Nov 7, 2025

Perang Batin yang Dirasakan Seorang People Pleaser

 


Bahas yang santai - santai aja ya. SettiaBlog dapat momen video cukup bagus, Anda bisa lihat video klip di atas. Itu asli video lho, bukan gambar yang di edit jadi video. Anda bisa buktikan, pada menit ke 2 ada burung yang melayang. SettiaBlog suka suasananya itu terlihat natural di sore hari yang redup. Awalnya resolusi videonya 3840×2160 piksel (4K), terus SettiaBlog resize jadi 1622 x 1080. Karena videonya ndak di komersilkan dan SettiaBlog ambil lagunya Alexandra Parot yang mengcover "dancing on my own" tanpa permisi yang punya. Tema lagunya c tentang perang batin, gejolak emosi yang khas di usia muda, di mana seseorang berjuang untuk mengatasi rasa sakit dan kesedihan sambil mencoba untuk tetap hebat dan melanjutkan hidupnya.

Biasanya orang people pleaser yang sering mengalami perang batin.
People pleaser adalah seseorang yang selalu berusaha keras menyenangkan orang lain hingga mengabaikan kebutuhan dan keinginannya sendiri.
Selama ini kita seringkali menyalahkan seorang yang membiarkan dirinya menjadi people pleaser. Segala saran dan tip's kita berikan demi membuat orang tersebut berusaha untuk mengubah sifatnya. Segala fakta juga kita beberkan kepadanya demi meyakinkan dia bahwa menjadi people pleaser  bukanlah hal yang baik. Sayangnya, kita seringkali lupa bahwa ia juga punya perasaan dan pikiran. Kita lupa bahwa dibalik senyum dan tawanya ketika mencoba membahagiakan semua orang, hatinya juga memberontak. Di bawah ini ada beberapa perang batin yang kerap dirasakan seorang people pleaser. Yuuk...., berusaha lebih memahami orang lain.

1. Tahu bahwa penilaian orang ndak penting tapi dia juga ndak mau dicap negatif

Perang batin yang pertama yang sering mengganggu si people pleaser adalah betapa dia sadar bahwa dirinya ndak membutuhkan penilaian orang lain. Bahwa sebaik apa pun dia, akan selalu ada yang ndak suka dengannya. Tapi di sisi lain, ia juga ndak ingin mendapat cap negatif. Orang seperti ini ndak ingin orang lain memandang dirinya sebagai pribadi yang sombong atau judes. Dirinya hanya berusaha menunjukkan sisi terbaik dirinya demi membuatnya lebih bahagia.

2. Ingin selalu membahagiakan semua orang meski tahu itu mustahil

Kebahagiaan adalah sesuatu yang ndak nampak dan memang ndak bisa dilihat. Tapi bukan berarti itu ndak bisa diciptakan, kan? Beberapa orang yang dicap people pleaser  hanya ingin menunjukkan bahwa ia bisa menyebarkan kebahagiaan itu di hati orang lain. Ketika dirinya berusaha membahagiakan orang lain, di situlah ia merasa ikut bahagia. Bukankah kebahagiaan orang itu berbeda-beda dan ndak selalu sama bentuknya?

3. Lebih baik mengiyakan ketimbang terlibat konflik

Hal lainnya yang sering mengganggu people pleaser adalah ketika dirinya ndak bisa menolak permintaan seseorang karena tahu jika menolak maka ia akan terlibat konflik. Ndak semua orang bisa tegas dan mau mengambil risiko untuk terlibat masalah dengan siapa pun. Beberapa orang juga lebih suka ketenangan dan memilih untuk mengiyakan aja permintaan orang lain selama masih di jalur yang benar. Lagipula, apa salahnya menolong orang yang sedang kesusahan, kan?

4. Bingung menentukan batasan diri

Perang batin berikutnya yang dirasakan people pleaser adalah ia kebingungan dalam menentukan batasan diri. Banyaknya orang yang merasa orang seperti ini mudah dimanfaatkan, akhirnya memang menyadarkannya soal kelemahannya satu ini. Namun di sisi lain, ia ndak bisa menentukan batasan sejauh mana orang-orang bisa memanfaatkannya. Meski dirinya memang senang membahagiakan orang lain, ia juga tentu ingin dibahagiakan. Dibalik segala perlakuan baik yang ia lakukan ke orang lain, pastinya people pleaser  ingin mendapat perlakuan serupa.

5. Kadang merasa bersalah dengan diri sendiri tapi gak tahu caranya berhenti

Pastinya, si people pleaser juga sudah tahu bahwa dirinya cenderung berlebihan dalam memperlakukan orang lain. Ia sering membiarkan dirinya dimanfaatkan dan ini adalah sebuah kesalahan. Akan tetapi, ia juga ndak tahu bagaimana cara berhenti melakukan itu semua. Satu-satunya hal yang ia tahu adalah berbuat baik akan mendatangkan kebaikan kepada dirinya. Lalu apakah salah jika apa yang selama ini dia lakukan hanyalah kebaikan dan harusnya itu ndak membuatnya dicap sebagai people pleaser.

Kesalahan kita adalah gampang sekali memberi label negatif kepada orang lain tanpa berusaha melihat semuanya dari sudut pandang orang tersebut. Padahal, bisa jadi apa yang ia lakukan hanyalah sesuatu yang menurutnya baik dan ndak melukai orang lain. Betul, kan?

Udah ya, sebentar SettiaBlog. Di video kamu itu kan ada seorang wanita, apakah itu asli atau editan? Ya, lihat aja itu asli atau editan! Kalau itu emang asli lalu siapa wanita yang di video itu? He....he..., di tanya kok malah cengengesan. Untuk backgroundnya di dominasi warna red velvet. Red velvet? Kayak Dorayaki aja SettiaBlog. Thu..kan SettiaBlog mengalihkan pembicaraan. Udah ya, maafin SettiaBlog lho ya.


Video klip kedua ini ada Alexandra Parot yang mengcover "all I want" milik Kodaline.

Kebanyakan orang takut akan konflik—mereka mengalaminya sebagai sesuatu yang ndak nyaman dan menegangkan, sesuatu yang perlu ditakuti. Akibatnya, kita belajar untuk menghindari, menekan, atau menarik diri dari konflik, atau bahkan bertindak seolah-olah konflik itu ndak ada. Jarang kita memilih untuk memandang keberadaan konflik sebagai sesuatu yang positif dan menganggapnya sebagai peluang bagi kita untuk maju jika kita bersedia menghadapinya dan menanganinya secara efektif. Cepat atau lambat, sebagian besar dari kita menyadari kenyataan bahwa konflik ndak dapat dihindari, baik dalam diri kita sendiri maupun dalam hubungan kita dengan orang lain–di tempat kerja, di rumah, di mana pun.

Konflik bukan hanya ndak terelakkan, tetapi juga penting untuk menanganinya secara efektif agar kita dapat memaksimalkan kemampuan kita. Konflik mendorong kita untuk menelaah masalah dengan lebih cermat dan menantang kita untuk mengembangkan respons dan solusi yang kreatif. Faktanya, konflik adalah akar dari perubahan—baik perubahan pribadi, relasional, maupun sosial. Biasanya, ketika kita berpikir tentang konflik, itu terjadi antara orang-orang—antara kita dan atasan, rekan kerja, pasangan, atau anak. Namun, lebih sering lagi, kita mengalami konflik pribadi dan batin dalam diri kita sendiri. Sederhananya, konflik batin terjadi ketika Anda bergulat dengan diri sendiri. Ini adalah kontradiksi batin yang sering terjadi setiap hari yang kita semua alami, baik disadari maupun ndak. Konflik semacam ini muncul setiap kali Anda dihadapkan pada pengambilan keputusan dan umumnya melibatkan pergulatan antara melakukan apa yang Anda pikir "seharusnya" Anda lakukan dan menjadi diri Anda yang sebenarnya. Terkadang kita menganggap konflik-konflik ini ndak penting.

Berikut contoh, seseorang setelah wawancara kerja. Ia merasa bersemangat dan bersemangat setelah bertemu dengan Presiden Direktur dan merasa ingin bekerja di perusahaan itu. Dilemanya adalah apakah akan mengirimkan ucapan terima kasih dan mengirimkannya langsung atau menunggu satu atau dua hari agar ndak terlihat "terlalu bersemangat" atau "putus asa". Setelah bimbang antara dua pilihan itu, dia menindaklanjuti respons autentiknya, yakni segera mengirimkan catatan itu dan hasilnya dia merasa lega dan tenang, karena tahu bahwa nilai-nilai dan perilakunya selaras.

Biasanya, Anda mengalami kesadaran samar bahwa ada sesuatu yang salah, perasaan ndak nyaman, stres, atau gelisah. Seringkali, Anda merasakan ketidaknyamanan ini di tubuh Anda—di perut atau dada. Masalahnya, sering kali kita ndak memperhatikan ketidaknyamanan ini dan dalam kasus lain, kita secara sadar menekannya. Seperti yang kita ketahui betul, mengabaikan, menghindari, menekan, atau menyangkal konflik batin saat terjadi ndak berarti konflik itu hilang. Faktanya, kita menggunakan banyak energi untuk menekannya—bukan untuk mengatasinya—energi yang kemudian ndak dapat digunakan secara konstruktif. Bukan hanya itu, kegagalan menghadapi konflik saat muncul dan menanganinya secara efektif berarti kita tetap terjebak dan terperosok dalam masalah—lemah—ndak ada perbaikan, perluasan, kelegaan, atau resolusi sejati.

Dan terlalu sering, kita menyelesaikan konflik batin dengan membuat keputusan untuk melakukan apa yang "seharusnya" kita lakukan, alih-alih apa yang benar-benar ingin kita lakukan. Ketika kita terus-menerus mengabaikan atau menekan nilai-nilai atau kebutuhan sejati kita dan memilih untuk membuat keputusan yang "aman" atau "benar secara politis", kita semakin terputus dari jati diri kita yang sebenarnya. Akibatnya, semakin sulit untuk mengetahui apa kebutuhan sejati kita. Jika Anda ndak melakukan apa pun setelah membaca ini, perhatikan setiap perasaan ndak nyaman atau gelisah yang samar-samar yang Anda alami hari ini dan secara sadar telusuri sumbernya. Jangan remehkan, betapapun sepele kelihatannya. Perhatikan baik-baik. Cobalah untuk fokus pada apa yang menyebabkan Anda merasa ndak nyaman. Penyebabnya bisa jadi keputusan yang selama ini Anda tunda, risiko yang Anda coba bujuk untuk ndak ambil, atau mungkin terus mengikuti situasi yang ndak lagi Anda terima. Apa pun isi konflik batin ini, akui keberadaannya. Di saat-saat inilah—yang sering terjadi—Anda memiliki kesempatan untuk memahami nilai-nilai dan kebutuhan inti Anda.

Ketika kita mampu mengumpulkan keberanian untuk mengakui dan mengalami konflik-konflik batin ini, lalu memiliki keberanian untuk bertindak selaras dengan keyakinan sejati kita, hidup kita akan semakin kaya dan memuaskan—baik di tempat kerja maupun di rumah. Wujudnya adalah rasa jernih, lega, nyaman, berkembang, vitalitas—bahkan kegembiraan.

No comments:

Post a Comment