Video klip di atas ada "the garden" milik Alkyone. Dan dalam liriknya ada kalimat and the garden bloomed. Secara harfiah di artikan "Taman mekar", selain arti harfiah, "the garden bloomed" juga bisa digunakan secara kiasan. Misalnya, seseorang bisa mengatakan "My creativity bloomed" untuk menggambarkan saat-saat di mana kreativitas mereka mencapai puncaknya, atau "My business bloomed" untuk menggambarkan bisnis yang sedang berkembang pesat. Dalam konteks seperti ini, "bloomed" tetap mengacu pada fase pertumbuhan dan perkembangan yang positif. Berbeda dengan ungkapan
I grew a flower that can't be bloomed, in a dream that can't come true. Kalau ini c bentuk keputus asaan, merasa melakukan pekerjaan yang sia-sia.
Sedangkan Allah SWT menciptakan segala yang ada di alam ini ndak ada yang sia-sia. Terlebih lagi yang Dia ciptakan itu adalah manusia; hamba yang menjadi wakil-Nya di muka bumi ini. Sudah tentu Allah SWT mempunyai tujuan mengapa manusia itu diciptakan. Ndak ada yang sia-sia dalam perbuatan Allah SWT. Termasuk ketika Dia menciptakan kita semua. Ndak sebagaimana anggapan sebagian orang yang terlena dengan fitnah dunia. Allah SWT berfirman :
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan sia-sia begitu saja?“ (QS. Al Qiyamah: 36)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyimpulkan, Ayat ini mencakup dua keadaan (di dunia dan di akherat). Manusia ndak dibiarkan sia-sia di dunia dengan ndak diperintah dan ndak dilarang. Begitu pula mereka ndak dibiarkan sia-sia di alam kubur. Mereka diberi perintah dan larangan di dunia, dan mereka dikumpulkan (dan dibangkitkan) di hadapan Allah SWT di hari akherat. Yang dimaksud dalam ayat ini penetapan adanya janji Allah SWT sekaligus bantahan bagi orang-orang menyimpang, orang – orang yang lalai, serta para penentang yang mengingkari hal-hal tersebut.
Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Qs. Al Mukminun:115).
Walau sebagian kita tahu maksud Allah SWT menciptakan manusia di bumi ini ndak sia-sia, tapi ndak sedikit pula manusia yang berfikir bahwa setelah manusia mati ia akan menjadi tanah. Ini adalah paradigma yang menyesatkan. Sudah jelas bagi kita bahwa bukan merupakan kesia-siaan ketika Allah SWT menciptakan kita. Lalu apa tujuannya? Tujuan Allah SWT menciptkan kita adalah untuk beribadah kepada-Nya semata, yakni dengan mentauhidkan-Nya. Hal ini Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Qs. Adz Dzariyat: 56)
Bahkan dengan sebab tauhid inilah Allah SWT menciptakan seluruh makhluk, menyediakan surga dan neraka, Allah SWT menurunkan kitab-kitab-Nya, dan mengutus para rasul ‘alaihimussallam. Allah SWT menciptakan jin dan manusia serta memerintahkannya untuk bertauhid kepada-Nya. Allah SWT menjanjikan surga bagi yang merealisasikan tauhid, dan mengancam dengan neraka bagi yang menyelisihi jalan tauhid. Dan Allah SWT mengutus seluruh para nabi dan rasul untuk menjelaskan tauhid.
Bukti bahwa Allah SWT ndak menciptakan manusia sia-sia, Allah SWT mengutus rasul di tengah-tengah mereka untuk memberikan petunjuk. Kewajiban manusia untuk taat kepada rasul yang di utus kepada mereka. Barangsiapa yang mentaati rasul tersebut akan masuk surga, karena ketaatan kepada rasul merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman :
وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم
“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisaa’: 13)
Makhluk yang paling mulia, paling tinggi kedudukannya, dan paling dekat di sisi Allah SWT adalah yang paling sempurna penghambaanya kepada Allah SWT. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Orang yang sempurna (adalah) yang sempurna dalam ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Tujuan dari pengutusan rasul adalah agar manusia mentaati mereka dan mengikuti syariat yang mereka bawa dari sisa Allah Ta’ala”.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan iman dan kekuatan untuk beramal sholeh kepada kita semua. Semoga pula kelak kita saat di alam akherat senantiasa mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Karena itu, mari bersama menaati perintah Allah SWT dan Nabi-Nya agar hidup ini ndak penuh dengan kesia-siaan.
Karena hidup ini begitu singkat, maka Bismillah isi hari-hari kita dengan hal-hal yang bisa menambah amal jariyah sebagai bekal kelak di akherat. Ndak ada waktu untuk menunda dan membuang-buang waktu dengan mengisinya untuk hal yang ndak memberi manfaat sedikitpun.
Udah ya, maaf in SettiaBlog. Bahasan seperti ini sebenarnya ada yang lebih berhak menyampaikannya, jangan di masukkan ke hati. Untuk backgroundnya ini SettiaBlog gunakan polarisasi dari bunga Triliun.
Sedangkan Allah SWT menciptakan segala yang ada di alam ini ndak ada yang sia-sia. Terlebih lagi yang Dia ciptakan itu adalah manusia; hamba yang menjadi wakil-Nya di muka bumi ini. Sudah tentu Allah SWT mempunyai tujuan mengapa manusia itu diciptakan. Ndak ada yang sia-sia dalam perbuatan Allah SWT. Termasuk ketika Dia menciptakan kita semua. Ndak sebagaimana anggapan sebagian orang yang terlena dengan fitnah dunia. Allah SWT berfirman :
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan sia-sia begitu saja?“ (QS. Al Qiyamah: 36)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyimpulkan, Ayat ini mencakup dua keadaan (di dunia dan di akherat). Manusia ndak dibiarkan sia-sia di dunia dengan ndak diperintah dan ndak dilarang. Begitu pula mereka ndak dibiarkan sia-sia di alam kubur. Mereka diberi perintah dan larangan di dunia, dan mereka dikumpulkan (dan dibangkitkan) di hadapan Allah SWT di hari akherat. Yang dimaksud dalam ayat ini penetapan adanya janji Allah SWT sekaligus bantahan bagi orang-orang menyimpang, orang – orang yang lalai, serta para penentang yang mengingkari hal-hal tersebut.
Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Qs. Al Mukminun:115).
Walau sebagian kita tahu maksud Allah SWT menciptakan manusia di bumi ini ndak sia-sia, tapi ndak sedikit pula manusia yang berfikir bahwa setelah manusia mati ia akan menjadi tanah. Ini adalah paradigma yang menyesatkan. Sudah jelas bagi kita bahwa bukan merupakan kesia-siaan ketika Allah SWT menciptakan kita. Lalu apa tujuannya? Tujuan Allah SWT menciptkan kita adalah untuk beribadah kepada-Nya semata, yakni dengan mentauhidkan-Nya. Hal ini Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Qs. Adz Dzariyat: 56)
Bahkan dengan sebab tauhid inilah Allah SWT menciptakan seluruh makhluk, menyediakan surga dan neraka, Allah SWT menurunkan kitab-kitab-Nya, dan mengutus para rasul ‘alaihimussallam. Allah SWT menciptakan jin dan manusia serta memerintahkannya untuk bertauhid kepada-Nya. Allah SWT menjanjikan surga bagi yang merealisasikan tauhid, dan mengancam dengan neraka bagi yang menyelisihi jalan tauhid. Dan Allah SWT mengutus seluruh para nabi dan rasul untuk menjelaskan tauhid.
Bukti bahwa Allah SWT ndak menciptakan manusia sia-sia, Allah SWT mengutus rasul di tengah-tengah mereka untuk memberikan petunjuk. Kewajiban manusia untuk taat kepada rasul yang di utus kepada mereka. Barangsiapa yang mentaati rasul tersebut akan masuk surga, karena ketaatan kepada rasul merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman :
وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم
“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisaa’: 13)
Makhluk yang paling mulia, paling tinggi kedudukannya, dan paling dekat di sisi Allah SWT adalah yang paling sempurna penghambaanya kepada Allah SWT. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Orang yang sempurna (adalah) yang sempurna dalam ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Tujuan dari pengutusan rasul adalah agar manusia mentaati mereka dan mengikuti syariat yang mereka bawa dari sisa Allah Ta’ala”.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan iman dan kekuatan untuk beramal sholeh kepada kita semua. Semoga pula kelak kita saat di alam akherat senantiasa mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Karena itu, mari bersama menaati perintah Allah SWT dan Nabi-Nya agar hidup ini ndak penuh dengan kesia-siaan.
Karena hidup ini begitu singkat, maka Bismillah isi hari-hari kita dengan hal-hal yang bisa menambah amal jariyah sebagai bekal kelak di akherat. Ndak ada waktu untuk menunda dan membuang-buang waktu dengan mengisinya untuk hal yang ndak memberi manfaat sedikitpun.
Udah ya, maaf in SettiaBlog. Bahasan seperti ini sebenarnya ada yang lebih berhak menyampaikannya, jangan di masukkan ke hati. Untuk backgroundnya ini SettiaBlog gunakan polarisasi dari bunga Triliun.
Untuk video klip kedua ini ada hujan di bulan Mei. Ya, hujan - hujanan di bulan Mei rasanya segar lho, pikiran juga jadi lebih fresh... he... he... Untuk backsoundnya mungkin Anda udah kenal lagunya.
Penyebab merasa hidup ini sia - sia karena sering kurang memahami tujuan hidup.
Dari al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiya-llahu ‘anhum: Rasulullah SAW bersabda, “Diantara (pertanda) baiknya keislaman seseorang adalah bila dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits riwayat Ahmad)
Bila seseorang sudah memutuskan untuk mendaki gunung yang tinggi dan terjal, apa yang akan disiapkannya? Jika ia seorang pendaki yang berpengalaman, ia akan lebih banyak menyiapkan peralatan dan bekal yang paling penting, paling ringan dibawa, dan tentunya ndak akan berlebihan. Bila pun ia harus membawa peralatan masak misalnya, ia ndak akan mengangkut kompor gas lengkap dengan tabung elpijinya. Sangat berat dan merepotkan. Ia pasti lebih memilih kompor portabel dengan parafin secukupnya. Kalau membutuhkan hiburan, ia ndak akan mau menggendong televisi layar datar 21″, apalagi satu set home theatre. Ia pasti lebih memilih radio mini atau mp3 player seukuran gantungan kunci aja. Mengapa demikian? Sebab, ia tahu persis tantangan yang akan dihadapinya. Medan yang bakal dia lalui sudah tergambar di depan matanya. Ia mungkin juga sudah membayangkan sudut-sudut kemiringan lereng gunung itu. Di medan semacam ini, sudah selayaknya seseorang menghemat energi, salah satunya dengan membawa hanya perbekalan yang paling penting dan seringan mungkin. Dengan disiplin mental seperti ini, perjalanannya kemungkinan besar lebih menyenangkan dan berakhir sukses. Tentu aja, bekal-bekal lain berupa ketrampilan, pengetahuan dan kesiapan fisik juga ndak boleh diabaikan.
Mari kita tarik ilustrasi di atas ke dalam arena kehidupan sehari-hari. Kita akan mengkaji dan mencari jawaban atas pertanyaan ini: bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu adalah sia-sia dan ndak penting? Apa yang menjadi standar dan rujukannya? Sebagaimana ilustrasi di atas, kata kunci pertama adalah “tujuan”. Pengetahuan yang mantap dan pasti tentang tujuan dari suatu aktifitas adalah titik tolak pertama untuk memulai perjalanan. Jika kita ndak menyadari arah dari apa yang sedang kita kerjakan, ndak lama lagi kita akan kehabisan energi dan semangat. Semua akan hampa dan kosong. Lebih celaka lagi, jika kita ndak mengerti harus mengerjakan apa. Maka, pada titik inilah akan muncul perilaku yang tanpa arah dan ndak memiliki relevansi dengan status dan tujuan kita yang sebenarnya.
Kata kunci kedua adalah “pengetahuan yang memadai tentang hal-hal yang relevan dengan tujuan tersebut”. Seorang pendaki gunung tentu ndak akan menyiapkan dan membawa-bawa peralatan menyelam ketika berangkat ke medan yang ditujunya. Alat menyelam memang penting, tetapi ndak relevan bagi aktifitas pendakian gunung. Ia tentu lebih membutuhkan tali temali atau sepatu yang kuat dan nyaman di kaki. Demikianlah, ketika pergi ke sekolah, seorang pelajar akan membawa buku-buku dan alat tulis, bukan guling atau bantal.
Sejauh ini, kita baru berbicara dalam skup kecil. Mari kita membahas skup yang lebih luas, yakni kehidupan. Bagaimana cara kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan sekarang ini, dalam hari-hari kehidupan kita, adalah sia-sia atau berguna? Pertama, tentu saja adalah menyadari apa tujuan hidup kita. Ketidaktahuan terhadap tujuan hidup adalah awal kesia-siaan. Dalam al-Qur’an, Allah SWT menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah agar mengabdi kepada-Nya semata. Maka, setiap aktifitas yang ndak memiliki nilai ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT adalah sia-sia dan ndak relevan.
Bagaimanapun juga, seseorang yang mengerti apa tujuan hidupnya, dia tahu apa yang baik ataupun ndak untuk dilakukannya. Hadits yang kita kutip di awal tulisan ini menegaskan ciri itu. Bahwa, seorang muslim yang baik akan meninggalkan segala sesuatu yang mubadzir, ndak produktif, sia-sia, ndak relevan, juga apa aja yang berbau maksiat. Sebab, ia tahu bahwa ia diciptakan bukan untuk itu. Dengan kata lain, kesadaran terhadap tujuan hidup sangat menentukan terhadap apa yang harus kita kerjakan selama hidup. Karena kesadaran ini pulalah kita akan terdorong untuk mencari tahu bagaimana cara melakukan hal-hal yang relevan dengan tujuan itu. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka dia akan dibuatnya faqih (paham betul) terhadap urusan agamanya.” Jika logika hadits ini kita balik, maka ia akan berbunyi begini: pemahaman yang baik terhadap urusan agama adalah awal karunia kebaikan bagi seseorang. Dalam hadits itu, hanya disebut secara umum kata “kebaikan”, yang bisa bermakna kebaikan apa aja, baik di dunia maupun di akherat. Hadits ini juga menegaskan bahwa – di mata Allah SWT – kebaikan yang bakal diraih seseorang sangat tergantung kepada faktor pengatahuan dan pengamalan agama.
Tanpa kehadiran faktor agama, sebenarnya ndak ada sesuatu pun yang layak disebut sebagai kebaikan; entah itu kesibukan, karir, kekayaan, kecantikan, popularitas, kekuasaan, gelar akademik, rumah megah, kendaraan mewah, dan lain-lain. Tanpa kehadiran agama di samping segala yang sudah disebutkan itu, maka semuanya adalah sia-sia. Standar dan ukuran sesuatu sia-sia atau berguna, penting atau mubadzir, adalah agama. Dan, seorang muslim yang baik pasti meninggalkan apa yang diketahuinya sebagai kesia-siaan dan kemubadziran. Bagaimana cara meninggalkannya? Pahamilah agama ini sebaik-baiknya, agar kita mengerti harus “diapakan”, “dikemanakan” dan “dibagaimanakan” semua yang sekarang kita miliki.
Penyebab merasa hidup ini sia - sia karena sering kurang memahami tujuan hidup.
Dari al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiya-llahu ‘anhum: Rasulullah SAW bersabda, “Diantara (pertanda) baiknya keislaman seseorang adalah bila dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits riwayat Ahmad)
Bila seseorang sudah memutuskan untuk mendaki gunung yang tinggi dan terjal, apa yang akan disiapkannya? Jika ia seorang pendaki yang berpengalaman, ia akan lebih banyak menyiapkan peralatan dan bekal yang paling penting, paling ringan dibawa, dan tentunya ndak akan berlebihan. Bila pun ia harus membawa peralatan masak misalnya, ia ndak akan mengangkut kompor gas lengkap dengan tabung elpijinya. Sangat berat dan merepotkan. Ia pasti lebih memilih kompor portabel dengan parafin secukupnya. Kalau membutuhkan hiburan, ia ndak akan mau menggendong televisi layar datar 21″, apalagi satu set home theatre. Ia pasti lebih memilih radio mini atau mp3 player seukuran gantungan kunci aja. Mengapa demikian? Sebab, ia tahu persis tantangan yang akan dihadapinya. Medan yang bakal dia lalui sudah tergambar di depan matanya. Ia mungkin juga sudah membayangkan sudut-sudut kemiringan lereng gunung itu. Di medan semacam ini, sudah selayaknya seseorang menghemat energi, salah satunya dengan membawa hanya perbekalan yang paling penting dan seringan mungkin. Dengan disiplin mental seperti ini, perjalanannya kemungkinan besar lebih menyenangkan dan berakhir sukses. Tentu aja, bekal-bekal lain berupa ketrampilan, pengetahuan dan kesiapan fisik juga ndak boleh diabaikan.
Mari kita tarik ilustrasi di atas ke dalam arena kehidupan sehari-hari. Kita akan mengkaji dan mencari jawaban atas pertanyaan ini: bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu adalah sia-sia dan ndak penting? Apa yang menjadi standar dan rujukannya? Sebagaimana ilustrasi di atas, kata kunci pertama adalah “tujuan”. Pengetahuan yang mantap dan pasti tentang tujuan dari suatu aktifitas adalah titik tolak pertama untuk memulai perjalanan. Jika kita ndak menyadari arah dari apa yang sedang kita kerjakan, ndak lama lagi kita akan kehabisan energi dan semangat. Semua akan hampa dan kosong. Lebih celaka lagi, jika kita ndak mengerti harus mengerjakan apa. Maka, pada titik inilah akan muncul perilaku yang tanpa arah dan ndak memiliki relevansi dengan status dan tujuan kita yang sebenarnya.
Kata kunci kedua adalah “pengetahuan yang memadai tentang hal-hal yang relevan dengan tujuan tersebut”. Seorang pendaki gunung tentu ndak akan menyiapkan dan membawa-bawa peralatan menyelam ketika berangkat ke medan yang ditujunya. Alat menyelam memang penting, tetapi ndak relevan bagi aktifitas pendakian gunung. Ia tentu lebih membutuhkan tali temali atau sepatu yang kuat dan nyaman di kaki. Demikianlah, ketika pergi ke sekolah, seorang pelajar akan membawa buku-buku dan alat tulis, bukan guling atau bantal.
Sejauh ini, kita baru berbicara dalam skup kecil. Mari kita membahas skup yang lebih luas, yakni kehidupan. Bagaimana cara kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan sekarang ini, dalam hari-hari kehidupan kita, adalah sia-sia atau berguna? Pertama, tentu saja adalah menyadari apa tujuan hidup kita. Ketidaktahuan terhadap tujuan hidup adalah awal kesia-siaan. Dalam al-Qur’an, Allah SWT menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah agar mengabdi kepada-Nya semata. Maka, setiap aktifitas yang ndak memiliki nilai ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT adalah sia-sia dan ndak relevan.
Bagaimanapun juga, seseorang yang mengerti apa tujuan hidupnya, dia tahu apa yang baik ataupun ndak untuk dilakukannya. Hadits yang kita kutip di awal tulisan ini menegaskan ciri itu. Bahwa, seorang muslim yang baik akan meninggalkan segala sesuatu yang mubadzir, ndak produktif, sia-sia, ndak relevan, juga apa aja yang berbau maksiat. Sebab, ia tahu bahwa ia diciptakan bukan untuk itu. Dengan kata lain, kesadaran terhadap tujuan hidup sangat menentukan terhadap apa yang harus kita kerjakan selama hidup. Karena kesadaran ini pulalah kita akan terdorong untuk mencari tahu bagaimana cara melakukan hal-hal yang relevan dengan tujuan itu. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka dia akan dibuatnya faqih (paham betul) terhadap urusan agamanya.” Jika logika hadits ini kita balik, maka ia akan berbunyi begini: pemahaman yang baik terhadap urusan agama adalah awal karunia kebaikan bagi seseorang. Dalam hadits itu, hanya disebut secara umum kata “kebaikan”, yang bisa bermakna kebaikan apa aja, baik di dunia maupun di akherat. Hadits ini juga menegaskan bahwa – di mata Allah SWT – kebaikan yang bakal diraih seseorang sangat tergantung kepada faktor pengatahuan dan pengamalan agama.
Tanpa kehadiran faktor agama, sebenarnya ndak ada sesuatu pun yang layak disebut sebagai kebaikan; entah itu kesibukan, karir, kekayaan, kecantikan, popularitas, kekuasaan, gelar akademik, rumah megah, kendaraan mewah, dan lain-lain. Tanpa kehadiran agama di samping segala yang sudah disebutkan itu, maka semuanya adalah sia-sia. Standar dan ukuran sesuatu sia-sia atau berguna, penting atau mubadzir, adalah agama. Dan, seorang muslim yang baik pasti meninggalkan apa yang diketahuinya sebagai kesia-siaan dan kemubadziran. Bagaimana cara meninggalkannya? Pahamilah agama ini sebaik-baiknya, agar kita mengerti harus “diapakan”, “dikemanakan” dan “dibagaimanakan” semua yang sekarang kita miliki.
No comments:
Post a Comment