Ini SettiaBlog mengetik bahasan pakai tangan kiri karena sambil makan, yang tangan kanan di pakai muluk nasi (muluk itu makan tanpa menggunakan sendok). Jorok kan ya Settia, makan nasi kok langsung menggunakan tangan. Sudah kebiasaan dari dulu c, lebih nikmat.... he... he.... Apalagi kalau nasinya hangat dengan lauk sotong (ikan nus) yang masih ada tinta hitamnya di masak nyemek - nyemek (sedikit berkuah).... , tangan, pipi ini kadang sampai blepotan warna hitam ikan sotong. Habisnya gimana, dari dulu memang sudah terbiasa makan muluk, bukan karena takut ketularan penyakit karena sering tukar alat makan dengan orang lain, SettiaBlog pernah dengar, kata nya radang selaput otak, hepatitis dan beberapa penyakit lain bisa menular dari gonta - ganti alat makan. Tapi bukan itu kok alasan SettiaBlog ndak suka makan dengan sendok. SettiaBlog merasa lebih nikmat jika makan muluk. Alhamdulillah SettiaBlog masih bisa menikmati makanan, bisa menikmati kehidupan ini.... Klip di atas di ambil dari film safe haven, bagaimana beratnya perjuangan seorang wanita yang berjuang mencari tempat aman, nyaman untuk menikmati hidup, setelah melakukan suatu kesalahan. O... ya, sotong (ikan nus, cumi - cumi) itu katanya binatang yang sangat cerdas lho....
Bicara soal kecerdasan, mengapa kita sering melihat orang-orang yang mempunyai prestasi yang luar biasa di sekolah, namun selalu canggung jika berhadapan dengan orang lain? Otak manusia memang menyediakan keunggulan pada tiap individu. Oleh penciptaNya, otak kita sudah ditata sedemikian rupa sehingga menjadi alat yang canggih bagi manusia. Otak disusun oleh banyak sel saraf dan mampu menghasilkan 3 jenis kemampuan yang diperlukan, yaitu Intelligent Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ).
Pada awalnya, ukuran kecerdasan dilakukan untuk kepentingan merekrut tentara serta kepentingan mendapatkan orang yang tepat dalam pendidikan dan perusahaan. Umumnya, orang akan dianggap berhasil jika mereka mempunyai kemampuan analitis yang tinggi atau biasa disebut dengan IQ (Intelligence Quotient). Setidaknya ada 3 hal yang menyusun kemampuan inteligensi, yaitu analytical intelligence (kecerdasan analitis), practical intelligence (kecerdasan praktik), dan creative intelligence (kecerdasan kreatif). Intelligence Quotient (IQ) atau berpikir rasional sering dirangsang di sekolah. Contohnya adalah saat kita mempelajari matematika, fisika, biologi, dan lainnya, kita dituntut untuk belajar menganalisis dan memahami pelajaran tersebut. IQ adalah puncak keunggulan yang di menjadi dasar hampir semua lembaga pendidikan di Indonesia. Dokter atau insinyur di semua PTN atau PTS diwajibkan memiliki kompetensi tertentu untuk bisa berpraktik. Siswa diwajibkan memiliki kecerdasan untuk mendapatkan rangking atau lulus dari sekolah. Ringkasnya, kecerdasan, kompetensi, IQ, nilai rapor, IP atau apapun istilahnya adalah standar-standar yang harus dimiliki seseorang untuk diluluskan. Tidak mengherankan jika semua perusahaan dan kantor pemerintah mensyaratkan semua nilai itu agar seseorang dapat diterima sebagai karyawan. Bukan berarti dengan mereka bergelar doktor, professor, sekolah di luar negeri, atau ahli pada bidangnya, mereka bisa mendapatkan garansi sukses dalam mengatur segala sesuatu. Namun kita juga harus memperhatikan karakter dalam diri mereka atau biasa disebut dengan istilah EQ (Emotional Quotient).
Sesungguhnya keberhasilan mengelola hidup tidak hanya ditentukan oleh gelar-gelar yang kita miliki. Sebagai contoh, ada banyak orang yang pintar dalam memecahkan soal fisika atau mempunyai pengetahuan yang luas, belum tentu dapat berhasil atau mungkin biasa-biasa saja kehidupannya. Bisa jadi mereka tidak mempunyai EQ (Emotional Quotient) yang baik seperti tidak bisa mengontrol amarah, tidak bisa bekerja sama dengan orang lain, kurang terbuka, tidak bisa berempati, tidak bisa memaafkan, sinis, dan gampang curiga. Memahami emosinya sendiri, mengendalikan emosi, memotivasi diri sendiri, memahami emosi orang lain, dan menangani hubungan dengan orang lain merupakan kunci keberhasilan dalam mengelola hidup. Hal-hal ini merupakan keterampilan hidup yang lebih banyak dibangun oleh EQ ketimbang IQ. Banyak kepemimpinan yang gagal karena kurangnya kecerdasan emosi. Bagaimana ia mengenal dan mengerti orang lain jika ia tidak mengerti dirinya sendiri? Ia tidak punya keterampilan sosial.
“To understand others, we must understand ourselves”.
Potensi untuk selalu menjadi baik memaksa seseorang mencari jalan bagi spiritualitasnya. Yang dicari adalah ketenangan hidup dan makna hidup. Semua ini tidak bisa diberikan oleh kelimpahan materi, ketinggian jabatan atau popularitas. Manusia sudah menyadari dan mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang lebih “besar” daripada dirinya. Bagi orang-orang beragama, “sesuatu” itu dimaksudkan sebagai Allah SWT. Sedangkan bagi yang tidak beragama, hal itu sering dikaitkan dengan alam semesta atau kekuatan-kekuatan hebat lain yang ada. Kecenderungan itu menunjukkan bahwa selain sebagai makhluk individual dan makhluk sosial, pada dasarnya manusia juga merupakan makhluk spiritual. Kecenderungan tersebut tidak akan mampu terjawab hanya melalui kecerdasan (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) semata. Ada kecerdasan ketiga yang memungkinkannya, yaitu kecerdasan spiritual (SQ). Hal ini tidak berkaitan langsung dengan ritual agama. Maksudnya, tidak selalu orang yang rajin shalat, naik haji berulang-ulang adalah orang yang memiliki spiritualitas karena mereka hanya menjalankan berbagai ritual agama sebagai keharusan atau kebiasaan. Sebaliknya, mungkin saja ada orang yang tidak beragama, namun menyadari bahwa dirinya merupakan bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar (walaupun dalam pengertian alam semesta). Dengan demikian, untuk menjalakan keagamaan dengan penuh kesadaran dan mendapatkan pemahaman agama, dibutuhkan kecerdasan spiritual. Namun kecerdasan spiritual sendiri tidak menjamin ketaatan seseorang dalam beragama. SQ memberikan kita kemampuan untuk mencari jawaban tentang “Siapa saya?” atau “Untuk apa saya diciptakan?”. IQ dan EQ membuat kita mampu bertindak secara tepat dan cerdas. Sedangkan SQ memberi kita jawaban tentang makna dari perbuatan atau tindakan yang kita lakukan.
Kita tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan satu atau dua kecerdasan. Sebagai contoh penerapan kecerdasan IQ tanpa EQ adalah Ara yang tidak terlalu pintar dalam pelajaran matematika, tapi ia selalu diperebutkan dalam pembagian kelompok. Ara memang bukan siswa yang cerdas dalam bidang intelektual (IQ), namun Ara memiliki kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi sehingga ia mampu memahami, berkomunikasi, dan bersosialisasi. Contoh lain adalah penerapan IQ dan EQ tanpa SQ. Banyak koruptor yang cerdas dalam berstrategi yang tentunya membutuhkan IQ yang tinggi. Sementara dalam pelaksanaan strategi, ia juga mampu bernegosiasi, berkomunikasi dan mampu merebut hati orang agar mau diajak berspekulasi dan berkompromi dengannya sehingga membutuhkan kecerdasan emosi (EQ). Namun, niat dan akhlak koruptor sangat buruk. Ia tidak mempunyai kejujuran, tidak bertanggung jawab, dan tidak amanah pada pekerjaannya. Itulah contoh jika kita hanya mengandalkan satu atau dua kecerdasan saja.
Untuk menghasilkan pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual maka kita harus mampu menggabungkan IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient) secara maksimal karena ketiga kecerdasan ini adalah perangkat yang bekerja dalam satu sistem yang saling berkaitan dalam diri manusia, sehingga tidak tepat jika dipisahkan fungsinya.
Bicara soal kecerdasan, mengapa kita sering melihat orang-orang yang mempunyai prestasi yang luar biasa di sekolah, namun selalu canggung jika berhadapan dengan orang lain? Otak manusia memang menyediakan keunggulan pada tiap individu. Oleh penciptaNya, otak kita sudah ditata sedemikian rupa sehingga menjadi alat yang canggih bagi manusia. Otak disusun oleh banyak sel saraf dan mampu menghasilkan 3 jenis kemampuan yang diperlukan, yaitu Intelligent Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ).
Pada awalnya, ukuran kecerdasan dilakukan untuk kepentingan merekrut tentara serta kepentingan mendapatkan orang yang tepat dalam pendidikan dan perusahaan. Umumnya, orang akan dianggap berhasil jika mereka mempunyai kemampuan analitis yang tinggi atau biasa disebut dengan IQ (Intelligence Quotient). Setidaknya ada 3 hal yang menyusun kemampuan inteligensi, yaitu analytical intelligence (kecerdasan analitis), practical intelligence (kecerdasan praktik), dan creative intelligence (kecerdasan kreatif). Intelligence Quotient (IQ) atau berpikir rasional sering dirangsang di sekolah. Contohnya adalah saat kita mempelajari matematika, fisika, biologi, dan lainnya, kita dituntut untuk belajar menganalisis dan memahami pelajaran tersebut. IQ adalah puncak keunggulan yang di menjadi dasar hampir semua lembaga pendidikan di Indonesia. Dokter atau insinyur di semua PTN atau PTS diwajibkan memiliki kompetensi tertentu untuk bisa berpraktik. Siswa diwajibkan memiliki kecerdasan untuk mendapatkan rangking atau lulus dari sekolah. Ringkasnya, kecerdasan, kompetensi, IQ, nilai rapor, IP atau apapun istilahnya adalah standar-standar yang harus dimiliki seseorang untuk diluluskan. Tidak mengherankan jika semua perusahaan dan kantor pemerintah mensyaratkan semua nilai itu agar seseorang dapat diterima sebagai karyawan. Bukan berarti dengan mereka bergelar doktor, professor, sekolah di luar negeri, atau ahli pada bidangnya, mereka bisa mendapatkan garansi sukses dalam mengatur segala sesuatu. Namun kita juga harus memperhatikan karakter dalam diri mereka atau biasa disebut dengan istilah EQ (Emotional Quotient).
Sesungguhnya keberhasilan mengelola hidup tidak hanya ditentukan oleh gelar-gelar yang kita miliki. Sebagai contoh, ada banyak orang yang pintar dalam memecahkan soal fisika atau mempunyai pengetahuan yang luas, belum tentu dapat berhasil atau mungkin biasa-biasa saja kehidupannya. Bisa jadi mereka tidak mempunyai EQ (Emotional Quotient) yang baik seperti tidak bisa mengontrol amarah, tidak bisa bekerja sama dengan orang lain, kurang terbuka, tidak bisa berempati, tidak bisa memaafkan, sinis, dan gampang curiga. Memahami emosinya sendiri, mengendalikan emosi, memotivasi diri sendiri, memahami emosi orang lain, dan menangani hubungan dengan orang lain merupakan kunci keberhasilan dalam mengelola hidup. Hal-hal ini merupakan keterampilan hidup yang lebih banyak dibangun oleh EQ ketimbang IQ. Banyak kepemimpinan yang gagal karena kurangnya kecerdasan emosi. Bagaimana ia mengenal dan mengerti orang lain jika ia tidak mengerti dirinya sendiri? Ia tidak punya keterampilan sosial.
“To understand others, we must understand ourselves”.
Potensi untuk selalu menjadi baik memaksa seseorang mencari jalan bagi spiritualitasnya. Yang dicari adalah ketenangan hidup dan makna hidup. Semua ini tidak bisa diberikan oleh kelimpahan materi, ketinggian jabatan atau popularitas. Manusia sudah menyadari dan mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang lebih “besar” daripada dirinya. Bagi orang-orang beragama, “sesuatu” itu dimaksudkan sebagai Allah SWT. Sedangkan bagi yang tidak beragama, hal itu sering dikaitkan dengan alam semesta atau kekuatan-kekuatan hebat lain yang ada. Kecenderungan itu menunjukkan bahwa selain sebagai makhluk individual dan makhluk sosial, pada dasarnya manusia juga merupakan makhluk spiritual. Kecenderungan tersebut tidak akan mampu terjawab hanya melalui kecerdasan (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) semata. Ada kecerdasan ketiga yang memungkinkannya, yaitu kecerdasan spiritual (SQ). Hal ini tidak berkaitan langsung dengan ritual agama. Maksudnya, tidak selalu orang yang rajin shalat, naik haji berulang-ulang adalah orang yang memiliki spiritualitas karena mereka hanya menjalankan berbagai ritual agama sebagai keharusan atau kebiasaan. Sebaliknya, mungkin saja ada orang yang tidak beragama, namun menyadari bahwa dirinya merupakan bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar (walaupun dalam pengertian alam semesta). Dengan demikian, untuk menjalakan keagamaan dengan penuh kesadaran dan mendapatkan pemahaman agama, dibutuhkan kecerdasan spiritual. Namun kecerdasan spiritual sendiri tidak menjamin ketaatan seseorang dalam beragama. SQ memberikan kita kemampuan untuk mencari jawaban tentang “Siapa saya?” atau “Untuk apa saya diciptakan?”. IQ dan EQ membuat kita mampu bertindak secara tepat dan cerdas. Sedangkan SQ memberi kita jawaban tentang makna dari perbuatan atau tindakan yang kita lakukan.
Kita tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan satu atau dua kecerdasan. Sebagai contoh penerapan kecerdasan IQ tanpa EQ adalah Ara yang tidak terlalu pintar dalam pelajaran matematika, tapi ia selalu diperebutkan dalam pembagian kelompok. Ara memang bukan siswa yang cerdas dalam bidang intelektual (IQ), namun Ara memiliki kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi sehingga ia mampu memahami, berkomunikasi, dan bersosialisasi. Contoh lain adalah penerapan IQ dan EQ tanpa SQ. Banyak koruptor yang cerdas dalam berstrategi yang tentunya membutuhkan IQ yang tinggi. Sementara dalam pelaksanaan strategi, ia juga mampu bernegosiasi, berkomunikasi dan mampu merebut hati orang agar mau diajak berspekulasi dan berkompromi dengannya sehingga membutuhkan kecerdasan emosi (EQ). Namun, niat dan akhlak koruptor sangat buruk. Ia tidak mempunyai kejujuran, tidak bertanggung jawab, dan tidak amanah pada pekerjaannya. Itulah contoh jika kita hanya mengandalkan satu atau dua kecerdasan saja.
Untuk menghasilkan pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual maka kita harus mampu menggabungkan IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient) secara maksimal karena ketiga kecerdasan ini adalah perangkat yang bekerja dalam satu sistem yang saling berkaitan dalam diri manusia, sehingga tidak tepat jika dipisahkan fungsinya.
No comments:
Post a Comment