Jul 31, 2019

Manajemen Kalbu


asmaul husna


Manajemen Qalbu berarti mengelola qalbu supaya potensi positif bisa berkembang maksimal mengiringi kemampuan berfikir dan bertindak sehingga sekujur sikapnya menjadi positif, dan potensi negatifnya segera terdekteksi dan dikendalikan sehingga tidak berubah menjadi tindakan yang negatif.
MQ berasal dari kata manajemen dan qalbu. Kata “manajemen” secara sederhana berarti pengelolaan atau pentadbiran. Artinya sekecil apapun potensi yang ada apabila dikelola dengan tepat, akan dapat terbaca, tergali, tertata, berkembang secara optimal.

Qalbu adalah hati atau lubuk hati yang paling dalam, yang merupakan sarana terpenting yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia. Hati adalah tempat bersemayamnya niat, yakni yang menentukan nilai perbuatan seseorang, berharga ataukah sia-sia, mulia atau nista. Niat ini selanjutnya di proses oleh akal pikiran agar bisa direalisasikan dengan efektif dan efisien oleh jasad dalam bentuk amal perbuatan.

Qalbu juga diartikan berubahnya sesuatu dari bentuk aslinya, ini berarti bahwa pada dasarnya qalbu berpotensi positif akan tetapi karena pengaruh nafs (nafsu) qalbu kadang-kadang berubah menjadi negatif. Oleh karena itu, qalbu perlu dimanage agar potensi positifnya bisa dimaksimalkan dan potensi negatifnya bisa diminimalisir.

Berdasarkan hadits Rasulullah, qalbu merupakan segumpal daging (mudlghah) sebab qalbu merupakan sentral dari aktivitas perbuatan manusia. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya didalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik, maka akan baiklah seluruh tubuh, tetapi apabila ia rusak, maka akan rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah al-qalb”. (HR. Al-Bukhari).

Dari hadits Rasulullah tersebut dapat diambil kesimpulan setidaknya qalbu mempunyai dua pengertian. Pertama, secara fisik qalbu merupakan suatu organ tubuh yang seringkali kita sebut dengan istilah jantung. Sedangkan yang kedua, adalah dimensi ruhani manusia yang mempunyai fungsi kognisi, emosi, spiritual dan merupakan sentral dari aktivitas perbuatan manusia. Fungsi-fungsi yang ada pada qalbu ini dapat berubah setiap saat, sesuai dengan potensinya untuk tidak konsisten walaupun secara fitrahnya qalbu lebih condong pada kebaikan.

Menurut Al-Ghazali, qalbu terletak pada sebelah kiri. Di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Ini adalah sumber ruh. Luthf rabbani ruhani untuk mengenal Allah. Qalbu ini mengetahui apa yang tidak diketahui khayalan pikiran dan merupakan hakikat manusia. Kaitan luthf ini dengan daging yang membentuk seperti pohon cemara adalah hubungan tidak jelas, tidak dapat dijelaskan, melainkan bergantung pada kesaksian (musyahadah) dan menyingkapan (al-‘iyan). Dapat disebutkan bahwa qalbu seperti raja dan dagingnya ibarat negeri atau kerajaan.

Hati seumpama cermin. Selama cermin itu bersih dari kotoran dan noda, maka segala sesuatu dapat terlihat padanya. Tetapi jika cermin itu dipenuhi noda, sementara tidak ada yang dapat menghilangkan noda darinya dan mengilapkannya, maka rusaklah cermin itu. Cermin itu tidak dapat lagi dibersihkan dan dikilapkan.

Hati adalah cermin, tempat pahala dan dosa berlabuh, itulah cuplikan lagu Bimbo yang berjudul Tuhan. Sebuah lirik yang padat. Sering diingatkan bahwa hati setiap manusia pada hakikatnya bening. Hati ibarat cermin yang bisa memantulkan apa dan siapa yang ada di depannya.

Manajemen Qalbu adalah memahami diri, dan kemudian mau dan mampu mengendalikan diri setelah memahami siapa diri ini sebenarnya. Dan tempat untuk memahami benar siapa diri ini ada di hati, hatilah yang menunjukkan watak dan diri ini sebenarnya. Hati yang membuat diri ini mampu berprestasi semata karena Allah. Apabila hati bersih, bening, dan jernih, tampaklah keseluruhan prilaku akan menampakan kebersihan, kebeningan, dan kejernihan. Penampilan sesorang merupakan refleksi dari hatinya sendiri.

Manajemen Qalbu ini kemudian melahirkan prinsip bahwa apabila seseorang hatinya bersih, akan menjadi pusat segala aktivitas di bumi. Menyedot seluruh perhatian orang dari segala jenis profesi, baik pedagang, guru, praktisi dakwah, maupun pemimpin. Orang yang hatinya bersih, secara otomatis akan membuat geraknya memiliki magnet luar biasa. Kata-kata akan menyakinkan dan menyejukkan hati lawan bicaranya. Sikapnya akan menunjukan bahwa senantiasa sedang diawasi Allah. Totalitas dirinya menampakkan sebuah keadaan bahwa hanya ridha Allah yang diharapkan. Allah menjadi pusat segala orientasi kehidupannya.

Dalam konsep Manajemen Qalbu, setiap keinginan, perasaan, atau dorongan akan tersaring niatnya sehingga melahirkan suatu kebaikan dan kemuliaan serta penuh dengan manfaat. Tidak hanya bagi kehidupan dunia, tetapi juga untuk kehidupan akhirat kelak. Lebih dari itu, dengan pengelolaan hati yang baik maka seseorang juga dapat merespon segala bentuk aksi atau tindakan dari luar dirinya baik itu positif maupun negatif secara roposional yang terkelola sangat baik akan membuat reaksi yang dikeluarkan menjadi positif dan jauh dari hal-hal mundharat.

Dengan kata lain, setiap aktivitas lahir batinnya telah tersaring sedemikian rupa oleh proses Manajemen Qalbu. Oleh karena itu, yang muncul hanyalah satu, yaitu sikap yang penuh kemuliaan dengan pertimbangan nurani yang tulus. Dengan demikian, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa melalui konsep Manajemen Qalbu, seseorang bisa di arahkan agar menjadi sangat peka dalam mengelola sekecil apapun potensi yang ada dalam dirinya menjadi sesuatu yang bernilai kemuliaan serta memberi manfaat besar, baik bagi dirinya sendiri maupun makhuk Allah lainnya. Lebih dari itu, dapat memberi kemaslahatan di dunia juga di akhirat kelak.

Dalam pandangan tasawuf hati (qalbu) mempunyai beberapa fungsi yang sangat penting antara lain:

a. Sebagai alat untuk menemukan penghayatan ma’rifah kepada Allah, kepada karena dengan hati manusia bisa menghayati segala rahasia yang ada di alam ghaib.

b. Hati berfungsi untuk beramal hanya kepada Allah, sedangkan anggota badan lainnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh hati. Karena itu hati ibarat raja dan anggota badan lainnya merupakan pelayannya.

c. Hati pula yang taat pada Allah, adapun gerak ibadah semua anggota badan adalah pancaran hatinya. Bila manusia dapat mengenalinya pasti akan dapat mengenali dirinya, hal ini akan menyebabkan ia dapat kenal (ma’rifah) akan Tuhannya dan juga sebaliknya.

Fungsi qalbu dalam pandangan tasawuf ini lebih identik sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Allah, hal ini tampak dari inti ketiga fungsi yang dikemukakan di atas bahwa qalbu sebagai sarana untuk ma’rifah kepada Tuhannya. Dr. Baharuddin menyebutkan sedikitnya al-qalb mempunyai tiga fungsi antara lain:

a. Fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta; seperti berfikir (‘aql), memperhatikan (dabr), mengetaui (ilmu), memahami (fiqih), mengingat (dzikir), dan melupakan (ghulf).

b. Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa; seperti tenang (thuma’ninah), jinak atau sayang (ulfah), santun dan penuh kasih sayang (ra’fah wa rahmah), tunduk dan getar (wajilat), mengikat (ghil), berpaling (zaigh), panas (ghaliz), sombong (hammiyah), kesal (isyma’azza).

c. Fungsi konasi yang menilbulkan daya karsa seperti berusaha (kash)

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa daya qalbu mampu mencapai tingkat supra kesadaran, qalbu mampu mengantarkan manusia pada tingkat intelektual (insuicit), moralitas, spiritualitas, keagamaan dan ketuhanan.

Sesungguhnya ma’rifat (mengenal) kepada Allah hanya dapat dilakukan dengan hati (qalbu), bukan dengan anggota tubuh yang lain. qalbu yang menggerakkan diri untuk mendekat kepada Allah, bekerja karena-Nya, berjalan menuju-Nya. Bahkan hanya dengan qalbu, manusia mampu menyingkap apa-apa yang disisi Allah dan yang ada pada-Nya.

Qalbu merupakan sebuah medan peperangan antara tentara ruh dan tentara nafs (hawa). Jika qalbu jatuh dalam mengendalikan nafs dan sifat-sifatnya, maka qalbu akan menjadi mati dan akan didominasi oleh kejatahan, akan tetapi sebaliknya jika qalbu terisi dengan sifat-sifat spiritual dan kemanusiaan, maka qalbu akan hidup dan akan timbul kebaikan di dalamnya, dan seseorang yang memiliki hati yang demikian disebut shahih al-qalb. Dan ada juga qalbu terombang-ambing antara wilayah nafs (hawa) dan ruh akan tetapi, lebih cenderung ke nafs maka qalbu yang seperti ini akan terkena penyakit dan tidak sampai mematikan karena masih dapat diobati. Jika ingin menyembuhkan penyakit hati ini maka harus menghindari maksiat.

Ditinjau dari segi hidup-matinya hati, Dr. Ahmad Faridh dalam kitabnya, Tazkiyat an-Nufus kitab yang berisi pemikiran Imam Ibnu Rajab al-Hambali, Al-Hafidz Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, dan Imam al-Ghazali membagi hati manusia kedalam tiga karakter yaitu:

a. Hati yang sakit (qalbun maridh)

Perumpamaan bagi yang hatinya sakit adalah ibarat cermin yang tidak terawat, sehingga penuh noktah-noktah. Namun, dari hari kehari noktah tersebut semakin bertambah. Akibatnya, setiap benda, sebagus apapun yang disimpan di depannya, akan tampak lain pada pantulan bayangannya. Bayangan itu tampak buram dan lebih buruk dari aslinya. Apabila yang bercermin di depannya, siapapun dia, niscaya akan kecewa. Setiap anggota badan diciptakan untuk fungsi tertentu, kesempurnaannya terletak pada kemampuannya menjalankan fungsi tujuan penciptaannya. Hal ini berarti, penyakit adalah ketidakmampuan menjalankan peran sesuai dengan tugasnya atau mampu melakukannya, tetapi dengan banyak kekurangan. Dengan demikian hati yang sakit adalah hati yang hidup, tetapi menderita sakit. Hati semacam ini sering mengalami kebimbangan antara melakukan kebenaran dan kebatilan. Penyakit hati ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1. Hasad/hasud

Hasad adalah cabang dari kebakhilan (bukhl, syuhh). Orang yang bakhil adalah orang yang kikir dengan apa yang di tangannya kepada orang lain. Dan syahih ini adalah orang yang bakhil dengan nikmat Allah. Lebih jauh, Imam Ghazali menjelaskan bahwa pendengki adalah orang yang merasa sedih karena Allah memberikan kepada seorang di antara hamba-hamba-Nya, baik berupa ilmu, harta, rasa cinta dalam hati manusia atau sebuah keberuntungan. Hasad adalah puncak kekejian. Penyakit hati tersebut (hasad dan pendengki) tersebut, sebenarnya sumbernya adalah sifat iri: yakni merasa tidak senang terhadap karunia Allah yang diterima oleh orang lain. Lama- kelamaan, akhirnya timbul hasad dan dengki: yakni berusaha merebut kenikmatan dari tangan orang lain agar bisa dimilikinya.

2. Riya’

Menurut Imam Ghazali, adalah syirik yang tersembunyi, yaitu salah satu dari dua jenis syirik. Riya’ adalah usaha seseorang untuk mencari kedudukan di hati makhluk. Niatnya hanya ingin mendapat kehormatan dan kemuliaan dari orang lain. Maka dampaknya, riya’ akan membatalkan pahala amal kebaikan yang telah dilakukan karena niatnya bukan karena Allah.

3. Ujub

Ujub, sombong, dan angkuh, menurut Imam Ghazali, adalah penyakit hati yang sulit disembuhkan. Ujub adalah pandangan seorang hamba kepada dirinya sendiri dengan mata kehormatan dan pengagungan dan kepada orang lain dengan tatapan hina dan merendahkan. Penyakit badan merupakan hal yang berlawanan dengan kesehatan dan kebaikan. Tetapi, merupakan hal yang merusak badan. Demikian halnya dengan penyakit hati yang merupakan bentuk kerusakan hati. Kerusakan hati menurut Ibnu Qoyyim al- Jauziyyah memiliki beberapa tanda. Antara lain:

1) Tidak pernah merasa sakit, meskipun terluka dan berbagai keburukan.

2) Senang dalam kemaksiatan dan merasa puas, jika telah melakukannya.

3) Lebih mengutamakan yang paling rendah dari yang paling mulia.

4) Membenci kebenaran dan merasa sempit karenanya.

5) Membenci orang-orang saleh.

6) Suka menerima syubhat, suka berdebat dan tidak senang membaca Al-Qur'an.

7) Takut selain Allah.

8) Tidak pernah mengenal kebaikan dan tidak menolak kemungkaran dan tidak terpengaruh oleh nasehat.

b.Hati yang mati (qalbun mayyit) Hati yang mati adalah hati yang sepenuhnya dikuasai hawa nafsu, sehingga hati terhijab dari mengenal Tuhannya. Hari-harinya penuh kesombongan terhadap Allah. Hati sama sekali tidak mau beribadah kepada Allah. Hati tidak mau menjalankan perintah dan semua hal yang diridhoi-Nya. Hati semacam ini berada dan berjalan bersama hawa nafsu dan keinginannya, walaupun sebenarnya hal itu dibenci dan dimurkai Allah. Hawa nafsu telah menguasai dan bahkan menjadi pemimpin dan pengendali bagi dirinya. Kebodohan dan kelalaian adalah sopirnya. Kemana saja ia bergerak, maka gerakannya benar-benar telah diselubungi oleh pola pikir meraih kesenangan duniawi semata.

Menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, hawa nafsu imannya, syahwat komandannya, kebodohan pengendalinya, dan kelalaian kendaraannya. Hati senantiasa sibuk berfikir untuk memperoleh ambisi-ambisi duniawi serta diperdaya oleh hawa nafsu dan cinta dunia. Jadi hati yang mati adalah hati yang tidak mentaati perintah Allah dan selalu mengikuti bujuk rayu setan.

Hawa nafsu telah menulikan telinganya, membutakan matanya, membodohkan akal pikiran dan memporak-porandakan nuraninya, sehingga hati tidak tahu lagi arah mana yang harus ditempuh; tidak tahu lagi mana hak dan mana yang bathil.

c. Hati yang selamat (qalbun salim) Hati yang selamat adalah hati yang sehat adalah hati yang yang mau menerima, mencintai dan condong kepada kebenaran. As-salim (yang bersih) adalah as-salim (yang selamat). Banyak perbedaan ungkapan dalam membawakan makna al-qalb as-salim. Ada yang mengartikan hati yang sehat, hati yang bersih, atau hati yang selamat. Dari beberapa ungkapan tersebut maksudnya adalah sama, yaitu bahwa qalbun salim adalah hati yang bebas (selamat) dari seluruh syahwat (keinginan) yang melanggar perintah Allah dan dari seluruh perkara syubhat.

Dengan demikian, hati yang selamat adalah hati yang jauh dari syirik. Maksudnya adalah hati yang selamat dari dosa, dan hanya menyembah, mengabdi, mencintai, pasrah, kembali, takut, berharap, ikhlas hanya untuk Allah semata. Disamping itu jua selalu tunduk dan mengikuti sepenuhnya tuntunan Rasulullah SAW. Hati yang seperti ini memiliki beberapa indikasi, antara lain:

1) Apabila dalam hati terdapat iman dan menjadikan Al-Qur'an sebagai obatnya.

2) Meninggalkan (kesenangan) dunia untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat dan berlabuh disana seakan-akan dirinya bagian dari penduduk akhirat.

3) Akan senantiasa memperingatkan pemiliknya sehingga kembali kepada Allah, bergantung kepada-Nya bagaikan orang yang dimabuk cinta merindukan kekasih-Nya.

4) Tidak bosan mengingat Tuhannya, selalu mengabdi pada Tuhannya, tidak bercengkrama dengan selain-Nya, kecuali dengan orang yang menunjukkan jalan kepada-Nya, dan selalu mengingatkannya.

5) Bila kehilangan Allah, akan terasa sakit baginya melebihi sakitnya orang rakus yang kehilangan hartanya.

Orang yang memiliki hati yang selamat (qalbun saliim), hidupnya selalu penuh dengan zikir dan istighfar. Semua ini karena hatinya diselimuti mahabbah (kecintaan) dan tawakkal kepada Allah. Oleh sebab itu, keikhlasan menjadi hiasan hidupnya. Ia selalu ridha dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya. Ciri-ciri hati yang selalu diselimuti mahabbah (kecintaan) kepada Allah akan melaksanakan segala perintah Allah, menjahui segala sesuatu yang dilarang Allah, dan mengakui bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini adalah bukti bahwa Allah sebagai sang Pencipta.

Kecintaan hamba kepada Allah yaitu dengan mengikuti agama Rosullah, karena Rosullah adalah utusan Allah yang mempuyai tugas untuk menyampaikan risalah-Nya atas umat yang manusia. Cinta orang-orang mukmin kepada Allah ialah kepatuhannya dalam mentaati perintah-Nya mengutamakan kebaiakan dan mencari keridhoan-Nya sedangkan cinta Allah kepada seorang mukmin ialah pujian Allah kepada mereka serta menganugrahkan hikmah rahmat pemeliharaan dan petunjuk kepada mereka.

Keadaan hati orang ini bersih, putih, tidak ada noktah hitam dalam hatinya. Dengan begitu, cahaya Allah tidak akan terhalang masuk ke dalam hatinya. Hatinya selalu hidup. Hatinya tidak akan merasakan hampa dan kesepian. Karena ada keyakinan dalam hatinya bahwa Allah selalu bersamanya dan memberikan yang terbaik.

Stasiun Qalbu

Istilah stasiun dalam kamus populer diartikan ‘pangkalan’. Sedangkan yang dimaksud stasiun qalbu di sini adalah posisi qalbu itu sendiri. Menurut at-Tirmidzi, seperti yang dikutip oleh Robert Frages, hati memiliki empat stasiun yaitu, dada, hati, hati lebih dalam dan lubuk hati terdalam. Keempat statiun ini saling tersusun bagaikan sekumpulan lingkaran. Dada (shadr) adalah lingkaran terluarnya, hati (qalb) dan hati lebih dalam (fu’ad) berada pada kedua lingkaran tengah, sedangkan inti dari hati (lubb) terletak di pusat lingkaran. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa posisi lubb berada di dalam fu’ad, fu’ad berada di dalam qalb dan qalb berada di dalam shadr.

Keempat stasiun tersebut dapat diilustrasikan kata ‘Tanah Haram’, yang memuat sekitar Makkah, Makkah itu sendiri, Masjidil Haram dan Ka’bah posisi sadr dapat diibaratkan seperti daerah sekitar Makkah. Posisi qalb dapat diibaratkan Makakh itu sendiri. Fu’ad dapat diibaratkan Masjidil Haram, dan lubb dapat diibaratkan Ka’bah. Keempat stasiun ini saling bersusun bagaikan sekumpulan lingkaran.

Lingkaran stasiun kalbu

Tiap stasiun juga dikaitkan dengan tingkat spiritual yang berbeda- beda, tingkat pengetahuan dan pemahaman yang berbeda.

a. Dada (Shadr)

Dalam bahasa Arab adalah shadr, yang juga berarti ‘hati dan akal’. Sebagai kata kerja sh, d, r, berarti pergi, memimpin dan juga melawan atau menentang. Karena terletak di antara hati dan diri rendah (hawa nafsu), shadr dapat juga diistilahkan hati terluar, shadr tempat bertemunya hati dan diri rendah, serta mencegah agar satu pihak tidak melanggar pihak lainnya. Dada memimpin interaksi dengan dunia. Di dalamnya menentang dorongan-dorongan negatif diri rendah. Disebut shadr, karena merupakan permulaan hati dan maqamnya yang pertama. Ia merupakan tempat nur Islam, disamping tempat masuknya was-was dan bahaya, tempat masuknya kedengkian, syahwat, harapan, kebutuhan, tempat merajalelanya ilmu-ilmu normatif dan historis serta segala ilmu yang didapat secara verbal. Menurut at-Tirmidzi yang dikutip oleh Abdul Muhaya, shadr berfungsi sebagai sumber dari cahaya Islam (nur al-Islam). Penggunaan kata Islam di sini dalam artian yang sangat spesifik, yaitu sikap ketundukan yang diekspresikan dalam bentuk fisik seperti shalat, puasa, haji, dan lain sebagainya.

Sedangkan pengaruh was-was yang masuk ke dalam shadr, tergantung pada kecenderungannya untuk mengarahkan pada jiwa rendah atau kepada cahaya Illahi menuju kebenaran. Selama shadr tersebut mampu mengarahkan dirinya pada pertolongan Allah baik dalam keadaan susah maupun senang, maka Allah akan menghilangkan segala godaan dan rasa was-was tersebut, seprti yang terkandung dalam surat al-A’raf ayat 2:

“Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, Maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al-A’raf: 2)

Pada umumnya, kesempitan dada seseorang disebabkan oleh kebodohan dan kemarahannya. Kesempitan dan kelapangan yang dirasakannya tidak terbatas tergantung pengetahuan yang dimiliki serta petunjuk dari Allah. Seperti disebutkan sebelumnya, dada dalam bahasa Arab juga semakna dengan kata akal, yakni tempat seluruh pengetahuan yang dapat dipelajari dengan dikaji, dihafalkan, dan usaha individual, serta dapat didiskusikan, ditulis, atau diajarkan kepada orang lain. pengetahuan ini disebut pengetahuan luar. Disamping itu, bentuk pengetahuan lainnya yang masuk ke dada dari dalam, yakni dari hati yaitu pengetahuan batiniyah. Pengetahuan ini lebih mudah menetap di dalam dada, ia mencakup kelembutan kearifan batiniyah dan petunjuk Illahi.

b. Hati (Qalb)

Maqam kedua adalah qalb. Disebut qalb karena mudahnya bolak- balik. Qalb merupakan tempat cahaya iman, cahaya akal, taqwa, cinta, ridha, yakin, takut, harapan, sabar, qana’ah, sebagai sumber pengetahuan, pusat perenungan dan merupakan sumber keyakinan. Dari segi keilmuan, at-Tirmidzi menjelaskan, bahwa qalb merupakan tempat ilmu batin sedangkan shadr merupakan tempat ilmu lahir. Akan tetapi kedua ilmu ini saling melengkapi, yang pertama menjelaskan, hakikatnya. Sedang yang kedua menjelaskan ilmu syari’ah (aspek formal agama) yang merupakan hujjah Allah atas makhluk-Nya. Di samping itu, at-Tirmidzi juga menjelaskan bahwa shadr merupakan tempat ilmu logika sedangkan qalb merupakan tempat ilmu hikmah.

c. Intisari hati (fu’ad)

Kata fu’ad berasal dari kata faedah yang berarti manfaat, karena fu’ad memperlihatkan manfaat dari cinta Allah.50 Fu’ad merupakan cahaya ma’rifah (nur al-ma’rifah) yang berfungsi untuk mengetahui realitas. Fu’ad juga bisa disebut tempat ru’yah (melihat), Allah berfirman:

“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya”. (QS. An- Najm: 11)

Oleh karena itu, apabila fu’ad merupakan tempat ar-ru’yah, maka qalb merupakan tempat ilmu. Jika antara ilmu dan ru’yah itu menyatu, maka orang yang demikian akan melihat sesuatu yang ghaib itu menjadi kenyataan. Fu’ad merupakan posisi ketiga dari beberapa posisi hati dan merupakan instrumen penyempurna bagi manusia. Fuad merupakan tempat penglihatan batin dan inti cahaya ma’rifah. Kaum sufi menempatkan fu’ad pada derajat yang lebih tinggi dari pada qalb, karena ketika seseorang mampu mengambil manfaat dari sesuatu, maka fu’ad-nya yang melakukan pertama kali baru kemudian hatinya. Mereka mengibarkan fu’ad seperti kornea mata pada hitam mata.

d. Lubuk Hati terdalam (lubb)

Maqam puncak dari hati adalah lubb. Secara etimologis lubb terdiri dari huruf lam dan double ba’. Lam merupakan bagian dari luthf (yang berarti kelembutan), sedangkan ha’ yang pertama berasal dari kata al-birr (berarti kebaktian), dan ba’ yang kedua berasal dari kata al-baqa (yang berarti kelanggengan). Dalam bahasa Arab, istilah lubb bermakna inti dan pemahaman batiniyah yang merupakan dasar hakiki agama. Lubb merupakan tempat cahaya tauhid (nur at-tauhid). Cahaya tauhid ini merupakan basis dari ketiga cahaya sebelumnya dan lubuk hati terdalm (lubb)yang menerima rahmat Allah. Mengenai posisi lubb seperti yang diterangkan kaum sufi, diilustrasikan sebagai berikut “Perumpamaan lubb dan fu’ad adalah seperti cahaya penglihatan di dalam mata, atau seperti cahaya lampu sumbu di dalam lampu.

Dari beberapa stasiun hati tersebut, dapat disimpulkan bahwa shadr merupakan tempat cahaya Islam, qalb tempat cahaya iman, fu’ad tempat cahaya ma’rifah dan lubb tempat cahaya tauhid. Menurut kaum sufi, pembagian instrumen penyempurna bagi manusia yang disebutnya hati beberapa tingkatan adalah pembagian yang bercorak simbolik atau analogis.

Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa maqam terdalam yang terdapat dalam hati adalah lubb sehingga ketika seseorang telah mencapai maqam ini, maka akan memliki cahaya tauhid dari Allah.

Kecerdasan Qalbu

Psikologi sufistik dalam mengungkap masalah-masalah kecerdasan lebih mengutamakan struktur qalbu. Menurut mereka kecerdasan qalbu timbul melalui aktualisasi potensi-potensinya, sehingga menimbulkan perilaku qalbiyah (al-ahwal al-qalbiyah), yang pada puncaknya memiliki beberapa kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki qalbu, antara lain:

a. Kecerdasan intelektual (intuitif), yaitu kecerdasan qalbu yang berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran pengetahuan yang bersifat intuitif-ilahiyah.

b. Kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan qalbu yang berkaitan dengan kemampuan pengendalian nafsu-nafsu impulsive dan agresif.

c. Kecerdasan moral, yaitu kecerdasan qalbu yang berkaitan dengan hubungan kepada manusia dan alam semesta. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berakhlakul karimah.

d. Kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan qalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang.

e. Kecerdasan beragama, yaitu kecerdasan qalbu yang berhubungan dengan kualitas beragama dan ketuhanan. Kecerdasan ini mengarahkan pada seseorang untuk berperilaku secara benar, yang puncaknya menghasilkan ketakwaan secara mendalam, dengan dilandasi oleh enam kompetensi keimanan, lima kopetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan.

No comments:

Post a Comment