Jul 13, 2019

Belajar dari Kesalahan


Kayaknya, mendingan aku ndak kerja!!! Kalimat itu keluar dari temanku yang siang itu bersungut-sungut, bahasa anak sekarang lagi bad mood. Kenapa? Tanyaku singkat. Kemudian seakan kran air yang terbuka, dia mulai bercerita tentang segala macam uneg-uneg yang dia rasakan. Pekerjaan kantor yang menumpuk, teman seruangan yang ogah-ogahan bekerja, dan ujung-ujungnya dia bercerita semprotan bos yang diterima dijam sarapannya. Bayangkan!!, dengan wajah serius dia menekankan kata-katanya, siang malam pikiranku tercurahkan untuk menyelesaikan pekerjaan, bahkan hari libur pun, aku masih setia dengan pekerjaanku. Namun, begitu ada yang salah, aku dimarahin habis-habisan, sementara teman seruanganku yang ogah- ogahan dalam bekerja kayaknya aman-aman saja. Aku pun ikut merenung dengan kata-katanya itu, kemudian bergelayut pertanyaan dalam benakku apakah kita tidak boleh melakukan kesalahan? Bukankah kesalahan itu adalah hal yang lumrah?


Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. At Tiin: 4). Demikian firman Allah yang terngiang dalam benakku. Ketika diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya apakah tidak dimungkinkan untuk berbuat salah? Allah, sang pencipta kita telah menciptakan manusia dengan segala kelebihan yaitu diciptakan dalam bentuk yang sebaik- baiknya, akan tetapi manusia juga diberikan keterbatasan. Salah satu kekurangan manusia adalah tak pernah luput dari kesalahan. Oleh karena kesalahan itu pasti datang, maka daripada berupaya keras menghindarinya, demi tampil tanpa cela, lebih baik kita menyadari terjadinya kesalahan tersebut dan berusaha belajar dari kesalahan tersebut. Ingatlah kata bijak “Kesalahan adalah guru terbaik, maka kita belajar dari kesalahan.”

Namun pada praktiknya kita kerap mendapat hukuman jika melakukan kesalahan. Sebuah kesalahan sering kali direpresentasikan sebagai sesuatu yang ‘buruk’. Sehingga kita menjadi takut salah dan berusaha keras menghindari kesalahan. Ketakutan berbuat salah ibarat mata pisau yang mengancam kita sehingga kita takut untuk mengambil risiko dan mau berikhlas hati bahwa kita adalah manusia yang memang tak sempurna. Ketakutan akan berbuat salah tersebut telah membuat kita menjadi seorang yang peragu.

Karena ketakutan akan berbuat salah, boleh jadi suatu masalah yang sebenarnya mampu kita selesaikan dengan cepat, menjadi lama penyelesaiannya. Padahal dengan menerima dan mengidentifikasi kesalahan secara tepat, kita justru bisa mengambil manfaat darinya. Tak cuma manfaat untuk diri sendiri, namun juga keluarga, pekerjaan, dan lingkungan di sekitar kita. Berapa banyak masalah yang kita sikapi dengan saling menyalahkan ketimbang mencari solusi, atau bersikap defensif dan menuduh bukannya meminta maaf dan memaafkan. Sehingga terkadang dalam dunia kerja, kesalahan amatlah tabu, padahal ia bisa menjadi pertanda kreatifitas yang berhubungan erat dengan inovasi.

Sebenarnya, apa kesalahan itu? Mengartikan sebuah kesalahan sama sulitnya dengan mendefinisikan sebuah kebahagiaan. Dalam kamus, sebuah kesalahan diartikan sebagai sebuah tindakan atau keputusan yang tidak tepat, tidak bijak atau tidak menguntungkan yang diakibatkan oleh penilaian yang buruk atau kurangnya informasi dan perhatian. James Reason menyatakan bahwa sebuah kesalahan merupakan kegagalan dari tindakan mental maupun spiritual untuk menerima hasil yang diinginkan ketika kegagalan tersebut tidak bisa digunakan untuk melakukan sebuah perubahan maupun kesempatan. Kekeliruan merupakan sebuah tindakan tidak berjalan sesuai dengan rencana. Dan sebuah kesalahan adalah ketika sebuah rencana tidak bisa dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan.

Manusia, secara alamiah, memang akan bereaksi terhadap kesalahan yang dilakukannya. Tahun 1990, Dortmund University Jerman melakukan eksperimen psikologi menggunakan alat electroencepalograph (EEG), guna memonitor kinerja otak dalam merespon kesalahan. Ketika subjek memencet tombol yang salah, dalam waktu super singkat yakni 50-100 milidetik saja, EEG mencatat terjadinya penurunan potensi aktivitas listrik di bagian media frontal cortex, sebesar 10 mikrovolt. Area depan otak tersebut berfungsi sebagai pengawas kinerja manusia secara menyeluruh yang khusus memonitor input negatif, kesalahan, dan keputusan yang meragukan.

Aktivitas saraf otak manusia yang berhubungan dengan kesalahan mulai terbentuk pada umur 8 sampai 10 tahun dan semakin meningkat hingga dewasa. Artinya, kemampuan untuk memonitor kesalahan semakin berkembang seiring bertambahnya usia seseorang. Ini berkat kerja dopamine, neurotransmitter atau zat kimia dalam otak, yang berperan menentukan bagaimana kita merespon kesalahan. Dopamine membuat pola berdasarkan pengalaman.

Kesalahan selain dari sisi buruknya juga dapat dilihat dari sisi baiknya. Kesalahan dilihat dari sisi baiknya bukan berarti bahwa kesalahan tersebut adalah hal yang baik, tetapi kita bisa melihat dampak dari kesalahan tersebut. Dengan cara mencari tahu kenapa bisa terjadi sebuah kesalahan dan pelajaran apa yang bisa diambil dari kesalahan tersebut maka akan sangat membantu dalam mencegah terjadi pengulangan kesalahan maupun kesalahan baru di masa mendatang. Jika kita melakukan kesalahan bukan dikarenakan kita malas atau teledor tetapi lebih pada keinginan untuk bereksperimen serta mencoba hal-hal yang baru, maka hal itu merupakan salah satu alasan yang ‘bagus’ ketika membuat atau melakukan kesalahan. Dan jika setelah itu kita mau menoleh ke belakang dan mencari tahu apa penyebab kesalahan tersebut, maka itu merupakan sebuah hasil yang ‘bagus’ pula. kesalahan bahkan dalam tingkat sel. Kesalahan terjadi tidak untuk dihindari, tetapi mesti dikaji dan dipelajari serta diambil hikmahnya.


• Bagaimana cara belajar dari kesalahan?

Pertanyaan selanjutnya ketika kita sudah menyadari bahwa kesalahan adalah suatu yang wajar kita lakukan- bagaimana kita dapat belajar dari kesalahan? Bagaimana kita bisa cepat bangkit dari efek kesalahan yang kita lakukan dan bukan malah terpuruk karenanya?

1. Budayakan kebiasaan mengambil risiko dari masa kanak-kanak

Dweck, seorang profesor psikologi Universitas Standford menemukan bahwa anak-anak yang dituntut untuk menjadi cerdas seringkali enggan untuk mengambil kesempatan dibandingkan dengan anak-anak yang dihargai atas upayanya dalam pencapaian sebuah tujuan. Dweck melakukan sebuah penelitian dengan melibatkan beberapa murid di sebuah sekolah dasar. Murid-murid tersebut diminta memasang dua macam puzzle dan diberi sebuah kertas dengan empat pilihan yakni :

1. Persoalannya tidaklah terlalu berat, jadi saya tidak akan membuat banyak kesalahan

2. Persoalannya sangat mudah, jadi saya pasti bisa menyelesaikannya dengan baik.

3. Persoalan yang mudah bagi saya dan saya bisa memperlihatkan bahwa saya memang cerdas.

4. Persoalan yang bisa saya pelajari meskipun saya tidak terlalu cerdas.

Russel (murid 1), memilih nomor 4. Ketika diberikan puzzle yg pertama, dia menyelesaikannya dengan sangat mudah. Kemudian diberikan puzzle yang kedua. Pada awalnya Russel cekatan, namun kemudian melambat dan berhenti. Ketika diminta untuk memilih puzzle mana yang akan dibawa pulang untuk dikerjakan di rumah, Russel memilih puzzle yang kedua. Kemudian Russel diberi kertas hijau bertuliskan “saya kurang keras berusaha” dan kertas merah bertuliskan “saya tidak cukup cerdas untuk menyelesaikan puzzle ini”, serta diminta memberi penjelasan mengapa ia tidak bisa menyelesaikan puzzle yang kedua, dia menyerahkan kertas hijau dan Russel menambahkan bahwa menurutnya puzzle yang kedua memang persoalan berat.

Clara (murid 2), memilih nomor 3. Ketika diberikan puzzle pertama, dia menyelesaikan dengan cepat dan berkata pada dirinya “kamu memang cerdas”. Kemudian diberikan puzzle yang kedua. a tampak malu sekali ketika tidak bisa menyelesaikan. Clara pun memilih puzzle yg pertama untuk dibawa pulang. Saat diberikan kertas merah dan hijau, Clara menyerahkan kertas merah dan mengatakan bahwa dia tidak bisa menyelesaikan puzzle kedua karena dia tidak cukup cerdas untuk melakukannya. Ketika dipuji akan kecerdasannya, Clara memilih puzzle yang pertama agar ia tetap terlihat cerdas dan beranggapan bahwa kegagalannya dalam menyelesaikan puzzle kedua dikarenakan dia kurang cerdas. Ketika dipuji karena upaya dan kerja kerasnya, Russel berkemauan untuk mencoba puzzle yang lebih sulit lagi dan percaya bahwa menyelesaikan puzzle memang memerlukan kerja keras daripada hanya bermodalkan kecerdasan, yang akan membantunya menjadi lebih baik.

Dweck menyatakan bahwa satu hal yang dia pelajari adalah anak-anak cenderung terbiasa dengan pesan yang nyata dan pesan tersebut adalah “jadilah cerdas”, padahal bukan demikian halnya. Pesan yang memotivasi adalah “kami sangat bangga jika kamu berjuang, atau ketika kamu belajar dan melakukan kesalahan”. Dari hal tersebut bisa dikatakan bahwa meskipun kita berpikir kita memiliki bakat atau kemampuan untuk melakukan suatu hal, cara pandang kita dalam menyikapi sebuah kesalahan lah yang memiliki dampak yang signifikan. Orang-orang yang melihat kemampuan mereka sebagai sebuah standar, akan memiliki standarisasi mindset. Mereka takut akan melakukan kesalahan sebab hal tersebut memperlihatkan ketidakmampuan mereka untuk melakukan sebuah pekerjaan dan mereka belajar untuk bersikap defensif serta cenderung menyalahkan orang lain selain diri mereka sendiri. Sementara orang-orang yang melihat kemampuan sebagai sebuah kualitas dan sebuah kepercayaan bahwa mereka mampu berusaha keras akan membentuk mindset bertumbuh. Mereka tidak malu ketika melakukan kesalahan, tetapi mereka cenderung melihat sebuah kesalahan sebagai bagian dari proses pembelajaran dibandingkan sekedar refleksi kecerdasan dan kemampuan mereka.

Dengan membudayakan keberanian mengambil risiko dan yakin bahwa kemampuan dan kerja kerasnya akan membuat seorang dapat bertumbuh niscaya orang tersebut akan pandai belajar dari kesalahan yang ia buat maupun dari kesalahan orang lain agar dia tidak mengulanginya.

2. Budayakan lingkungan pembelajar

Salah satu faktor yang mempengaruhi pembelajaran terhadap kesalahan yakni lingkungan, baik dari segi kelas sosial dan ekonomi, dan budaya. Lingkungan ini ikut berperan ketika dihadapkan pada bagaimana respon kita terhadap kesalahan dan kemauan kita untuk mengambil pelajaran dari hal tersebut. Apabila lingkungan disekitar kita gampang sekali menilai bahwa kesalahan itu buruk dan itu seharusnya tidak kita lakukan maka penilaian itu akan senantiasa melekat pada mindset kita. Sehingga apabila kita melakukan kesalahan maka kita seringkali mudah terpuruk dan susah bangkit kembali karena mindset kita dan juga kita malu terhadap penilaian orang. Untuk itu yang diperlukan adalah kita perlu Membudayakan lingkungan di sekitar kita sebagai lingkungan pembelajar, yaitu lingkungan yang memberi wadah bagi kita untuk selalu belajar dan bertumbuh, walaupun kita melakukan kesalahan, itu bukan akhir dari dunia tetapi awal dari sesuatu yang lebih baik apabila kita belajar dari kesalahan tersebut. Mengapa perlu membudayakan? Karena pada kenyataannya lingkungan pembelajar ini masih jarang kita lihat. Oleh karenanya kita perlu membudayakan agar tercipta lingkungan pembelajar. Awali dari yang kecil, dari keluarga kita, niscaya itu akan menular pada keluarga-keluarga di sekita kita. Dalam dunia kerja, menciptakan lingkungan pembelajar tidaklah mudah. Lingkungan pembelajar dimana orang-orang bisa belajar dari kesalahan tidak berarti mereka selalu bisa bersikap baik satu sama lain sepanjang waktu. Akan selalu muncul konflik diantara mereka. Untuk meredakan konflik, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memperbaiki cara pembelajarannya, selain memperbaiki kesalahannya. Ketika semua orang di segala level organisasi belajar untuk melakukannya, maka akan tercipta lingkungan dimana belajar -termasuk belajar dari kesalahan- adalah sesuatu yang penting yang kemudian akan meningkatkan performa organisasi. Sebagai eksperimen, Gully memutuskan untuk melihat apa yang akan terjadi jika beberapa orang diberitahu bahwa kesalahan adalah cara yang baik untuk belajar, beberapa yang lain diberitahu untuk tidak membuat kesalahan sama sekali. Akhirnya ia menemukan bahwa tidak setiap orang mampu belajar dengan baik dari kesalahan yang telah dilakukannya, tetapi mereka dengan tipe tertentu  yang bagus dalam proses informasi, terbuka untuk mempelajari hal-hal baru, dan tidak kaku lebih efektif ketika didukung untuk belajar dari kesalahan dibanding jika mereka menghindari dan mengabaikan kesalahan tersebut.

3. Budayakan sikap waspada terhadap kesalahan

Apa yang dimaksud Membudayakan sikap waspada terhadap kesalahan? Ketika kita atau orang lain melakukan kesalahan, kita tidak hanya melihat kesalahan itu sebagai suatu kesalahan, kita juga perlu melihat pada dampak dan alasan mengapa terjadi kesalahan. Konsep Just Culture memberikan sebuah upaya untuk menemukan keseimbangan antara hanya menyalahkan seseorang dan tidak pernah menyalahkan seseorang.

Just Culture mengidentifikasikan tiga kelas kesalahan manusia: kesalahan akibat lengah, perilaku yang cenderung mengambil risiko, dan perilaku yang sembrono. Kita ambil contoh kasus mengenai permintaan rumah sakit untuk membaca nama pasien untuk memastikan pasien tersebut mendapatkan pengobatan yang tepat. Kesalahan akibat kelengahan bisa melihat papan nama namun salah membaca label. Pada perilaku yang cenderung mengambil risiko mengetahui bahwa ia semestinya membaca papan nama tetapi tidak melakukannya dengan alasan tidak ingin membangunkan pasien. Pada perilaku sembrono akan mengabaikan permintaan tersebut dan memilih untuk tidak membaca papan nama. Yang dimaksud membudayakan sikap waspada disini kita tidak boleh mentolerir kesalahan dikarenakan sembrono. Seorang perawat yang salah membaca label semestinya tidak dihukum tetapi dibantu untuk mencari sistem yang akan mencegah terjadinya kesalahan misalnya seperti kesalahan cetak dalam label. Jadi menciptakan budaya waspada terhadap kesalahan tidaklah sama dengan menginstitusikan atmosfer dimana didalamnya terdapat nol toleransi terhadap kesalahan atau mendeklarasikan zona bebas kesalahan. Hal tersebut dikarenakan bahwa kesempurnaan adalah sebuah kemustahilan. Waspada terhadap kesalahan memungkinkan terciptanya budaya yang meminimalisir kesalahan yang tidak perlu dan memungkinkan pegawai selalu belajar dari kesalahan dirinya maupun orang lain.


4. Beranilah Mengakui Kesalahan

Kesalahan bisa terjadi kapan pun, dimana pun, dan oleh siapa pun. Tak perlu menghindarinya, kita hanya perlu belajar darinya. Yang perlu kita lakukan adalah berani mengakui kesalahan tersebut dan kalau diperlukan kita meminta maaf atas kesalahan yang kita lakukan. Sebuah permintaan maaf memiliki tiga elemen: memahami kesalahan yang dilakukan, rasa penyesalan, dan tanggung jawab akan hal tersebut dan jika mungkin juga cara untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Seringkali kita tidak memisahkan ketiga elemen tersebut, dan seringkali pula kita menyalahkan orang lain dan merasa kesulitan untuk meminta maaf.

Selama lebih dari beberapa dekade silam, penelitian memperlihatkan bahwa apa yang kita pelajari di masa pra sekolah juga berguna di lingkungan kerja sekarang ini : mengucapkan permintaan maaf – dan bersungguh-sungguh melakukannya – membuat orang lain merasa lebih baik. Peraturan mengenai perselisihan dan mediasi, merupakan sebuah contoh upaya yang bertujuan agar orang-orang memilih berbicara daripada berteriak.

Sebuah permintaan maaf bisa membantu kita untuk melanjutkan hidup dan belajar dari kesalahan yang kita perbuat. Ketika kesalahan terjadi dalam konteks hubungan prioritas – entah dengan kolega, orang tua, anak-anak, rekan maupun pasien – sangat sulit melanjutkan hubungan kecuali orang yang melakukan kesalahan meminta maaf. Jika kita tidak bisa meminta maaf atas kesalahan yang kita lakukan, atau menerima permintaan maaf orang lain, maka kita tidak akan pernah bisa belajar dari kesalahan kita. Sebuah permintaan maaf tidak bisa dipisahkan dari sebuah kesalahan, dan merupakan kesatuan yang harus dipelajari. Demikian hal-hal yang dapat kita lakukan terhadap sebuah kesalahan semoga kita senantiasa bisa belajar banyak dari sebuah kesalahan.

No comments:

Post a Comment