Makna lirik "Bohemian Rhapsody" memang sulit di pahami, intinya menurut SettiaBlog, jeritan seorang anak yang mendambakan kasih sayang dan keharmonisan dalam keluarga. SettiaBlog itu sangat bersyukur di lahirkan di Jawa, yang notabene kaya akan falsafah hidup. Salah satunya "memayu hayuning bawono." Memangnya apa yang istimewa dari falsafah tersebut? Setia Hayuning Bawono, nama ini biasa SettiaBlog pakai dalam beberapa karangan. Mirip gelarnya ratu Pembayun dari Yogyakarta "Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono ". he..he.. maaf, Ariana, Selena, Taylor dan yang lain, SettiaBlog ndak rasis. Memang benar, sebelum ada pengaruh luar, di Jawa itu sudah ada kepercayaan, "kapitayan" namanya. Kepercayaan ini percaya satu Tuhan, bukan dinamisme atau animisme. Tidak bertentangan dengan agama Islam pokoknya, kapan - kapan SettiaBlog akan kasih uaraiannya sedikit, biar semua tidak salah persepsi tentang budaya Jawa yang sesungguhnya.
Orang Jawa memiliki pandangan adiluhung dalam falsafah hidup memayu hayuning bawono. Itu merupakan sebuah falsafah kuno yang mengajarkan budi luhur bagi masyarakat Jawa. Dalam kepercayaannya, sebagai bentuk harapan akan harmoni kehidupan yang dapat memberikan kedamaian kepada seluruh alam. Wujud memayu hayuning bawono adalah manusia harus sudah mengerti akan kebaikan yang terdapat pada dirinya, dan juga kebaikan jagat raya. Inilah telos masyarakat Jawa yang menciptakan makna bersosial, dan memberikan keselarasan bagi seluruh kehidupan.
Masyarakat Jawa sering mengunakannya untuk nasihat sosial: “memayu hayuning bawono, ambrasto dur hangkoro”. Artinya, kebajikan manusia atas bantuan-Nya untuk menumpas segala malapetaka dan keburukan. Biasanya falsafah tersebut terus ditularkan dari generasi ke generasi berikutnya. Falsafah inilah yang diwariskan orang tua kepada anak-anaknya, supaya mereka bisa menghargai sesama mahluk hidup. Budaya pitutur memang masih kental dilakukan oleh masyarakat Jawa. Kepercayaan bahwa dengan memahami falsafah kehidupan akan membawa hidupan yang lebih indah. Tak usang oleh zaman kalimat Memayu Hayuning Bawono berarti tiga hal.
Pertama, memayu berasal dari kata ‘mayu’ (cantik, indah, atau selamat) mendapat imbuhan ‘ma’ menjadi mamayu (mempercantik, memperindah, atau meningkatkan keselamatan) karena tradisi getok tular masyarakat Jawa kata mamayu menjadi memayu. Di sini mencerminkan perilaku positif dari manusia sosial dengan semangat kerekatan emosional sehingga melahirkan keharmonisan.
Kedua hayuning berasal dari kata ‘hayu atau ha’ dengan mendapatkan kata imbuhan ‘ning atau Ing’ (Allah atau Gusti Pangeran Maha Agung). Dalam falsafah tersebut memiliki arti cantik-Nya, indah-Nya atau keselamatan-Nya. Sehingga masyarakat Jawa dalam memaknai kata hayuning adalah mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan tertuju kepada Sang Maha Kuasa.
Ketiga bawono memiliki dua ruang lingkup arti pada wujudnya. Pertama ruang bawah atau dunia dalam yang melingkupi batin, jiwa atau rohani. Sedangkan wujud kedua untuk ruang ragawi atau jasmaniahnya, karena mengunakan kata ‘buwono’ yang berati dunia fisik. Buwono dalam aksioma masyarakat Jawa memiliki tiga makna. Pertama buwono alit (kecil) yang bermakna pribadi dan keluarga, kedua buwono agung (besar) yang berati masyarakat, bangsa, negara dan internasional (global), dan ketiga buwono langgeng (abadi) adalah alam akhirat atau Illah.
Dengan demikian falsafah tersebut memiliki hubungan kerekatan antara sosial budaya dan Tuhan. Bersama-sama masyarakat Jawa mayakini manusia mampu mengilhamkan keselarasan kepada seluruh alam semesta beserta isinya. Karakter masyarakat Jawa bisa terlihat jelas, mereka mengunakan sistem pikiran sebagai fungsi ideologi. Seperti teorinya Baudrillard, suatu ideologi dipahami sebagai representasi pikiran. Orang bisa memiliki keyakinan sosial yang kuat berkat agama, mitos, prinsip moral, atau kebiasaan.
Menurut SettiaBlog teori ini menjadi titik awal sebuah reproduksi tatanan sosial, “setiap sistem disposisi individu adalah variabel struktural sistem disposisi yang lain, di mana terungkap kekhasan posisinya di dalam kelas dan arah yang dituju. Gaya pribadi, praktik-praktik kehidupan atau hasil karya, tidak lain kecuali suatu jarak terhadap gaya khas suatu zaman atau suatu kelas, sehingga gaya itu mengacu pada gaya umum, tidak hanya melalui keseragaman, tetapi juga melalui perbedaan yang menghasilkan pembawaan tertentu”. Meskipun sudah diterima secara luas manusia memiliki kemampuan dan kesempatan unik dalam merawat alam, mereka juga dipandang sebagai mahluk yang bodoh dan bisa merusak. Manusia adalah mahluk mortal, dan serta perasaan mereka berubah-ubah sebagaimana angin. Sehingga, setiap makna yang bergantung pada opini manusia dengan sendirinya rapuh dan sesaat. Contohnya dalam buku Madness and Civilization, bagaimana kegilaan, bersama dengan kemiskinan, pengagguran dan ketidakmapanan kerja, pada abad ke-17 dipandang sebagai “masalah sosial” menjadi tanggungjawab negara.
Bila menghadapi persoalan tersebut, masyarakat Jawa sudah memiliki memayu hayuning bawono. Falsafat tersebut mengajarkan tentang kebenaran absolut, dan makna kehidupan atas alam semesta. Perilaku mereka didasarkan pada suatu hukum abadi yang keluar dari suatu sumber memayu hayuning bawono. Berperilaku dengan cantik, selalu menjaga keharmoisan sesama mahluk hidup dan menyatukan diri kepada Hayuning agar mendapat petunjuk kebenaran. Hayuning meminta petunjuk kepada Sang Maha Kuasa untuk dibukakannya petunjuk. Melalui falsafah ini, masyarakat Jawa sebelum bertindak memikirkannya dengan perasaan yang bersih. Menanggalkan godaan-godaan dunia sejenak, masuk dalam relung hati paling dalam dan memusatkan daya pikiran (spiritual).
No comments:
Post a Comment