurkan waktu pelaksanaannya, yang akan mengakibatkan batalnya shalat kita. Hal ini melatih kita untuk berdisiplin dan sekaligus menghargai waktu. Dengan senantiasa menjaga keteraturan ibadah dengan sunguh-sungguh, manusia akan terlatih untuk berdisiplin terhadap waktu. Dari segi banyaknya aturan dalam shalat seperti syarat sahnya, tata cara pelaksanaannya maupun hal-hal yang dilarang ketika shalat, batasan-batasan ini juga melatih kedisiplinan manusia untuk taat pada peraturan, tidak “semau gue” ataupun menuruti keinginan pribadi semata.

Kedua, latihan kebersihan, sebelum shalat, seseorang disyaratkan untuk mensycikan dirinya terlebih dahulu, yaitu dengan berwudlu atau bertayammum. Hal ini mengandung pengertian bahwa shalat hanya boleh dikerjakan oleh orang yang suci dari segala bentuk najis dan kotoran sehingga kita diharapkan selalu berlaku bersih dan suci. Di sini, kebersihan yang dituntut bukanlah secara fisik semata, akan tetapi meliputi aspek non-fisik sehingga diharapkan orang yang terbiasa melakukan shalat akan bersih secara lahir maupun batin.

Ketiga, latihan konsentrasi. Shalat melibatkan aktivitas lisan, badan, dan pikiran secara bersamaan dalam rangka menghadap ilahi. Ketika lisan mengucapkan Allahu Akbar, secara serentak tangan diangkat ke atas sebagai lambang memuliakan dan membesarkan, dan bersamaan dengan itu pula di dalam pikiran diniatkan akan shalat. Pada saat itu, semua hubungan diputuskan dengan dunia luar sendiri. Semua hal dipandang tidak ada kecuali hanya dirinya dan Allah, yang sedang disembah. Pemusatan seperti ini, yang dikerjakan secara rutin sehari lima sekali, melatih kemampuan konsentrasi pada manusia. Konsentrasi, dalam bahasa Arab disebut dengan khusyu’, dituntut untuk dapat dilakukan oleh pelaku shalat. Kekhusyukan ini sering disamakan dengan proses meditasi. Meditasi yang sering dilakukan oleh manusia dipercaya dapat meningkatkan kemampuan konsentrasi dan mengurangi kecemasan.

Keempat, latihan sugesti kebaikan. Bacaan-bacaan di dalam shalat adalah kata-kata baik yang banyak mengandung pujian sekaligus doa kepada Allah. Memuji Allah artinya mengakui kelemahan kita sebagai manusia, sehingga melatih kita untuk senantiasa menjadi orang yang rendah hati, dan tidak sombong. Berdoa, selain bermakna nilai kerendahan hati, sekaligus juga dapat menumbuhkan sikap optimis dalam kehidupan. Ditinjau dari teori hypnosis yang menjadi landasan dari salah satu teknik terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata (bacaan shalat) merupakan suatu proses auto sugesti, yang membuat si pelaku selalu berusaha mewujudkan apa yang telah diucapkannya tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Kelima, latihan kebersamaan. Dalam mengerjakan shalat sangat disarankan untuk melakukannya secara berjamaah (bersama orang lain). Dari sisi pahala, berdasarkan hadits nabi SAW jauh lebih besar bila dibandingkan dengan shalat sendiri-sendiri. Dari sisi psikologis, shalat berjamaah bisa memberikan aspek terapi yang sangat hebat manfaatnya, baik bersifat preventif maupun kuratif. Dengan shalat berjamaah, seseorang dapat menghindarkan diri dari gangguan kejiwaan seperti gejala keterasingan diri. Dengan shalat berjamaah, seseorang merasa adanya kebersamaan dalam hal nasib, kedudukan, rasa derita dan senang. Tidak ada lagi perbedaan antar individu berdasarkan pangkat, kedudukan, jabatan, dan lain-lain di dalam pelaksanaan shalat berjamaah.

Dalam gerakan shalat, kita bisa menemukan isyarat dari simbol-simbol yang terkandung dalam shalat, yaitu filsafat gerak. Seorang pribadi muslim harus bergerak, harus dinamis, karena tidak selamanya hidup ini akan qiyam (berdiri diam), perlambang kejayaan (dewasa). Suatu saat kita kita harus ruku’ (umur setengah baya), kemudian bersujud (umur pun mulai uzur). Sebaliknya, ada shalat tanpa gerak, dia berdiri kemudian salam. Itulah shalat mayit. Ini seakan memberikan isyarat bahwa pribadi yang statis, tidak ada kreativitas gerak, sesungguhnya sedang berada dalam kematian.

Sesungguhnya, shalat yang kita dirikan itu pada hakikatnya merupakan samudera mutiara yang mencerdaskan ruhani. Shalat menunjukkan sikap batiniyah untuk mendapatkan kekuatan, kepercayaan diri, serta keberanian untuk tegak berdiri menapaki kehidupan dunia nyata melalui perilaku yang jelas, terarah, dan memberikan pengaruh pada lingkungan. Bagi orang yang memahami makna sholat, sesungguhnya dia akan mengejar waktu amanat tersebut, karena dengan shalat, dia mempunyai kekuatan untuk hidup melaksanakan amanat Allah SWT.

Shalat bukan hanya sekedar ritual formal, melainkan ada muatan aktual, yaitu bukti nyata yang dirasakan. Alangkah naifnya seseorang yang shalat, tetapi bibirnya penuh ucapan kebohongan. Alangkah tak berharganya makna shalat apabila tidak memberikan imbas untuk menjadi manusia yang bermanfaat dan menjauhi yang mungkar. Bila kita memberikan santunan kepada orang miskin, memperhatikan masa depan anak yatim dan derajat kaum lemah, sesungguhnya kita telah melengkapi sholat kita dari bentuk yang formal menjadi aktual, dari sikap perihatin menjadi perilaku. Inilah yang dimaksudkan dengan sholat kaffah, . Muatan moral yang dipresentasikan oleh shalat membekas di kalbu dan membentuk kecerdasan rohani yang sangat tajam yang kemudian melahirkan amal saleh, mencegah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar.

No comments:

Post a Comment