Kemaren malem SettiaBlog coba menggabungkan beberapa repeating-radial-gradient. E... ternyata hasilnya bagus lho, yang SettiaBlog gunakan background postingan kali ini. Habis itu SettiaBlog ngeliat notifikasi yang ada di Youtube dan SettiaBlog buka video klip di atas. Abi Carter. Ya, Abi Carter membawakan "bed of roses" milik Bon Jovi. SettiaBlog acungi jempol, karena Abi Carter bisa keluar dari kemegahan lagu bed of roses versi aslinya dan di akhir lagu ini, bed of roses sudah jadi milik Abi Carter. SettiaBlog suka tampilan Abi Carter, sederhana, motif polkadot kecil. Selaras dengan latar panggung, dengan menampilkan siluet dan sedikit cahaya aurora. Dalam bait pertama, lagu bed of roses Sang penulis lagu seakan membawa pendengar masuk ke dalam suasana bunga mawar yang memanjakan.
Namun, jangan terkecoh oleh keindahannya. Metafora dari "bed of roses" di sini ndak hanya mewakili kebahagiaan dalam cinta, tetapi juga beban dan komitmen yang melekat dan tentu penuh perjuangan.
"Berbahagia saat bekerja menandakan Anda menikmati apa yang Anda kerjakan dan ndak hanya melihat dari hasilnya saja."
Jika ada yang bertanya, untuk apa sebenarnya manusia diciptakan di dunia ini? Sebagai seorang muslim, tentu akan mudah menjawabnya: untuk beribadah. Demikian karena tujuan penciptaan memang telah jelas dititahkan oleh Allah SWT yaitu dalam firman-Nya pada surat Adz-dzariyat ayat 56 yang artinya berbunyi:
“Tiadalah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembahku)”. Ayat ini berlaku umum menjelaskan bahwa tugas pokok kita sebagai manusia pada dasarnya adalah untuk beribadah semata. Namun demikian, apakah yang dimaksud dengan ibadah di sini hanya seperti yang kita bayangkan yaitu melaksanakan rukun Islam semata? Atau hanya berdiam di masjid berdzikir kepada Allah SWT tanpa henti tanpa melakukan kegiatan apapun selainnya? Tentu ndak kan. Ketentuan bahwa satu-satunya tugas kita sebagai makhluk ciptaan Allah SWT adalah untuk beribadah memang ndak dapat didustakan. Namun kenyataan bahwa kita hidup di dunia juga ndak dapat dikesampingkan.
Setiap manusia di dunia memiliki jalan takdir hidupnya masing-masing. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah SAW. menerangkan bahwa nasib manusia pada hakikatnya sudah ditentukan, termasuk rezeki, ajal, amal, kesedihan, dan kebahagiaannya. Hal ini seharusnya meniscayakan adanya iman kepada Allah SWT bahwa Dia lah satu-satunya yang berkuasa dan tiadalah manusia melakukan sesuatu apapun kecuali ditujukan untuk menggapai ridha-Nya.
Manusia memang diciptakan dengan berbagai macam watak dan karakter. Berdasarkan tingkat kesadarannya, aktivitas yang dilakukan tentu juga akan berbeda-beda. Seseorang dengan kesadaran bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, akan bisa menyeimbangkan kebutuhan duniawi dengan akhiratnya. Sementara seseorang dengan tingkat kesadaran ndak berimbang, akan lebih condong memprioritaskan salah satu dari keduanya. Dari Anas ra. ia berkata, Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi Muhammad SAW untuk bertanya tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka menganggap ibadah mereka sedikit sekali. Mereka berkata,
“Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan Nabi Muhammad SAW., padahal beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang.”
Salah seorang dari mereka mengatakan,
“Aku akan melakukan shalat malam seterusnya.”
Lainnya berkata,
“Aku akan berpuasa seterunya tanpa berbuka.”
Kemudian yang lain juga berkata,
“Sedangkan aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah.”
Melihat kepada potongan hadis di atas, tentu ada rasa kagum bagaimana semangat ibadah para sahabat yang sangat tinggi. Namun ternyata, setelah kabar ketiga sahabat tersebut sampai kepada Nabi Muhammad SAW., Beliau memiliki tanggapan yang berbeda. Beliau menegaskan bahwa telah berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah sehingga melupakan aspek kehidupan dunia, padahal amalan yang demikian ndak dicontohkanNya. Pada lanjutan hadis dijelaskan bahwa Rasulullah SAW mendatangi mereka seraya bersabda,
“Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang tidak menyukai sunahku, ia tidak termasuk golonganku.”
Sebaliknya, terlalu memperhatikan dunia hingga melupakan akhirat tentu juga ndak baik. Manusia memang diciptakan dengan akal dan dihiasi dengan keinginan (syahwat) pada keindahan-keindahan duniawi. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 14 yang artinya adalah,
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Dalam ayat tersebut Allah SWT menjelaskan bahwa wanita, anak, harta, kendaraan, termasuk sawah ladang adalah keindahan dunia yang wajar jika manusia condong kepadanya. Kecintaan terhadap beberapa hal tersebut pada dasarnya adalah sah karena fitrah manusia memang diciptakan demikian. Namun kemudian menjadi ndak wajar jika kecintaan yang timbul menjadi berlebihan, apalagi menjadikan kesemuanya itu hanya sebagai tujuan hidup tanpa memperhatikan urusan akhirat.
Sejatinya, dunia memang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 29 yang artinya berbunyi,
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
Dipahami dari ayat ini adalah bahwa bumi dijadikan untuk manusia, artinya manusi memiliki hak untuk memanfaatkan segala apa yang ada di dalamnya. Pemanfaatan itu tentu harus dipahami pada hal-hal yang mengandung maslahat saja, termasuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier, dalam ukuran yang diizinkan oleh syariat. Tentu kita semua pernah mendengar atau membaca kisah viral seseorang yang memiliki kekayaan tiada bandingannya di muka bumi ini, Qarun. Dikisahkan bahwa pada awalnya Qarun adalah seseorang yang miskin. Lalu dia meminta Nabi Musa as. untuk mendo'akannya agar diberikan kekayaan kepadanya. Do'a itu akhirnya dikabulkan dan Qarun lantas menjadi orang yang kaya. Al-Quran menggambarkan betapa kekayaan tersebut sangat melimpah. Saking kayanya, bahkan kunci-kunci gudang hartanya sangat berat dan harus diangkat oleh beberapa orang kuat. Namun, kecintaannya yang berlebihan terhadap harta kekayaannya memunculkan perasaan sombong yang pada akhirnya mengantarkannya pada kebinasaan.
Imam Bukhari meriwayatkan satu hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW berkata,
“Celaka budak dinar, dirham, dan kain (qathifah). Jika diberi dia ridha, jika ndak diberi dia ndak rela.”
Melalui hadis tersebut, Rasulullah SAW menekankan bahwa sungguh ndak elok manusia yang hatinya terpaku pada keberadaan harta. Menjadi kaya memang ndak salah, tapi menempatkan kekayaan pada hati tidaklah dianjurkan. Tercatat dalam sejarah, ndak sedikit para alim ulama yang mempunyai kekayaan yang banyak, namun kekayaan tersebut ndak menggoyahkan hati mereka dalam menyikapi kehidupan di akhirat.
Islam menganjurkan keseimbangan dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat. Ndak berlebihan pada dunia, sebaliknya juga ndak berlebihan pada akhirat. Dalam surat Al-Qashash ayat 77 Allah SWT berfirman,
“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa akhirat memang telah disediakan sebagai tempat kembali, namun sebelumnya manusia juga ditakdirkan hidup di dunia. Dengan begitu, sebagaimana akhirat harus dipersiapkan, dunia juga harus dijadikan tempat mempersiapkan hidup di akhirat kelak. Dalam sebuah ungkapan dikatakan bahwa dunia adalah ladang akhirat (ad-dunya mazra’at al-akhirah). Maksudnya adalah bagaimana kita harus bersikap terhadap dunia untuk menjadikannya sebagai ladang di mana kita menanam berbagai amal baik untuk dipanen nantinya di akhirat. Jika amal yang kita tanam berasal dari bibit yang kurang baik, kita harus bersiap memanen hasil yang kurang baik. Sebaliknya jika yang kita tanam berasal dari bibit yang baik, maka kita akan bergembira dengan hasil yang baik pula di akhirat kelak. Allah SWT dalam surat Az-Zalzalah Ayat 7 berfirman,
“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya pula.”
Yang terpenting, jangan di masukin hati bahasan SettiaBlog. Maaf in SettiaBlog ya.
"Don't count every day, make every day count."
(Jangan menghitung setiap hari, jadikan setiap hari bermakna.)
"Embrace your imperfections, they make you unique."
(Peluklah ketidaksempurnaanmu, mereka membuatmu unik.)
"Berbahagia saat bekerja menandakan Anda menikmati apa yang Anda kerjakan dan ndak hanya melihat dari hasilnya saja."
Jika ada yang bertanya, untuk apa sebenarnya manusia diciptakan di dunia ini? Sebagai seorang muslim, tentu akan mudah menjawabnya: untuk beribadah. Demikian karena tujuan penciptaan memang telah jelas dititahkan oleh Allah SWT yaitu dalam firman-Nya pada surat Adz-dzariyat ayat 56 yang artinya berbunyi:
“Tiadalah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembahku)”. Ayat ini berlaku umum menjelaskan bahwa tugas pokok kita sebagai manusia pada dasarnya adalah untuk beribadah semata. Namun demikian, apakah yang dimaksud dengan ibadah di sini hanya seperti yang kita bayangkan yaitu melaksanakan rukun Islam semata? Atau hanya berdiam di masjid berdzikir kepada Allah SWT tanpa henti tanpa melakukan kegiatan apapun selainnya? Tentu ndak kan. Ketentuan bahwa satu-satunya tugas kita sebagai makhluk ciptaan Allah SWT adalah untuk beribadah memang ndak dapat didustakan. Namun kenyataan bahwa kita hidup di dunia juga ndak dapat dikesampingkan.
Setiap manusia di dunia memiliki jalan takdir hidupnya masing-masing. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah SAW. menerangkan bahwa nasib manusia pada hakikatnya sudah ditentukan, termasuk rezeki, ajal, amal, kesedihan, dan kebahagiaannya. Hal ini seharusnya meniscayakan adanya iman kepada Allah SWT bahwa Dia lah satu-satunya yang berkuasa dan tiadalah manusia melakukan sesuatu apapun kecuali ditujukan untuk menggapai ridha-Nya.
Manusia memang diciptakan dengan berbagai macam watak dan karakter. Berdasarkan tingkat kesadarannya, aktivitas yang dilakukan tentu juga akan berbeda-beda. Seseorang dengan kesadaran bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, akan bisa menyeimbangkan kebutuhan duniawi dengan akhiratnya. Sementara seseorang dengan tingkat kesadaran ndak berimbang, akan lebih condong memprioritaskan salah satu dari keduanya. Dari Anas ra. ia berkata, Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi Muhammad SAW untuk bertanya tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka menganggap ibadah mereka sedikit sekali. Mereka berkata,
“Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan Nabi Muhammad SAW., padahal beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang.”
Salah seorang dari mereka mengatakan,
“Aku akan melakukan shalat malam seterusnya.”
Lainnya berkata,
“Aku akan berpuasa seterunya tanpa berbuka.”
Kemudian yang lain juga berkata,
“Sedangkan aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah.”
Melihat kepada potongan hadis di atas, tentu ada rasa kagum bagaimana semangat ibadah para sahabat yang sangat tinggi. Namun ternyata, setelah kabar ketiga sahabat tersebut sampai kepada Nabi Muhammad SAW., Beliau memiliki tanggapan yang berbeda. Beliau menegaskan bahwa telah berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah sehingga melupakan aspek kehidupan dunia, padahal amalan yang demikian ndak dicontohkanNya. Pada lanjutan hadis dijelaskan bahwa Rasulullah SAW mendatangi mereka seraya bersabda,
“Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang tidak menyukai sunahku, ia tidak termasuk golonganku.”
Sebaliknya, terlalu memperhatikan dunia hingga melupakan akhirat tentu juga ndak baik. Manusia memang diciptakan dengan akal dan dihiasi dengan keinginan (syahwat) pada keindahan-keindahan duniawi. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 14 yang artinya adalah,
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Dalam ayat tersebut Allah SWT menjelaskan bahwa wanita, anak, harta, kendaraan, termasuk sawah ladang adalah keindahan dunia yang wajar jika manusia condong kepadanya. Kecintaan terhadap beberapa hal tersebut pada dasarnya adalah sah karena fitrah manusia memang diciptakan demikian. Namun kemudian menjadi ndak wajar jika kecintaan yang timbul menjadi berlebihan, apalagi menjadikan kesemuanya itu hanya sebagai tujuan hidup tanpa memperhatikan urusan akhirat.
Sejatinya, dunia memang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 29 yang artinya berbunyi,
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
Dipahami dari ayat ini adalah bahwa bumi dijadikan untuk manusia, artinya manusi memiliki hak untuk memanfaatkan segala apa yang ada di dalamnya. Pemanfaatan itu tentu harus dipahami pada hal-hal yang mengandung maslahat saja, termasuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier, dalam ukuran yang diizinkan oleh syariat. Tentu kita semua pernah mendengar atau membaca kisah viral seseorang yang memiliki kekayaan tiada bandingannya di muka bumi ini, Qarun. Dikisahkan bahwa pada awalnya Qarun adalah seseorang yang miskin. Lalu dia meminta Nabi Musa as. untuk mendo'akannya agar diberikan kekayaan kepadanya. Do'a itu akhirnya dikabulkan dan Qarun lantas menjadi orang yang kaya. Al-Quran menggambarkan betapa kekayaan tersebut sangat melimpah. Saking kayanya, bahkan kunci-kunci gudang hartanya sangat berat dan harus diangkat oleh beberapa orang kuat. Namun, kecintaannya yang berlebihan terhadap harta kekayaannya memunculkan perasaan sombong yang pada akhirnya mengantarkannya pada kebinasaan.
Imam Bukhari meriwayatkan satu hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW berkata,
“Celaka budak dinar, dirham, dan kain (qathifah). Jika diberi dia ridha, jika ndak diberi dia ndak rela.”
Melalui hadis tersebut, Rasulullah SAW menekankan bahwa sungguh ndak elok manusia yang hatinya terpaku pada keberadaan harta. Menjadi kaya memang ndak salah, tapi menempatkan kekayaan pada hati tidaklah dianjurkan. Tercatat dalam sejarah, ndak sedikit para alim ulama yang mempunyai kekayaan yang banyak, namun kekayaan tersebut ndak menggoyahkan hati mereka dalam menyikapi kehidupan di akhirat.
Islam menganjurkan keseimbangan dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat. Ndak berlebihan pada dunia, sebaliknya juga ndak berlebihan pada akhirat. Dalam surat Al-Qashash ayat 77 Allah SWT berfirman,
“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa akhirat memang telah disediakan sebagai tempat kembali, namun sebelumnya manusia juga ditakdirkan hidup di dunia. Dengan begitu, sebagaimana akhirat harus dipersiapkan, dunia juga harus dijadikan tempat mempersiapkan hidup di akhirat kelak. Dalam sebuah ungkapan dikatakan bahwa dunia adalah ladang akhirat (ad-dunya mazra’at al-akhirah). Maksudnya adalah bagaimana kita harus bersikap terhadap dunia untuk menjadikannya sebagai ladang di mana kita menanam berbagai amal baik untuk dipanen nantinya di akhirat. Jika amal yang kita tanam berasal dari bibit yang kurang baik, kita harus bersiap memanen hasil yang kurang baik. Sebaliknya jika yang kita tanam berasal dari bibit yang baik, maka kita akan bergembira dengan hasil yang baik pula di akhirat kelak. Allah SWT dalam surat Az-Zalzalah Ayat 7 berfirman,
“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya pula.”
Yang terpenting, jangan di masukin hati bahasan SettiaBlog. Maaf in SettiaBlog ya.
"Don't count every day, make every day count."
(Jangan menghitung setiap hari, jadikan setiap hari bermakna.)
"Embrace your imperfections, they make you unique."
(Peluklah ketidaksempurnaanmu, mereka membuatmu unik.)
No comments:
Post a Comment