Video klip di atas ada "save your tears", yang di cover Amber. Ya ini kayaknya dominasi di Jazz, tapi enak kok. Dan itu SettiaBlog kasih ilustrasi wanita yang tersenyum, ndak tahu itu senyum getir atau senyum bahagia. Sebagai seorang manusia, mengalami suatu ujian hidup adalah sesuatu yang normal dialami. Ndak jarang kita menginginkan sesuatu, tetapi pada akhirnya keinginan itu ndak terwujud. Ketika hal tersebut terjadi, beberapa dari kita mungkin akan bersedih hingga menangis. Kesedihan dialami ketika individu kehilangan sesuatu atau seseorang yang berharga. Selain itu, kesedihan juga dapat dirasakan ketika manusia mengalami kegagalan dalam mencapai tujuannya. Ketika mengalaminya, manusia bisa menangis dan menarik diri.
Sedih adalah emosi yang wajar bagi setiap manusia. Namun, sebagai seorang muslim, kita telah mengetahui bahwa terdapat firman Allah ﷻ yang mengatakan untuk jangan bersedih dan perlu menerima takdir yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ. Apakah itu artinya kita ndak boleh merasakan kesedihan? Apakah ketika kita bersedih, berarti kita ndak menerima atau ndak ridha dengan takdir Allah ﷻ?
Kesedihan dalam Islam Dalam Islam, memang terdapat beberapa Firman Allah ﷻ yang mengatakan untuk jangan bersedih. Namun, itu bukan berarti kita ndak boleh merasakan kesedihan. Faktanya, kesedihan hingga menangis adalah bagian dari hidup manusia dan datangnya dari Allah ﷻ. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an:
وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ
“Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis” (QS. An-Najm: 43)
Selain itu, terdapat juga beberapa kisah Nabi yang menggambarkan keimanan yang kuat dalam hati mereka, namun mereka tetap merasakan kesedihan kala menghadapi takdir yang menyulitkan. Contohnya adalah kisah Nabi Muhammad (ﷺ) dan Nabi Yaqub a.s. ketika kehilangan putranya, bahkan Nabi Yaqub a.s. menangis hingga matanya menjadi putih.
وَتَوَلَّىٰ عَنْهُمْ وَقَالَ يَٰٓأَسَفَىٰ عَلَىٰ يُوسُفَ وَٱبْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ ٱلْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ
“Dan dia (Ya'qub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena sedih. Dia diam menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)” (Q.S. Yusuf: 84)
Lalu, apakah artinya Nabi Muhammad (ﷺ) dan Nabi Yaqub a.s. adalah orang yang ndak beriman dan ndak menerima takdir Allah ﷻ ketika mereka bersedih? Kisah tersebut bisa mengingatkan kita bahwa sekuat apapun iman kita, perasaan sedih adalah perasaan yang wajar untuk kita rasakan. Meskipun demikian, dalam Islam, kita memiliki batasan sejauh mana kita dapat bersedih. Kita ndak boleh sampai meratapi, mengatakan hal yang ndak diridhai Allah ﷻ, dan ndak pula menyalahkan takdirNya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم " وُلِدَ لِيَ اللَّيْلَةَ غُلاَمٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيمَ " . فَذَكَرَ الْحَدِيثَ قَالَ أَنَسٌ لَقَدْ رَأَيْتُهُ يَكِيدُ بِنَفْسِهِ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَدَمَعَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ " تَدْمَعُ الْعَيْنُ وَيَحْزَنُ الْقَلْبُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا إِنَّا بِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ " .
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik: Rasulullah (ﷺ) bersabda: Seorang anak lahir bagiku pada malam hari dan aku menamainya Ibrahim dengan namanya. Dia kemudian menceritakan sisa tradisinya. Anas berkata: Saya melihatnya di saat kematian di hadapan Rasulullah (ﷺ). Air mata mulai jatuh dari mata Rasulullah (ﷺ). Beliau bersabda: Mata menangis dan hati bersedih, namun kami hanya mengatakan apa yang diridhai Tuhan kami, dan kami bersedih karenamu, Ibrahim. (H.R. Abu Dawud) (Sunnah, n.d.a)
Kemudian, bersedih juga bukan berarti ndak ridha akan takdir Allah ﷻ. Kita bisa bersedih bersamaan dengan menerima takdirNya. Bukan berarti ketika kita berhenti bersedih, itu artinya kita baru ridha akan takdir Allah ﷻ. Begitu juga sebaliknya, bukan berarti ketika kita bersedih artinya kita ndak ridha akan takdir Allah ﷻ. Ridha sendiri adalah ketika manusia bisa menerima dan puas akan takdir Allah ﷻ. Ridha bukan berarti kita bebas dari rasa sakit. Namun, ketika kita ridha, kita ndak keberatan akan takdir yang telah ditetapkan Allah ﷻ meskipun takdir itu terasa menyakitkan atau menyulitkan untuk diri kita. Dengan hadirnya ridha dalam diri kita, kita juga ndak akan menyalahkan Allah ﷻ akan takdir yang diberikan pada diri kita. Artinya, dengan ridha, kita bisa merasakan ketenangan yang melebihi perasaan sakit yang kita alami. Tenang yang hadir karena kita percaya bahwa apa yang terjadi pasti ada kebaikan di baliknya. Percaya bahwa Allah ﷻ ndak akan memberikan sesuatu yang buruk untuk diri kita .
Ajaran Islam yang mengatakan bahwa ndak boleh sedih berlebihan dan meratapi keadaan menunjukkan pentingnya regulasi kesedihan itu sendiri. Jadi, bukan berarti kita diminta untuk mensupresi emosi dengan cara menahan, menghindari, atau membuat diri mati rasa. Akan tetapi, kita perlu meregulasi setiap emosi sedih yang ada dengan cara yang tepat. Hal ini penting karena ketika kita mensupresi emosi, justru akan menyulitkan diri kita . Kemudian, ketika kita terus berpikir akan takdir tersebut dan mempertanyakan, kita juga bisa terjebak dalam siklus ruminasi yaitu memikirkan sesuatu berulang-ulang tanpa ada penyelesaian yang adaptif. Hal ini akan membuat kita semakin sulit untuk meregulasi emosi kita. Hal ini sejalan dengan bagaimana Islam mengajarkan kita untuk menerima takdir dan ndak larut dalam kesedihan. Ditambah lagi, ketika kita ndak mampu meregulasi emosi, hal ini justru akan membuat kita dapat mengalami berbagai masalah mental, seperti depresi, borderline personality disorder (BPD), dan substance-use disorders . Ndak hanya itu, ketidakmampuan dalam meregulasi emosi juga dapat berkaitan dengan penyakit kronis dan fungsi fisik dapat menjadi lebih buruk.
Lalu, bagaimana cara meregulasi kesedihan yang kita alami? Berikut adalah beberapa cara untuk mengelola kesedihan:
Menerima Emosi dan Mengelola Pikiran
Hal pertama yang bisa dilakukan adalah dengan menerima setiap emosi yang ada. Emosi merupakan bagian dari kehidupan yang ndak dapat dihilangkan. Setiap malam, Nabi-Nabi pun suka merasakan emosi yang bergejolak, namun mereka menerima dan membawa kesedihan yang dialami kepada Allah ﷻ. Contohnya Nabi Yaqub a.s.. Ia menangis, namun di satu sisi mengadukan kesedihannya ke Allah ﷻ .
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ .
“Sesungguhnya hanya kepada Allah ﷻ aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku”.
(QS. Yusuf: 86)
Namun, ndak berhenti dalam penerimaan dan berlarut dalam kesedihan yang ada aja. Kita perlu mengelola emosi yang berawal dari mengelola pikiran kita. Dalam Cognitive Behavioral Therapy (CBT), masalah emosi termasuk kesedihan hadir karena pikiran yang disfungsional. Ketika kita bersedih, kita mungkin memikirkan sesuatu berdasarkan keyakinan/belief kita seperti “Aku memang tidak pernah berhasil”, “Aku tidak bisa mengubah keadaan”, “Hidupku hancur setelah aku kehilangan”, “Mengapa hal ini terjadi padaku”, dan lain sebagainya. Kita bisa memodifikasi pikiran tersebut dengan memikirkan kebenaran dan kegunaan dari pikiran tersebut. Selain itu, kita juga bisa memikirkan pikiran atau pemaknaan alternatif yang membuat kita merasa lebih baik . Ilmuwan Islam sejak zaman dahulu juga menegaskan bahwa pikiran akan mempengaruhi emosi kita. Maka dari itu, mengelola pikiran akan membantu kita meregulasi emosi. Salah satu pedoman kita untuk berpikir adalah dengan membaca Al-Qur’an. Sebagaimana Firman Allah ﷻ yang mengatakan bahwa Al-Quran hadir untuk meringankan kesulitan hidup kita..
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ
“Kami tidaklah menurunkan Al Quran ini kepadamu untuk membuatmu susah” (QS. Thaha: 2)
Memecahkan Masalah
Terkadang, kita ndak bisa sepenuhnya meredakan kesedihan ketika kita hanya menenangkan diri tanpa menyelesaikan masalah yang ada. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah mengidentifikasi permasalahan yang membuat kita bersedih. Bagaimana cara memecahkan permasalahan tersebut?
Pertama, kita bisa mulai dengan mengenali masalah dan mengetahui bagaimana masalah tersebut memengaruhi diri kita. Selanjutnya, kita dapat memecahkan masalah dengan memikirkan beberapa potensi solusi yang ada. Terakhir, pilihlah solusi yang realistis dan dapat kita terapkan.
Selain itu, kita bisa mengingat bahwa setiap kesulitan yang sedang kita alami akan selalu ada solusi untuk mengatasinya. Lebih lanjut, sebagai seorang muslim, kita perlu meyakini bahwa Allah ﷻ ndak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Hal ini akan menguatkan kita untuk ndak mudah larut dalam kesedihan dan putus asa dalam memecahkan permasalahan yang hadir dalam hidup kita.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ
“Allah ﷻ tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… ” Q.S Al-Baqarah: 286)
Menjadwalkan Aktivitas yang Membuat Perasaan Lebih Baik
Selanjutnya, ketika kita bersedih, terkadang kita akan menarik diri dari lingkungan. Namun, saat kita ndak mencoba melakukan sesuatu untuk membuat diri merasa lebih baik, justru hal tersebut akan membuat kita semakin kesulitan. Selain itu, ketika kita ndak melakukan sebuah aktivitas, bisa saja kita menggunakan waktu kita untuk melakukan ruminasi yang akan memperburuk perasaan kita . Maka dari itu, salah satu cara untuk meregulasi kesedihan adalah dengan melakukan aktivitas yang menyenangkan. Aktivitas yang bisa dilakukan bisa berupa hal yang kita sukai seperti berolahraga dan melakukan hobi, maupun hal-hal yang membuat kita merasa memiliki kompetensi seperti bekerja dan menciptakan sebuah karya.
Mencari Support System
Terkadang ndak semua masalah dapat kita atasi sendiri. Sering kali kita ndak dapat berpikir jernih ketika emosi sedang ndak stabil. Akibatnya, kita ndak mampu mengendalikan pikiran dan meregulasi emosi dengan baik. Oleh karena itu, ndak ada salahnya kita meminta dukungan sosial dari orang lain, seperti keluarga atau teman yang dapat dipercaya. Terlebih lagi sebagai umat islam, kita juga bisa meyakini bahwa Allah ﷻ akan selalu ada dan ndak akan meninggalkan kita sendiri. Artinya, Allah ﷻ bisa menjadi support system utama dalam hidup kita.
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah ﷻ beserta kita” (QS. At-Taubah: 40).
Dengan ini, kita dapat mendekatkan diri kepada Allah ﷻ dengan senantiasa menjalankan ibadah seperti sholat, berdoa, dan berzikir yang dapat menjadi sarana untuk mengisi kekosongan hati, menenangkan hati dan pikiran, serta memperkuat ketakwaan kepada Allah ﷻ SWT, yang pada akhirnya akan membantu kita meregulasi emosi dengan lebih baik. Selain itu, zikir dan sholat juga ditemukan sebagai cara yang efektif untuk meningkatkan kecerdasan emosional dan mengurangi kecemasan .
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah ﷻ beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S Al-Baqarah: 153).
Memaknai Kesedihan dengan Nilai Islam
Terakhir, sebagai seorang muslim, kita bisa senantiasa mengingat nilai-nilai Islam dalam diri kita. Ketika sedang bersedih, mengingat ajaran-ajaran Islam mungkin dapat membantu diri kita. Salah satu contohnya adalah dengan mengingat bahwa di setiap kesedihan, selalu ada dosa yang digugurkan oleh Allah ﷻ.
وعن أبي سعيد وأبي هريرة رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "ما يصيب المسلم من نصب ولا وصب ولا هم ولا حزن ولا أذى ولا غم، حتى الشوكة يشاكها إلا كفر الله بها من خطاياه" ((متفق عليه)) . 'و الوصب ': المرض .
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id & Abu Hurairah: Rasulullah (ﷺ) bersabda: Tidaklah seorang mukmin tertimpa ketidaknyamanan, penyakit, kecemasan, kesedihan, atau kegelisahan mental, bahkan jika tertusuk duri sekalipun, kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya karena kesabarannya (H.R. Bukhari & Muslim). Selain itu, kita juga dapat senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ untuk meminta perlindungan dari segala jenis kesedihan yang kita rasakan.
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
“Ya Allah ﷻ, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, lemah dan malas, kikir dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang.”
Bersedih adalah bagian dari fitrah kita sebagai manusia. Ketika kita bersedih, bukan berarti kita ndak ridha akan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ. Kita bisa bersedih dan tetap menerima takdir Allah ﷻ. Hal yang ndak tepat adalah ketika kita larut dan meratapi kesedihan terlalu lama. Maka dari itu, kita perlu belajar meregulasi kesedihan yang ada dengan berbagai cara adaptif yang bisa kita lakukan.
Udah ya, maafin SettiaBlog ya. Kalau font nya ini SettiaBlog gunakan Balsamic Sans punya'e Google.
Sedih adalah emosi yang wajar bagi setiap manusia. Namun, sebagai seorang muslim, kita telah mengetahui bahwa terdapat firman Allah ﷻ yang mengatakan untuk jangan bersedih dan perlu menerima takdir yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ. Apakah itu artinya kita ndak boleh merasakan kesedihan? Apakah ketika kita bersedih, berarti kita ndak menerima atau ndak ridha dengan takdir Allah ﷻ?
Kesedihan dalam Islam Dalam Islam, memang terdapat beberapa Firman Allah ﷻ yang mengatakan untuk jangan bersedih. Namun, itu bukan berarti kita ndak boleh merasakan kesedihan. Faktanya, kesedihan hingga menangis adalah bagian dari hidup manusia dan datangnya dari Allah ﷻ. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an:
وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ
“Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis” (QS. An-Najm: 43)
Selain itu, terdapat juga beberapa kisah Nabi yang menggambarkan keimanan yang kuat dalam hati mereka, namun mereka tetap merasakan kesedihan kala menghadapi takdir yang menyulitkan. Contohnya adalah kisah Nabi Muhammad (ﷺ) dan Nabi Yaqub a.s. ketika kehilangan putranya, bahkan Nabi Yaqub a.s. menangis hingga matanya menjadi putih.
وَتَوَلَّىٰ عَنْهُمْ وَقَالَ يَٰٓأَسَفَىٰ عَلَىٰ يُوسُفَ وَٱبْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ ٱلْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ
“Dan dia (Ya'qub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena sedih. Dia diam menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)” (Q.S. Yusuf: 84)
Lalu, apakah artinya Nabi Muhammad (ﷺ) dan Nabi Yaqub a.s. adalah orang yang ndak beriman dan ndak menerima takdir Allah ﷻ ketika mereka bersedih? Kisah tersebut bisa mengingatkan kita bahwa sekuat apapun iman kita, perasaan sedih adalah perasaan yang wajar untuk kita rasakan. Meskipun demikian, dalam Islam, kita memiliki batasan sejauh mana kita dapat bersedih. Kita ndak boleh sampai meratapi, mengatakan hal yang ndak diridhai Allah ﷻ, dan ndak pula menyalahkan takdirNya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم " وُلِدَ لِيَ اللَّيْلَةَ غُلاَمٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيمَ " . فَذَكَرَ الْحَدِيثَ قَالَ أَنَسٌ لَقَدْ رَأَيْتُهُ يَكِيدُ بِنَفْسِهِ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَدَمَعَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ " تَدْمَعُ الْعَيْنُ وَيَحْزَنُ الْقَلْبُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا إِنَّا بِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ " .
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik: Rasulullah (ﷺ) bersabda: Seorang anak lahir bagiku pada malam hari dan aku menamainya Ibrahim dengan namanya. Dia kemudian menceritakan sisa tradisinya. Anas berkata: Saya melihatnya di saat kematian di hadapan Rasulullah (ﷺ). Air mata mulai jatuh dari mata Rasulullah (ﷺ). Beliau bersabda: Mata menangis dan hati bersedih, namun kami hanya mengatakan apa yang diridhai Tuhan kami, dan kami bersedih karenamu, Ibrahim. (H.R. Abu Dawud) (Sunnah, n.d.a)
Kemudian, bersedih juga bukan berarti ndak ridha akan takdir Allah ﷻ. Kita bisa bersedih bersamaan dengan menerima takdirNya. Bukan berarti ketika kita berhenti bersedih, itu artinya kita baru ridha akan takdir Allah ﷻ. Begitu juga sebaliknya, bukan berarti ketika kita bersedih artinya kita ndak ridha akan takdir Allah ﷻ. Ridha sendiri adalah ketika manusia bisa menerima dan puas akan takdir Allah ﷻ. Ridha bukan berarti kita bebas dari rasa sakit. Namun, ketika kita ridha, kita ndak keberatan akan takdir yang telah ditetapkan Allah ﷻ meskipun takdir itu terasa menyakitkan atau menyulitkan untuk diri kita. Dengan hadirnya ridha dalam diri kita, kita juga ndak akan menyalahkan Allah ﷻ akan takdir yang diberikan pada diri kita. Artinya, dengan ridha, kita bisa merasakan ketenangan yang melebihi perasaan sakit yang kita alami. Tenang yang hadir karena kita percaya bahwa apa yang terjadi pasti ada kebaikan di baliknya. Percaya bahwa Allah ﷻ ndak akan memberikan sesuatu yang buruk untuk diri kita .
Ajaran Islam yang mengatakan bahwa ndak boleh sedih berlebihan dan meratapi keadaan menunjukkan pentingnya regulasi kesedihan itu sendiri. Jadi, bukan berarti kita diminta untuk mensupresi emosi dengan cara menahan, menghindari, atau membuat diri mati rasa. Akan tetapi, kita perlu meregulasi setiap emosi sedih yang ada dengan cara yang tepat. Hal ini penting karena ketika kita mensupresi emosi, justru akan menyulitkan diri kita . Kemudian, ketika kita terus berpikir akan takdir tersebut dan mempertanyakan, kita juga bisa terjebak dalam siklus ruminasi yaitu memikirkan sesuatu berulang-ulang tanpa ada penyelesaian yang adaptif. Hal ini akan membuat kita semakin sulit untuk meregulasi emosi kita. Hal ini sejalan dengan bagaimana Islam mengajarkan kita untuk menerima takdir dan ndak larut dalam kesedihan. Ditambah lagi, ketika kita ndak mampu meregulasi emosi, hal ini justru akan membuat kita dapat mengalami berbagai masalah mental, seperti depresi, borderline personality disorder (BPD), dan substance-use disorders . Ndak hanya itu, ketidakmampuan dalam meregulasi emosi juga dapat berkaitan dengan penyakit kronis dan fungsi fisik dapat menjadi lebih buruk.
Lalu, bagaimana cara meregulasi kesedihan yang kita alami? Berikut adalah beberapa cara untuk mengelola kesedihan:
Menerima Emosi dan Mengelola Pikiran
Hal pertama yang bisa dilakukan adalah dengan menerima setiap emosi yang ada. Emosi merupakan bagian dari kehidupan yang ndak dapat dihilangkan. Setiap malam, Nabi-Nabi pun suka merasakan emosi yang bergejolak, namun mereka menerima dan membawa kesedihan yang dialami kepada Allah ﷻ. Contohnya Nabi Yaqub a.s.. Ia menangis, namun di satu sisi mengadukan kesedihannya ke Allah ﷻ .
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ .
“Sesungguhnya hanya kepada Allah ﷻ aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku”.
(QS. Yusuf: 86)
Namun, ndak berhenti dalam penerimaan dan berlarut dalam kesedihan yang ada aja. Kita perlu mengelola emosi yang berawal dari mengelola pikiran kita. Dalam Cognitive Behavioral Therapy (CBT), masalah emosi termasuk kesedihan hadir karena pikiran yang disfungsional. Ketika kita bersedih, kita mungkin memikirkan sesuatu berdasarkan keyakinan/belief kita seperti “Aku memang tidak pernah berhasil”, “Aku tidak bisa mengubah keadaan”, “Hidupku hancur setelah aku kehilangan”, “Mengapa hal ini terjadi padaku”, dan lain sebagainya. Kita bisa memodifikasi pikiran tersebut dengan memikirkan kebenaran dan kegunaan dari pikiran tersebut. Selain itu, kita juga bisa memikirkan pikiran atau pemaknaan alternatif yang membuat kita merasa lebih baik . Ilmuwan Islam sejak zaman dahulu juga menegaskan bahwa pikiran akan mempengaruhi emosi kita. Maka dari itu, mengelola pikiran akan membantu kita meregulasi emosi. Salah satu pedoman kita untuk berpikir adalah dengan membaca Al-Qur’an. Sebagaimana Firman Allah ﷻ yang mengatakan bahwa Al-Quran hadir untuk meringankan kesulitan hidup kita..
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ
“Kami tidaklah menurunkan Al Quran ini kepadamu untuk membuatmu susah” (QS. Thaha: 2)
Memecahkan Masalah
Terkadang, kita ndak bisa sepenuhnya meredakan kesedihan ketika kita hanya menenangkan diri tanpa menyelesaikan masalah yang ada. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah mengidentifikasi permasalahan yang membuat kita bersedih. Bagaimana cara memecahkan permasalahan tersebut?
Pertama, kita bisa mulai dengan mengenali masalah dan mengetahui bagaimana masalah tersebut memengaruhi diri kita. Selanjutnya, kita dapat memecahkan masalah dengan memikirkan beberapa potensi solusi yang ada. Terakhir, pilihlah solusi yang realistis dan dapat kita terapkan.
Selain itu, kita bisa mengingat bahwa setiap kesulitan yang sedang kita alami akan selalu ada solusi untuk mengatasinya. Lebih lanjut, sebagai seorang muslim, kita perlu meyakini bahwa Allah ﷻ ndak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Hal ini akan menguatkan kita untuk ndak mudah larut dalam kesedihan dan putus asa dalam memecahkan permasalahan yang hadir dalam hidup kita.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ
“Allah ﷻ tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… ” Q.S Al-Baqarah: 286)
Menjadwalkan Aktivitas yang Membuat Perasaan Lebih Baik
Selanjutnya, ketika kita bersedih, terkadang kita akan menarik diri dari lingkungan. Namun, saat kita ndak mencoba melakukan sesuatu untuk membuat diri merasa lebih baik, justru hal tersebut akan membuat kita semakin kesulitan. Selain itu, ketika kita ndak melakukan sebuah aktivitas, bisa saja kita menggunakan waktu kita untuk melakukan ruminasi yang akan memperburuk perasaan kita . Maka dari itu, salah satu cara untuk meregulasi kesedihan adalah dengan melakukan aktivitas yang menyenangkan. Aktivitas yang bisa dilakukan bisa berupa hal yang kita sukai seperti berolahraga dan melakukan hobi, maupun hal-hal yang membuat kita merasa memiliki kompetensi seperti bekerja dan menciptakan sebuah karya.
Mencari Support System
Terkadang ndak semua masalah dapat kita atasi sendiri. Sering kali kita ndak dapat berpikir jernih ketika emosi sedang ndak stabil. Akibatnya, kita ndak mampu mengendalikan pikiran dan meregulasi emosi dengan baik. Oleh karena itu, ndak ada salahnya kita meminta dukungan sosial dari orang lain, seperti keluarga atau teman yang dapat dipercaya. Terlebih lagi sebagai umat islam, kita juga bisa meyakini bahwa Allah ﷻ akan selalu ada dan ndak akan meninggalkan kita sendiri. Artinya, Allah ﷻ bisa menjadi support system utama dalam hidup kita.
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah ﷻ beserta kita” (QS. At-Taubah: 40).
Dengan ini, kita dapat mendekatkan diri kepada Allah ﷻ dengan senantiasa menjalankan ibadah seperti sholat, berdoa, dan berzikir yang dapat menjadi sarana untuk mengisi kekosongan hati, menenangkan hati dan pikiran, serta memperkuat ketakwaan kepada Allah ﷻ SWT, yang pada akhirnya akan membantu kita meregulasi emosi dengan lebih baik. Selain itu, zikir dan sholat juga ditemukan sebagai cara yang efektif untuk meningkatkan kecerdasan emosional dan mengurangi kecemasan .
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah ﷻ beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S Al-Baqarah: 153).
Memaknai Kesedihan dengan Nilai Islam
Terakhir, sebagai seorang muslim, kita bisa senantiasa mengingat nilai-nilai Islam dalam diri kita. Ketika sedang bersedih, mengingat ajaran-ajaran Islam mungkin dapat membantu diri kita. Salah satu contohnya adalah dengan mengingat bahwa di setiap kesedihan, selalu ada dosa yang digugurkan oleh Allah ﷻ.
وعن أبي سعيد وأبي هريرة رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "ما يصيب المسلم من نصب ولا وصب ولا هم ولا حزن ولا أذى ولا غم، حتى الشوكة يشاكها إلا كفر الله بها من خطاياه" ((متفق عليه)) . 'و الوصب ': المرض .
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id & Abu Hurairah: Rasulullah (ﷺ) bersabda: Tidaklah seorang mukmin tertimpa ketidaknyamanan, penyakit, kecemasan, kesedihan, atau kegelisahan mental, bahkan jika tertusuk duri sekalipun, kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya karena kesabarannya (H.R. Bukhari & Muslim). Selain itu, kita juga dapat senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ untuk meminta perlindungan dari segala jenis kesedihan yang kita rasakan.
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
“Ya Allah ﷻ, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, lemah dan malas, kikir dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang.”
Bersedih adalah bagian dari fitrah kita sebagai manusia. Ketika kita bersedih, bukan berarti kita ndak ridha akan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ. Kita bisa bersedih dan tetap menerima takdir Allah ﷻ. Hal yang ndak tepat adalah ketika kita larut dan meratapi kesedihan terlalu lama. Maka dari itu, kita perlu belajar meregulasi kesedihan yang ada dengan berbagai cara adaptif yang bisa kita lakukan.
Udah ya, maafin SettiaBlog ya. Kalau font nya ini SettiaBlog gunakan Balsamic Sans punya'e Google.
Video klip kedua ada "senyumanmu" milik Letto. Ada kalanya manusia terbangun di pagi hari dengan semangat yang menyala-nyala, penuh harapan untuk menghadapi dunia. Namun, ndak jarang pula, ia merasa beban yang ndak kasatmata menggantung di pundaknya, mendesak jiwa, membatasi napas, dan menyelubungi pandangan dengan kekhawatiran. Beban itu bernama ”STRES”.Ia bukan sekadar istilah dalam psikologi modern, melainkan fenomena universal yang telah lama menjadi bagian dari kisah manusia sejak awal keberadaannya. Stres hadir dalam beragam wajah: dari tekanan pekerjaan, konflik keluarga, hingga tantangan dalam menjaga keimanan di tengah godaan duniawi.
Ia seperti gelombang pasang yang datang tiba-tiba, menggoyahkan perahu kehidupan yang kita kayuh setiap hari.
Dalam hidup yang semakin kompleks ini, stres menjadi topik yang ndak terhindarkan, sebuah isu yang menyentuh hampir setiap aspek keberadaan manusia. Namun, adakah ia sekadar pengganggu? Ataukah ia memiliki makna yang lebih mendalam bagi mereka yang mau merenung?
Islam, dengan kebijaksanaan Ilahinya, memandang stres bukan sebagai musuh yang harus dihancurkan, melainkan sebagai ujian dan anugerah tersembunyi. Firman Allah ﷻ dalam Al-Qur’an menegaskan:
وَلَا نَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ
"Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155)
Ayat ini memberi pesan mendalam bahwa stres, ketakutan, dan kekurangan adalah bagian dari skenario Ilahi. Ia hadir bukan untuk melemahkan, tetapi untuk menguatkan. Melalui ujian ini, Allah ﷻ menanamkan benih kesabaran, keyakinan, dan ketergantungan penuh kepada-Nya. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, ndak semua orang mampu memahami atau menghadapi stres dengan bijak. Banyak yang terperosok dalam kesedihan, bahkan keputusasaan. Sebagian mencoba melarikan diri melalui hiburan sesaat, sementara yang lain terjebak dalam lingkaran kecemasan yang ndak berujung. Di sinilah pentingnya menggali kembali ajaran Islam yang sarat dengan solusi spiritual, emosional, dan praktis. Rasulullah ﷺ yang kehidupannya penuh tantangan, adalah teladan terbaik dalam menghadapi stres. Dalam banyak kesempatan, beliau mengingatkan pentingnya doa, zikir, dan tawakal. Salah satu doanya yang penuh makna adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kesusahan, kelemahan dan kemalasan, kekikiran dan pengecut, beban utang, dan tekanan manusia." (HR. Bukhari dan Muslim)
Doa ini adalah bukti bahwa stres adalah realitas yang diakui, bahkan oleh Rasulullah ﷺ , tetapi ia bukan sesuatu yang harus dibiarkan menguasai jiwa.
Sebaliknya, ia adalah kesempatan untuk berserah diri kepada Allah ﷻ , memperkuat hubungan dengan-Nya, dan memurnikan hati dari kecintaan dunia yang berlebihan.
Dan di bawah ini akan mencoba menyelami hakikat stres dalam bingkai ajaran Islam. Dengan pendekatan yang komprehensif dan akan mengurai penyebab stres, dampaknya, serta solusi yang ditawarkan Islam, baik dari sisi spiritual, psikologis, maupun sosial. Setiap pembahasan di dalamnya akan berusaha menghubungkan teori dengan realitas, agar menjadi relevan bagi pembaca dari berbagai latar belakang. Melalui perjalanan ini, kita akan menemukan bahwa stres bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, ia adalah pintu menuju kesadaran, pembelajaran, dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Semoga bahasan ini menjadi peta yang menuntun kita semua pada ketenangan hati, kejernihan pikiran, dan harmoni dalam menjalani kehidupan. Mari melangkah bersama, menyelami hikmah di balik setiap ujian, dan menemukan kedamaian yang sejati dalam kasih sayang-Nya.
Stres merupakan salah satu kondisi psikologis yang ndak bisa dihindari dalam kehidupan manusia. Islam, sebagai agama yang sempurna, memberikan panduan tentang bagaimana memahami dan menangani stres dengan pendekatan spiritual, psikologis, dan sosial. Berikut uraian mendalam tentang stres dalam perspektif Islam:
Dalam Islam, stres dapat dipahami sebagai ujian atau cobaan yang Allah ﷻ berikan kepada manusia untuk menguji keimanan dan kesabaran mereka. Stres muncul ketika seseorang menghadapi tekanan atau perubahan yang signifikan dalam hidupnya, baik dalam aspek fisik, emosional, maupun spiritual. Allah ﷻ berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ
"Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155)
Cobaan ini dapat menjadi sarana peningkatan keimanan jika disikapi dengan sabar dan tawakkal kepada Allah ﷻ.
Ciri-ciri stres dalam Islam ndak hanya mencakup gejala fisik atau psikologis, tetapi juga indikasi kelemahan spiritual:
a. Ciri Psikologis
Rasa cemas dan gelisah: Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَغْلِبَنَّكُمُ الْفَرَحُ بِالشَّيْءِ وَلَا الْحُزْنُ عَلَى الشَّيْءِ
"Janganlah terlalu berlebihan dalam bergembira atau bersedih terhadap sesuatu." (HR. Ahmad)
b. Ciri Fisik
Tubuh menjadi lemah, mudah lelah, atau sering sakit. Dalam hadits disebutkan:
إِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
"Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atas dirimu." (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Ciri Spiritual
Jauh dari Allah ﷻ : Stres sering muncul ketika manusia lupa bahwa segala sesuatu berada di bawah kendali Allah ﷻ. Lalai dalam ibadah: Ibadah menjadi ndak khusyuk atau terabaikan.
Islam mengidentifikasi beberapa penyebab stres yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah ﷻ, diri sendiri, dan orang lain:
a. Kurangnya Keimanan
Kurangnya keyakinan bahwa Allah ﷻ memiliki rencana terbaik sering menjadi penyebab utama stres. Allah ﷻ berfirman:
وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
ۥ ۚ"Dan barang siapa beriman kepada Allah ﷻ, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya." (QS. At-Taghabun: 11)
b. Tuntutan Duniawi yang Berlebihan
Kesibukan mengejar duniawi tanpa memperhatikan akhirat dapat menyebabkan tekanan. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَن كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ ٱللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ
"Barang siapa menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan menjadikan kefakiran selalu ada di depan matanya." (HR. Tirmidzi)
c. Masalah Sosial atau Ekonomi
Kemiskinan, hutang, dan konflik keluarga sering menjadi pemicu stres. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa untuk mengatasi hal ini: ٱللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ ٱلْهَمِّ وَٱلْحُزْنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ ٱلْعَجْزِ وَٱلْكَسَلِ
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kekhawatiran, dari kelemahan dan kemalasan." (HR. Abu Dawud)
Stres yang ndak terkelola dapat berdampak pada:
* Kesehatan fisik dan mental: Rasulullah ﷺ memperingatkan pentingnya menjaga kesehatan.
* Hubungan dengan Allah ﷻ : Stres dapat menyebabkan seseorang merasa jauh dari rahmat Allah ﷻ.
* Hubungan sosial : Stres dapat memicu konflik dan merusak hubungan.
Solusi Pencegahan dan Penyelesaian Stres dalam Islam
a. Meningkatkan Keimanan dan Ketawakkalan
Meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah ketetapan Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
"Ketahuilah, apa yang ditetapkan untukmu tidak akan meleset, dan apa yang tidak ditetapkan untukmu tidak akan menimpamu." (HR. Tirmidzi)
b. Menjaga Keseimbangan dalam Hidup
Islam menganjurkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Allah ﷻ berfirman:
وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَا
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia." (QS. Al-Qashash: 77)
c. Melakukan Ibadah dan Dzikir
Ibadah seperti shalat, membaca Al-Qur'an, dan dzikir dapat menenangkan hati. Allah ﷻ berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ
"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28)
d. Mencari Solusi dan Bantuan
* Berkonsultasi dengan ulama, keluarga, atau sahabat yang terpercaya.
* Memanfaatkan ilmu pengetahuan seperti psikologi untuk memahami stres.
* Meningkatkan taqarrub ( pendekatan) dengan Pencipta dan memohon petunjuk dan inayah-Nya agar diberi arah yang jelas dan solutif dari masalah yang dihadapi.
* Berolahraga dan melakukan rilaksasi agar otot yang tegang dan suasana hati lebih fleksibel.
Dengan memahami bahwa stres adalah bagian dari ujian hidup, seorang Muslim diajarkan untuk menyikapinya dengan sabar, tawakkal, dan usaha yang optimal. Hanya dengan mendekatkan diri kepada Allah ﷻ, hati dan pikiran dapat benar-benar menemukan ketenangan.
Hidup adalah kanvas yang luas, tempat berbagai warna emosi dan pengalaman tergores oleh kuas waktu. Di antara sapuan warna yang cerah, ada pula guratan gelap yang melambangkan duka, kegelisahan, dan tekanan. Stres adalah salah satu warna itu, yang terkadang hadir bukan untuk mengotori kanvas, melainkan untuk memberi kedalaman dan makna pada lukisan kehidupan. Dalam perspektif Islam, stres bukanlah noda yang harus dihapus, melainkan bagian ndak terpisahkan dari desain Ilahi yang penuh hikmah. Seperti hujan yang jatuh di tanah gersang, stres membawa pesan tersembunyi untuk menyuburkan jiwa yang mungkin mulai lupa akan Sang Pencipta. Ia hadir mengingatkan manusia akan kelemahannya, bahwa di balik segala perencanaan dan ambisi, ada kuasa yang lebih besar yang mengatur segalanya. Di sinilah letak keindahan ajaran Islam: menjadikan stres bukan sebagai musuh yang harus dilawan, tetapi sebagai guru yang mengajarkan arti tawakal, sabar, dan ikhlas. Islam mengajarkan bahwa di balik setiap ujian, ada hikmah yang menunggu untuk ditemukan. Firman Allah ﷻ dalam Al-Qur'an menyatakan:
فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا، إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا
"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 5-6)
Ayat ini bukan sekadar janji, tetapi pengingat bahwa hidup adalah keseimbangan antara kesulitan dan kemudahan, antara tangis dan tawa, antara gelap dan terang.
Islam, dengan kebijaksanaan Ilahinya, memandang stres bukan sebagai musuh yang harus dihancurkan, melainkan sebagai ujian dan anugerah tersembunyi. Firman Allah ﷻ dalam Al-Qur’an menegaskan:
وَلَا نَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ
"Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155)
Ayat ini memberi pesan mendalam bahwa stres, ketakutan, dan kekurangan adalah bagian dari skenario Ilahi. Ia hadir bukan untuk melemahkan, tetapi untuk menguatkan. Melalui ujian ini, Allah ﷻ menanamkan benih kesabaran, keyakinan, dan ketergantungan penuh kepada-Nya. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, ndak semua orang mampu memahami atau menghadapi stres dengan bijak. Banyak yang terperosok dalam kesedihan, bahkan keputusasaan. Sebagian mencoba melarikan diri melalui hiburan sesaat, sementara yang lain terjebak dalam lingkaran kecemasan yang ndak berujung. Di sinilah pentingnya menggali kembali ajaran Islam yang sarat dengan solusi spiritual, emosional, dan praktis. Rasulullah ﷺ yang kehidupannya penuh tantangan, adalah teladan terbaik dalam menghadapi stres. Dalam banyak kesempatan, beliau mengingatkan pentingnya doa, zikir, dan tawakal. Salah satu doanya yang penuh makna adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kesusahan, kelemahan dan kemalasan, kekikiran dan pengecut, beban utang, dan tekanan manusia." (HR. Bukhari dan Muslim)
Doa ini adalah bukti bahwa stres adalah realitas yang diakui, bahkan oleh Rasulullah ﷺ , tetapi ia bukan sesuatu yang harus dibiarkan menguasai jiwa.
Sebaliknya, ia adalah kesempatan untuk berserah diri kepada Allah ﷻ , memperkuat hubungan dengan-Nya, dan memurnikan hati dari kecintaan dunia yang berlebihan.
Dan di bawah ini akan mencoba menyelami hakikat stres dalam bingkai ajaran Islam. Dengan pendekatan yang komprehensif dan akan mengurai penyebab stres, dampaknya, serta solusi yang ditawarkan Islam, baik dari sisi spiritual, psikologis, maupun sosial. Setiap pembahasan di dalamnya akan berusaha menghubungkan teori dengan realitas, agar menjadi relevan bagi pembaca dari berbagai latar belakang. Melalui perjalanan ini, kita akan menemukan bahwa stres bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, ia adalah pintu menuju kesadaran, pembelajaran, dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Semoga bahasan ini menjadi peta yang menuntun kita semua pada ketenangan hati, kejernihan pikiran, dan harmoni dalam menjalani kehidupan. Mari melangkah bersama, menyelami hikmah di balik setiap ujian, dan menemukan kedamaian yang sejati dalam kasih sayang-Nya.
Stres merupakan salah satu kondisi psikologis yang ndak bisa dihindari dalam kehidupan manusia. Islam, sebagai agama yang sempurna, memberikan panduan tentang bagaimana memahami dan menangani stres dengan pendekatan spiritual, psikologis, dan sosial. Berikut uraian mendalam tentang stres dalam perspektif Islam:
Dalam Islam, stres dapat dipahami sebagai ujian atau cobaan yang Allah ﷻ berikan kepada manusia untuk menguji keimanan dan kesabaran mereka. Stres muncul ketika seseorang menghadapi tekanan atau perubahan yang signifikan dalam hidupnya, baik dalam aspek fisik, emosional, maupun spiritual. Allah ﷻ berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ
"Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155)
Cobaan ini dapat menjadi sarana peningkatan keimanan jika disikapi dengan sabar dan tawakkal kepada Allah ﷻ.
Ciri-ciri stres dalam Islam ndak hanya mencakup gejala fisik atau psikologis, tetapi juga indikasi kelemahan spiritual:
a. Ciri Psikologis
Rasa cemas dan gelisah: Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَغْلِبَنَّكُمُ الْفَرَحُ بِالشَّيْءِ وَلَا الْحُزْنُ عَلَى الشَّيْءِ
"Janganlah terlalu berlebihan dalam bergembira atau bersedih terhadap sesuatu." (HR. Ahmad)
b. Ciri Fisik
Tubuh menjadi lemah, mudah lelah, atau sering sakit. Dalam hadits disebutkan:
إِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
"Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atas dirimu." (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Ciri Spiritual
Jauh dari Allah ﷻ : Stres sering muncul ketika manusia lupa bahwa segala sesuatu berada di bawah kendali Allah ﷻ. Lalai dalam ibadah: Ibadah menjadi ndak khusyuk atau terabaikan.
Islam mengidentifikasi beberapa penyebab stres yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah ﷻ, diri sendiri, dan orang lain:
a. Kurangnya Keimanan
Kurangnya keyakinan bahwa Allah ﷻ memiliki rencana terbaik sering menjadi penyebab utama stres. Allah ﷻ berfirman:
وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
ۥ ۚ"Dan barang siapa beriman kepada Allah ﷻ, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya." (QS. At-Taghabun: 11)
b. Tuntutan Duniawi yang Berlebihan
Kesibukan mengejar duniawi tanpa memperhatikan akhirat dapat menyebabkan tekanan. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَن كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ ٱللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ
"Barang siapa menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan menjadikan kefakiran selalu ada di depan matanya." (HR. Tirmidzi)
c. Masalah Sosial atau Ekonomi
Kemiskinan, hutang, dan konflik keluarga sering menjadi pemicu stres. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa untuk mengatasi hal ini: ٱللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ ٱلْهَمِّ وَٱلْحُزْنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ ٱلْعَجْزِ وَٱلْكَسَلِ
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kekhawatiran, dari kelemahan dan kemalasan." (HR. Abu Dawud)
Stres yang ndak terkelola dapat berdampak pada:
* Kesehatan fisik dan mental: Rasulullah ﷺ memperingatkan pentingnya menjaga kesehatan.
* Hubungan dengan Allah ﷻ : Stres dapat menyebabkan seseorang merasa jauh dari rahmat Allah ﷻ.
* Hubungan sosial : Stres dapat memicu konflik dan merusak hubungan.
Solusi Pencegahan dan Penyelesaian Stres dalam Islam
a. Meningkatkan Keimanan dan Ketawakkalan
Meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah ketetapan Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
"Ketahuilah, apa yang ditetapkan untukmu tidak akan meleset, dan apa yang tidak ditetapkan untukmu tidak akan menimpamu." (HR. Tirmidzi)
b. Menjaga Keseimbangan dalam Hidup
Islam menganjurkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Allah ﷻ berfirman:
وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَا
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia." (QS. Al-Qashash: 77)
c. Melakukan Ibadah dan Dzikir
Ibadah seperti shalat, membaca Al-Qur'an, dan dzikir dapat menenangkan hati. Allah ﷻ berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ
"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28)
d. Mencari Solusi dan Bantuan
* Berkonsultasi dengan ulama, keluarga, atau sahabat yang terpercaya.
* Memanfaatkan ilmu pengetahuan seperti psikologi untuk memahami stres.
* Meningkatkan taqarrub ( pendekatan) dengan Pencipta dan memohon petunjuk dan inayah-Nya agar diberi arah yang jelas dan solutif dari masalah yang dihadapi.
* Berolahraga dan melakukan rilaksasi agar otot yang tegang dan suasana hati lebih fleksibel.
Dengan memahami bahwa stres adalah bagian dari ujian hidup, seorang Muslim diajarkan untuk menyikapinya dengan sabar, tawakkal, dan usaha yang optimal. Hanya dengan mendekatkan diri kepada Allah ﷻ, hati dan pikiran dapat benar-benar menemukan ketenangan.
Hidup adalah kanvas yang luas, tempat berbagai warna emosi dan pengalaman tergores oleh kuas waktu. Di antara sapuan warna yang cerah, ada pula guratan gelap yang melambangkan duka, kegelisahan, dan tekanan. Stres adalah salah satu warna itu, yang terkadang hadir bukan untuk mengotori kanvas, melainkan untuk memberi kedalaman dan makna pada lukisan kehidupan. Dalam perspektif Islam, stres bukanlah noda yang harus dihapus, melainkan bagian ndak terpisahkan dari desain Ilahi yang penuh hikmah. Seperti hujan yang jatuh di tanah gersang, stres membawa pesan tersembunyi untuk menyuburkan jiwa yang mungkin mulai lupa akan Sang Pencipta. Ia hadir mengingatkan manusia akan kelemahannya, bahwa di balik segala perencanaan dan ambisi, ada kuasa yang lebih besar yang mengatur segalanya. Di sinilah letak keindahan ajaran Islam: menjadikan stres bukan sebagai musuh yang harus dilawan, tetapi sebagai guru yang mengajarkan arti tawakal, sabar, dan ikhlas. Islam mengajarkan bahwa di balik setiap ujian, ada hikmah yang menunggu untuk ditemukan. Firman Allah ﷻ dalam Al-Qur'an menyatakan:
فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا، إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا
"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 5-6)
Ayat ini bukan sekadar janji, tetapi pengingat bahwa hidup adalah keseimbangan antara kesulitan dan kemudahan, antara tangis dan tawa, antara gelap dan terang.

No comments:
Post a Comment