Aug 13, 2024

Sikap Harap-harap Cemas

 


Untuk background kali ini SettiaBlog gunakan kolasebiji - bijian yang SettiaBlog buat beberapa hari yang lalu, kacang hijau, kedelai hitam, jagung dan padi hitam. Nah, padi hitamnya ini sangat langka di tempat SettiaBlog makanya SettiaBlog memberi warna padi biasa dengan warna hitam. Padi hitam kayak varietas jeliteng itu bagus banget lho di konsumsi, apalagi untuk penderita diabetes. Enak ini kayaknya di buat puding beras hitam atau jus beras hitam he... he... Untuk video klipnya ada gambar sketsa cewek yang kenakan cincin di jari tengah sebelah kiri. Ya ini juga asal buat. Cincin di jari tengah kiri sendiri bisa di makna 'komitmen'. Kalau lagunya sendiri SettiaBlog kasih "forever young". Liriknya c mengajak semua orang mewujudkan mimpi-mimpi selagi muda dan masih bisa. Sebab, kita ndak akan tahu akan hidup sampai umur berapa. Dan yang membuat SettiaBlog tertarik, di lirik,
Hoping for the best but expecting the worst
(Berharap untuk yang terbaik, tapi tetap mengantisipasi yang terburuk)

Ndak bisa dipungkiri, bahwa perjalanan hidup seseorang selalu diliputi oleh dua hal yang silih-berganti: “kegembiraan dan kesedihan”. Gembira karena mendapatkan sesuatu yang diharapkan, dan sedih di saat ndak atau belum mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Semua orang memiliki sejumlah harapan. Tetapi, ndak semua yang diharapkan pada akhirnya diperolehnya, dan bahkan – dalam banyak hal – mengalami sejumlah kegagalan. Berkaitan dengan perjalanan hidup setiap orang, para ulama menyatakan bahwa terdapat dua hal dalam sisi spiritualitas seorang muslim yang harus dijaga keseimbangannya. Kedua hal tersebut adalah: “ketakutan dan kekhawatiran atas siksa atau azab Allah SWT sebagai akibat dari perbuatan dosanya, yang dikenal dengan istilah Khauf, dan pengharapannya atas kemurahan, pengampunan dan kasih sayang Allah SWT yang disebut dengan Rajâ’.

Konsep  Khauf dan Raja’ dalam dunia spiritualitas dianggap sebagai salah satu bagian dari al-ahwâl (kondisi-kondisi; mufradnya: “al-hâl”) yang harus dilalui atau dialami orang yang menapak jalan menuju Allah SWT. Keseimbangan secara proporsional ini diperlukan agar seseorang ndak tenggelam dalam satu kutub esktrem, Khauf  atau Raja’  saja. Secara etimologi, khauf berasal dari bahasa arab yang berarti ketakutan. Khauf  adalah kata benda yang memiliki arti ketakutan atau kekhawatiran. Khawatir sendiri merupakan kata sifat yang bermakna takut (gelisah, cemas) terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Sedangkan takut adalah kata sifat yang memiliki beberapa makna seperti, merasa gentar menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana. Jadi khauf  berarti perasaan gelisah atau cemas terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Adapun secara terminologi, khauf : “sikap mental merasa takut kepada Allah SWT karena kurang sempurna pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-kalau Allah SWT ndak senang padanya”. Khauf  timbul karena pengenalan dan cinta kepada Allah SWT yang mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau Allah SWT melupakannya atau takut kepada siksa Allah SWT.

Ibn Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa takut kepada Allah SWT itu hukumnya wajib. Karena takut kepada Allah SWT itu dapat mengantarkan hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan. Siapa yang ndak takut kepada-Nya, berarti ia seorang pendosa. Khauf  dapat diumpamakan seperti kondisi yang dirasakan oleh seorang yang sedang dikejar-kejar musuh, sehingga dia ndak berani bergerak dan bersuara di tempat persembunyiannya. Demikianlah kira-kira rasa khauf  yang dirasakan seorang muslim saat mengingat dosa-dosanya yang demikian banyak sehingga seakan-akan azab api neraka sudah ada di depan matanya dan hampir pasti membakarnya. Saat mengingat bahwa dia pernah memakan makanan yang haram, maka dia menyadari bahwa makanan yang telah menjadi darah dan daging dalam tubuhnya ndak akan bersih kecuali dibakar dengan api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
« يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ الصَّلاَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ حَصِينَةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ، يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ، إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ ». “
Wahai Ka'ab bin 'Ujrah, shalat merupakan tanda keimanan, puasa ialah perisai yang kokoh, serta sedekah dapat menghapuskan dosa sebagaimana air memadamkan api. Wahai Ka'ab bin 'Ujrah, siapa pun hamba yang dagingnya tumbuh dari (makanan) haram maka neraka lebih pantas baginya.” (Hadits Riwayat at-Tirmidzi dari Ka’ab bin ‘Ujrah)

Rajâ’ berasal dari kata rajâ -- yarjû – rajâ-an, yang berarti mengharap dan pengharapan. Kata rajâ’  dalam Al-Qur'an disebutkan -- misalnya -- dalam QS Al-Baqarah, 2: 218 dan QS Al-Ahzâb/33: 21,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا “
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”

Dalam kedua ayat tersebut, rajâ’ (pengharapan) atas rahmat Allah SWT dinyatakan oleh para mufassir begitu kuat pengaruhnya bagi setiap orang yang beriman. Pengharapan itu menjadikan mereka rela hijrah, meninggalkan segala kesenangan dan harta yang mereka telah miliki. Rajâ’  merupakan sikap optimis total. Ibarat seorang pedagang yang rela memertaruhkan seluruh modal usahanya karena meyakini keuntungan besar yang bakal segera diraihnya. Ibarat seorang ‘pecinta’ yang rela memertaruhkan segala miliknya demi menggapai cinta kekasihnya. Dia meyakini bahwa cintanya itulah bahagianya. Tanpanya, hidup ini tiada arti baginya. Rajâ’  atau pengharapan yang demikian besar menjadikan seseorang hidup dalam sebuah dunia tanpa kesedihan. Sebesar apa pun bahaya dan ancaman yang datang ndak mampu menghapus ‘senyum’ optimisme dari wajahnya.

Kondisi Khauf  dan Rajâ’ sebagaimana disebut di atas tercermin dalam hadits Nabi SAW, sebagai berikut:
« لَوْ يَعْلَمُ اْلمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْعُقُوْبَةِ ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الرَّحْمَةِ ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ ». "
Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di si Allah, niscaya tidak ada seorang mukmin pun yang menginginkan surga-Nya. Dan seandainya orang kafir itu mengetahui rahmat Allah, maka niscaya tidak ada seorang kafir pun yang berputus asa untuk mengharapkan surga-Nya. (Hadits Riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Shahîh Muslim)
Ketika seseorang berada dalam kondisi khauf, maka yang selalu terbayang baginya adalah siksa dan azab Allah SWT yang sangat pedih. Bagaimana ndak? Bukankah hidup ini penuh dengan godaan dosa. Di setiap langkah, laku, dan ucapan, selalu saja ada salah dan khilaf. Nikmat Allah SWT berupa mata untuk melihat hanya pantas memandang hal-hal baik. Manakala mata tersebut digunakan memandang hal yang haram maka yang paling pantas untuknya adalah mengembalikan mata itu kepada Allah SWT. Telinga, tangan, kaki, dan segala organ tubuh yang Allah SWT karuniakan kepada manusia hanya diperuntukkan untuk melaksanakan ketaatan. Manakala digunakan untuk maksiat, maka seseorang ndak berhak lagi atas segala karunia itu. Dan Allah SWT ‘sangat’ berhak untuk menyiksa siapapun yang menyalahgunakan nikmat dan karunia-Nya. Dalam kondisi ini, ndak seorang pun yang boleh merasa aman dari siksa tersebut. Sebaliknya, dalam kondisi rajâ’, seseorang dapat memastikan bahwa dia pasti mendapat rahmat, kasih sayang, dan ampunan Allah SWT. Bagaimana ndak? Padahal orang kafir pun, sebagaimana hadits di atas, berhak untuk berharap masuk surga. Bahkan Allah SWT melarang siapa pun untuk berputus asa dari rahmat-Nya. Allah berfirman dalam QS Yûsuf, 12: 87,
إِنَّهُ لا يَايْئسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ “
Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali golongan orang-orang kafir”.


Ketika seseorang terlena dalam optimisme yang tinggi (rajâ’), dia ndak merasa khawatir akan dosa-dosa yang telah, sedang, atau akan diperbuatnya. Baginya, ampunan Allah SWT demikian luas sehingga dia dapat bertaubat kapan saja. Dia akan merencanakan taubat setelah puas melakukan kemaksiatan. Sebaliknya, dalam keadaan khauf  yang berlebihan, hidup seseorang akan kacau dan ndak terkendali. Rasa bersalah dari dosa besar yang telah dilakukannya menutupi harapannya untuk kembali ke jalan yang benar. Dia merasa dan meyakini bahwa apapun kebaikan yang diperbuatnya ndak akan sebanding dengan dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya. Akibatnya, dia ndak segera bertaubat, namun terus menenggalamkan diri dalam kemaksiatan. Yang layak bagi seorang muslim dan mukmin adalah menerima dan mengembangkan konsep “keseimbangan spiritualitas”. Artinya, dia harus menggabungkan antara Khauf  dan Rajâ’ secara proporsional (dalam porsi yang benar dan tepat). Dalam kondisi Khauf, dia meyakini betul akan siksa jika dia melanggar aturan-aturan agama. Namun pada saat terlanjur dan tergelincir dalam dosa dan maksiat, dia – dengan sikap Rajâ’-nya -- segera bertaubat dan yakin bahwa taubatnya akan diterima.

Optimisme atas kasih sayang dan ampunan Allah SWT inilah yang bisa membuatnya tersenyum di setiap saat. Namun takutnya kepada siksa atas dosa akan membuatnya ‘meneteskan air mata’ di tengah malam saat dia lakukan dzikrullâh, utamanya dalam  Qiyâm al-Lail.



Untuk video klip kedua SettiaBlog kasih "selendang biru". Dan SettiaBlog pilih lagu ini karena ada kata - kata 'selendang biru', ndak ada maksud lain kok. SettiaBlog ingin menyapa semua selendang biru di Indonesia dan juga semua selendang hijau yang ada di Indonesia. Mereka merupakan urat nadi perkembangan Indonesia. Seperti halnya Samudra Pasifik dan Samudra Hindia yang juga merupakan urat nadi perkembangan Indonesia dari masa ke masa. Ngomongin apa c SettiaBlog ini? Ndak tahulah... ya... udah, maaf in SettiaBlog ya.

Yang jelas komitmen sangat penting untuk dimiliki oleh seseorang. Dalamnya komitmen seseorang dapat mengukur besarnya konsistensi dan tanggung jawabnya, entah dalam kondisi yang mudah atau sulit, senang atau susah, maupun ringan ataupun berat. Tanpa komitmen, ndak akan konsistensi.

No comments:

Post a Comment