Tidak ada salahnya Anda simak dulu sebuah kisah di tahun 60-an, di mana seorang pensiunan kolonel yang tidak disangka-sangka berhasil berbisnis fastfood. Tentu saja, kesuksesan ini memancing keingintahuan pesaing-pesaingnya. Salah satunya, sebut saja Ray. Suatu hari, bertemulah Ray dengan Kolonel. "Kolonel, saya ingin ngobrol-ngobrol dengan Kolonel," Ray memulai percakapan.
"Oh, begitu? Yah, silahkan saja," jawab Kolonel
ramah.
Kebetulan di meja ada setoples kacang mete. Bertanyalah Ray, "Kolonel, boleh saya cicipi kacang metenya?"
Sahut Kolonel, "Boleh, boleh."
Saking enaknya kacang mete tersebut, sampai-sampai Ray menghabiskan semuanya. Karena tidak enak hati, buru-buru ia minta maaf, "Maaf, Kolonel. Kacang metenya saya habiskan."
"Oh, tidak apa-apa kok," balas Kolonel tanpa basa-basi. Wajahnya tetap ramah.
"Benar Kolonel?" tanya Ray.
"Ya" jawab Kolonel. "Kalau perlu, saya ambilkan satu toples lagi. Sebentar, ya." kolonelpun masuk ke dalam, kemudian ia keluar seraya membawa satu toples kacang mete.
"Beneran nih?" lagi-lagi Ray bertanya.
Sambil tersenyum, Kolonel mengangguk. Maka tanpa banyak bicara, Ray pun langsung menghabiskan kacang mete tersebut, tak sisa secuilpun.
Setelah beberapa saat, barulah Kolonel menjelaskan, "Biasanya tiap akhir pekan cucu saya mengirimi saya cokelat Cadbury. Tapi, saya kan tidak bisa makan kacang mete lagi. Maklumlah, saya sudah tua. Gigi saya sudah tidak kuat lagi. Saya bisanya cuma jilatin cokelatnya. Terus, kacang metenya saya kumpulkan dalam toples. Yah, dari pada terbuang, sayang kan? Oya, mau saya ambilkan satu toples lagi?"
Tiba-tiba saja Ray merasa mual.
Cerita barusan cuma fiktif kok. Kali ini kita fokus pada fenomena sampah jadi rupiah. Begini ceritanya. Sampah yang biasanya begitu saja, ternyata kalau sampai.di tangan orang yang kreatif, bisa berubah jadi rupiah. Mau contoh? Baiklah.
Adalah Yuliastoni, seorang enterpreneur dari Jawa Timur, yang memanfaatkan bulu-bulu angsa sisa pembuatan shuttle cock sejak 2003. Setelah dikeringkan dan diimbuhi warna, bulu-bulu angsa itu diolahnya menjadi hiasan yang apik dan menarik berbentuk kupu-kupu. Hadirlah pemanis ruangan, bros pakaian dan hiasan lemari es. Pokoknya bagus-baguslah.
Sebelumnya Yuliastoni berkubang di pembuatan kapal tradisional dari kayu mahoni yang dimasukkan ke dalam botol. Belakangan bisnis yang ditekuninya sekitar 10 tahun dikerubuti pesaing. Mau tidak mau, terpaksalah ia melirik alternatif. Pilihanpun jatuh pada bulu-bulu angsa. Selain kebutuhan lokal, ia sempat memasok kebutuhan manca negara, di antaranya Turki, Singapura dan Malaysia. Tampak sudah, di tangan orang yang kreatif, sampah berubah jadi rupiah.
Sekarang kita tengok pula pohon pisang. Orang Jawa menyebutnya debok. Apa istimewanya? Anda tahu sendiri kan, selama ini begitu buah pisang dipetik oleh pemiliknya, pohon pisang akan diterlantarkan begitu saja, sampai membusuk. Padahal, siapa sangka debok itu bisa disulap menjadi tas dan dompet. Setidaknya, inilah yang dilakoni oleh Yanto Suhardani di Nganjuk, Jawa Timur, sejak 2004.
Awalnya, pohon itu hanya dikuliti dan dijemur. Tetapi, dengan begini hasilnya tidak bisa bertahan lama. Paling banter hanya dua tahun. Untunglah, Yanto menemukan cara anyar. Apa itu? Selain dikuliti dan dijemur, pohon itu juga dibilas dengan sabun hingga bersih dari getah. Kemudian dijemur lagi sampai kering, terus barulah dibikin tas dan dompet, yang bisa langgeng sampai sepuluh tahun.
Untuk pemasaran, Yanto condong menjajal pendekatan getok.tular alami, selain memajangnya di salah satu supermarket di Surabaya. Anda mau tahu bagaimana hasilnya? Betul-betul mau tahu? Sekelompok ibu-ibu PKK bahkan sempat memesan ratusan tas. Wow! Tak pelak lagi, sampah bisa berubah menjadi rupiah di tangan orang yang kreatif.
Lain halnya di Malang. Seorang laki-laki lanjut usia bernama Soekarno membesut wayang kulit dari kertas bekas pembungkus semen yang disebut seplit. Bukan dari kulit binatang seperti kebanyakan. "Yah, saya kan butuh makan. Sementara, modal sudah tidak ada lagi. Kebetulan saya suka wayang." akunya jujur. Memang pembungkus semen lebih murah ketimbang kulit binatang. Dan Anda tidak bakal menemukan bahan baku berupa seplit ini di toko manapun. Sebabnya, Soekarno sendiri yang menemukannya.
Serunya, kehadiran wayang seplit ini sempat diakui pemerhati budaya wayang dari Denmark, Belanda dan Australia. Bahkan seorang seniman Belanda bernama Coor Muller menulis di buku tamu di tempatnya. "You are the real artist! Thank you for your patience to tell about the meaning of wayang." Perhatian juga datang dari sederet perwira tinggi TNI semasa Orde Baru. Adapun tokoh-tokoh wayang yang sering dipesan beberapa seniman dari mancanegara antara lain Kumbo Karno, Anoman, Broto Seno, Punto Dewo dan Punokawan.
Tengok pula Ludiono lulusan STM Mondoroko (SMKN Singosari). Dengan bendera Dopink Craft di kawasan Arjosari, Surabaya, Ludiono meracik.sampah atau barang bekas menjadi pernik-pernik seni yang layak di jual. Ditingkah dengan pasir laut dalam pengerjaannya, maka terciptalah bingkai foto, jam meja, gantungan kunci, vas bunga, lampu meja, pokoknya macam-macamlah. Dan itu semua cuma bermodal awal 300 ribu rupiah.
Lagi-lagi terbukti, berporos pada otak kanan dan kreativitas, sampah pun tidak ada ubahnya seperti rupiah. Oya, tahukah Anda, Ideo, perusahaan desain paling disegani di Amerika, menuai ide-ide besar bukan dari ruang rapat, melainkan dari toko mainan, supermarket, taman kanak-kanak, termasuk tempat sampah.
Dari keteladanan empat sosok di atas juga menegaskan bahwa terobosan tidak harus berujung dengan pemborosan.
No comments:
Post a Comment