Video klip di atas ada jalan yang melintasi hutan Jati. Kalau lagunya itu "the way" milik Amanda Ventura. The way sendiri memiliki banyak makna. Kayak misalnya ada ungkapan,
"A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way."
Pemimpin yang paling efektif adalah mereka yang mampu menyesuaikan gaya mereka dengan melihat situasi seperti seberapa banyak tugas, kemampuan masing-masing anggota dan faktor-faktor lain yang mampu menyelesaikan pekerjaan. atau ungkapan seperti,
"Struggle that you do today is the single way to build a better future."
(Perjuangan yang kamu lakukan hari ini merupakan cara untuk membangun kualitas yang lebih baik di hari esok.)
Kalau untuk bahasan kali SettiaBlog menghubungkan the way dengan cara (jalan) mencari ridho Allah SWT. Diantara sekian banyak ibadah yang Allah perintahkan baik dalam Al-Quran maupun al sunnah adalah syariat tentang Ibadah umrah. Ibadah umrah, bukan jalan-jalan biasa tetapi ibadah suci, ibadah luar biasa yang mesti disiapakan sebagaimana mestinya. Kesiapan dalam ibadah umrah bukan saja terletak pada aspek material (fisik dan materi), melainkan juga kesiapan mental spiritual. Kesiapan tersebut sebagaiman tercermin dalam tiga kesucian, antara lain : suci hati dengan meluruskan niat (hanya karena Allah SWT), suci jiwa dengan taubat, dan suci harta dengan zakat infaq dan shadaqah. Umrah juga mengunjungi kota suci Mekah dan Madinah. Madinah. Dan yang paling penting, umrah adalah memenuhi panggilan Allah yang Maha Suci. Kota suci yang menjadi pusat prosesi ibadah umrah adalah Mekah. Di dalamnya terdapat Ka’bah, yang secara jelas dan tegas dinyatakan dalam Al Qur’an sebagai kota yang diberkahi,
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Mekah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS. Ali ‘Imran : ayat: 96).
Maka mengunjungi atau ziarah ke kota yang diberkahi adalah sebuah pengalaman ruhani luar biasa yang dapat menguatkan iman dan meningkatkan kedekatan kepada Allah. Kata suci dalam semua ibadah menjadi salah satu kunci yang harus diperhatikan oleh setiap jamaah, terutama ibadah umrah yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
Pertama, Faktor Niat. Keberhasilan dan kemabruran ibadah umrah, sangat ditentukan oleh faktor niat. Hendaknya benar-benar meniatkan perjalanan umrah untuk ibadah kepada Allah. Niatkan dengan ikhlas hanya karena Allah semata, memenuhi panggilan Allah, perjalanandengan totalitas ibadah, bertamu ke baitullah, berziarah ke makam Nabi, mengikuti sunnah Nabi Saw. Dengan niat yang lurus, akan berdampak positif kepada kesungguhan dalam menjalani semua prosesi ibadah sejak berangkat ke tanah suci hingga kembali ke tanah air sendiri. Allah berfirman: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah” (QS. Al Baqarah : 196).
Kedua, Faktor Ilmu (Manasik). kemabruran ibadah umrah, juga ditentukan oleh faktor ilmu. Hendaknya berbekal ilmu yang memadai tentang fiqih umrah, sehingga mengetahui mana yang Rukun, Wajib dan Sunnah untuk dilaksanakan selama di tanah suci. Mana yang benar-benar menjadi tuntunan sunnah Nabi Muhammad SAW dalam umrah, dan mana yang bukan sunnah Nabi Muhammad SAW. Tanpa berbekal ilmu, semua ibadah akan sia-sia dihadapan Allah SWT. Sebagai contoh : di Ka’bah kita menyaksikan banyak orang menempel ke dinding Ka’bah, memegang dan mengusap-usap kain penutup Ka’bah, sampai berebut dan berlama-lama melakukan hal tersebut. Demikian pula banyak orang yang berjubel di sekitar maqam Ibrahim, memegang dan mengusap-usap maqam Ibrahim. Padahal tidak ada tuntunan dari sunnah Nabi Saw untuk melakukan hal-hal seperti itu. Di sinilah pentingnya ilmu manasik umrah sebagai bentuk pembekalan yang memadai, baik sebelum berangkat, selama di tanah suci, maupun saat akan kembali ke tanah air. Pada saat pembekalan inilah, diharapkan jama’ah memahami dengan detail apa yang akan dilaksanakan selama menjalankan ibadah umrah di tanah suci nanti. Hal ini akan menghindari kebingungan, juga menghindari kesalahan serta penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Ketiga Faktor Pembimbing. Ibadah umrah bagi umat Islam Indonesia bukan saja suci tapi juga sangat istimewa, bukan saja karena harus mengeluarkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit, juga karena lokasi ibadah yang di Mekah. Dengan lokasi umrah di Mekah, artinya ada kendala bahasa dan kendala teknis lainnya, yang cukup menyulitkan bagi jama’ah umrah —khususnya mereka yang sudah berusia lanjut. Maka faktor pembimbing umrah menjadi sangat penting untuk menunjang kelancaran ibadah umrah. Fungsi pembimbing bukan hanya menuntun prosesi ibadah umrah, namun juga untuk melakukan komunikasi yang diperlukan jama’ah dengan berbagai pihak selama berada di tanah suci. Ketulusan dan kesungguhan pembimbing menjadi hal yang sangat mutlak diperlukan untuk menunaikan ibadah sesuai tuntunan sunnah. Pembimbing adalah motivator, yang terus menerus memotivasi jama’ah agar tertib dan semangat melakukan ibadah selama di Mekah maupun Madinah. Jika melaksanakan umrah dengan bersungguh-sungguh karena Allah, memperbanyak ibadah selama di tanah suci, menghindari hal-hal yang merusak nilai ibadah, maka saat kembali pulang ke tanah air akan mendapatkan kesucian diri. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa, sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas dan perak” (HR. An Nasa’i nomer 2631, At Tirmidzi nomer 810, Imam Ahmad nomer 1 / 387. Syaikh Albani menyatakan hadits hasan sahih).
Bagaimana cara berinteraksi dengan Allah SWT saat Dia ridho terhadap ibadah Haji atau Umrah Kita? Sebelumnya mencari jawabannya kita perlu tahu, bagaimana kita bisa mengetahui apakah Allah SWT ridho kepada kita atau tidak? Sebagian manusia mengukur tanda keridhoan dengan pemberian duniawi. Sehingga bila seseorang telah diberi kekayaan atau jabatan tertentu ia mengatakan bahwa Allah SWT telah ridho kepadanya. Atau saat orang selamat dari suatu bahaya dengan cara yang unik, ia berkata bahwa Allah SWT masih mencintainya. Nah, apa kaitan urusan duniawi dengan ridho Allah SWT ? Kalaulah dunia adalah ukuran keridhoan Allah SWT , niscaya Rasulullah SAW tidak akan pernah tidur di atas tikar, menambal sendiri bajunya yang robek, tidak pula akan melewati tiga bulan dengan hanya mengonsumsi kurma dan air.
Jika demikian, apa tanda keridhoan Allah SWT terhadap ibadah Haji atau Umrah? Jika Allah SWT memudahkan kita untuk melakukan ibadah, meninggalkan maksiat, menambah iman dan kedekatan kita kepadaNya, maka ini adalah pertanda tambahnya ridho Allah SWT kepada kita. Ya, sangat sederhana, bila kita berada dalam ketaatan, maka Allah SWT berarti ridho kepada kita. Namun dengan syarat bahwa ketaatan itu dilakukan dengan penuh harap akan balasan Allah SWT , baik sangka kepada Allah, dan tidak disertai bangga diri. Karena ada sebagian orang yang kalau diberi kemudahan untuk melakukan ketaatan, maka dia merasa bangga diri, seakan dia telah menerima surat khusus yang memberitahukan bahwa dia salah satu ahli surga, lalu menganggap dirinya orang istimewa yang berbeda dari yang lain karena keutamaan dan kesalehannya. Barangkali dia tidak mengatakan ini dengan lisannya, namun hatinya merasakan itu.
Allah SWT berfirman: “Hai manusia, apakah yang telah memperdaya kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infithar: 6)
Yang semestinya dilakukan ialah menyandarkan nikmat ketaatan itu hanya kepada Allah SWT . Dialah satu-satunya yang berperan dalam memudahkan ketaatan yang membuatNya ridho. Ya, ridho Allah SWT adalah karunia dari Allah SWT juga, bukan karena upaya kita. Allah SWT yang memberi ridho itu, karena sifat pemurahNya, bukan karena kita berhak mendapatkannya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, ‘Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kepadamu keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 17)
Mungkin banyak orang yang heran dengan pembahasan sikap kepada Allah SWT saat Dia ridho. Anggapannya kalau Allah SWT telah ridho, maka kita tidak perlu lagi sesuatu yang lain. Namun ternyata kita tetap perlu sikap, yang tentunya lebih spesifik lagi kepada Allah SWT pada saat ini. Karena menggapai ridho Allah SWT berbeda dengan senantiasa dalam keridhoanNya. Ya, karena sekedar mencapai ridho Allah SWT itu mudah. Allah SWT cepat sekali ridho karena Dia Mahamulia dan Maha dermawan. Namun yang sulit adalah bagaimana kita bisa tetap dalam keridhoanNya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan melakukan apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Ada sebuah permisalan, seseorang belum pernah bertemu dengan menteri sama sekali, namun tiba-tiba dia diangkat menjadi direktur di kantor kementerian. Pada saat itu tentu orang ini akan berusaha keras mencari tahu apa saja yang disenangi oleh pak menteri dan apa pula yang dibencinya, kapan waktu yang tepat untuk menemuinya dan kapan pula waktu yang tidak tepat. Perkara-perkara ini dia cari tahu saat ini karena dia mendapat jabatan baru yang tentu saja dia tidak ingin jabatan itu hilang begitu saja. Ini terhadap sesama manusia, lebih-lebih kepada Allah SWT , tentu kita harus lebih berambisi agar Allah tetap ridho kepada kita dan kita tidak kehilangan kemuliaan ridhoNya. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Yang harus kita lakukan agar Allah SWT ridlo terhadap ibadah Haji atau Umroh Kita:
1. Kita harus ridho kepada Allah SWT sebagaimana Allah SWT ridho kepada kita.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepadaNya.” (QS. Al-Maidah: 119)
Ridho bahwa Allah adalah sesembahan kita, tiada sekutu bagiNya, ridho untuk taat kepadaNya, ridho dengan berita-berita yang dikabarkanNya, dengan agamanya, dengan kitab dan RasulNya. Lakukan ini dan pastikan akan terjadi hal yang luar biasa. Rasulullah saw bersabda:
مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Barang siapa ridho dengan Allah sebagai tuhanNya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya, maka ia berhak mendapat surga.” (HR. Muslim)
Katakan kepada Allah SWT bahwa kita ridho dengan apa yang Allah SWT perintahkan dan yang Dia larang. Apa yang membuat Allah ridho kita ridho, dan apa yang membuat Allah SWT murka kita pun benci. Kita ridho dengan apa yang telah Allah SWT bagi untuk kita, ridho dengan tubuh yang Allah SWT berikan, dengan keluarga yang Allah SWT karuniakan, dengan negeri yang kita tinggali, dan dengan tingkat ekonomi yang telah Allah SWT jatahkan. Intinya kita ridho kepada Allah SWT. Ridho ini adalah amalan, bukan amalan anggota badan, tetapi amalan hati. Dan amalan hati itu lebih utama dan lebih penting daripada amalan tubuh, meski keduanya sama-sama diminta oleh Allah SWT . Jika hati kita sudah bisa melakukan ini, maka kita akan bisa merasakan kebahagiaan dengan Allah SWT . Ibnul Qayyim r.h. berkata, “Buah dari sikap ridho adalah bahagia dan senang dengan Allah.”
Ridho adalah salah satu jalan menuju Allah SWT , namun memiliki keistimewaan bahwa jalan ini jalan yang paling pintas. Kalau ibadah yang lain perlu kekuatan besar, ibadah ridho hanya membutuhkan upaya kecil namun menghasilkan kebaikan yang banyak. Ibnul Qayyim r.h. berkata, “Jika Allah SWT memberi seorang hamba rezeki yang sedikit, namun ia ridho dengan itu, maka Allah Subhanahu wata’ala pun akan ridho meski dengan sedikit amalnya.”
2. Sabar dalam keridhoan Allah.
Yaitu dengan menjaga kesabaran saat menjalani ketaatan, sabar untuk tidak melakukan larangan, sabar dalam takdir Allah SWT yang secara lahir menyusahkan kita. Manusia pada dasarnya bisa sabar dalam banyak hal terkait pekerjaan sesama manusia, maka sabar terkait Allah SWT tentu lebih utama. Nabi Musa a.s. bersegera dalam melaksanakan ketaatan kemudian berkata:
“Aku bersegera kepadaMu wahai tuhanku agar Engkau ridho.” (QS. Thaha: 84)
Padahal Musa a.s. termasuk rasul yang utama, meski demikian beliau bersegera kepada Allah SWT dengan ketaatan. Kalaupun Allah SWT telah ridho kepada kita, bagaimana kita tetap bersegera untuk mendatangiNya. Melakukan perintah dengan cepat, misalnya dengan mendatangi orang tua kita demi memastikan apakah mereka berdua ridho kepada kita atau tidak, karena ridho Allah SWT sangat tergantung ridho keduanya. Atau setelah menikmati makanan segera ucapkan hamdalah karena Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِنَّ اللهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Allah ridho kepada seorang hamba saat ia makan satu makanan lalu ia memujiNya, atau meminum satu minuman lalu memujiNya.” (HR. Muslim)
Demikianlah, kita perlu menjaga keridhoan Allah SWT yang telah diraih, karena ridhoNya tidak diberikan kepada sembarang orang. Misalkan ada malaikat yang memberi kita sebidang tanah di surga Firdaus, apakah kita akan meninggalkannya? Tentu tidak mungkin bukan? Bahkan sangat wajar kalau dia harus mempertaruhkan jiwa dan raganya. Dan ridho Allah SWT itu lebih dari surga Firdaus. Ini Allah SWT sendiri yang memberitahukannya. Allah SWT berfirman:
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.”(QS. At-Taubah: 72)
Keridhoan Allah SWT ini harus kita pegang erat-erat, jangan sampai setan merebutnya dari kita, karena kalau setan tahu bahwa Allah telah ridho kepada kita, maka ia akan sangat marah dan sangat dengki, karena ia telah berjanji akan memalingkan manusia dari Allah SWT dan jalanNya.
"A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way."
Pemimpin yang paling efektif adalah mereka yang mampu menyesuaikan gaya mereka dengan melihat situasi seperti seberapa banyak tugas, kemampuan masing-masing anggota dan faktor-faktor lain yang mampu menyelesaikan pekerjaan. atau ungkapan seperti,
"Struggle that you do today is the single way to build a better future."
(Perjuangan yang kamu lakukan hari ini merupakan cara untuk membangun kualitas yang lebih baik di hari esok.)
Kalau untuk bahasan kali SettiaBlog menghubungkan the way dengan cara (jalan) mencari ridho Allah SWT. Diantara sekian banyak ibadah yang Allah perintahkan baik dalam Al-Quran maupun al sunnah adalah syariat tentang Ibadah umrah. Ibadah umrah, bukan jalan-jalan biasa tetapi ibadah suci, ibadah luar biasa yang mesti disiapakan sebagaimana mestinya. Kesiapan dalam ibadah umrah bukan saja terletak pada aspek material (fisik dan materi), melainkan juga kesiapan mental spiritual. Kesiapan tersebut sebagaiman tercermin dalam tiga kesucian, antara lain : suci hati dengan meluruskan niat (hanya karena Allah SWT), suci jiwa dengan taubat, dan suci harta dengan zakat infaq dan shadaqah. Umrah juga mengunjungi kota suci Mekah dan Madinah. Madinah. Dan yang paling penting, umrah adalah memenuhi panggilan Allah yang Maha Suci. Kota suci yang menjadi pusat prosesi ibadah umrah adalah Mekah. Di dalamnya terdapat Ka’bah, yang secara jelas dan tegas dinyatakan dalam Al Qur’an sebagai kota yang diberkahi,
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Mekah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS. Ali ‘Imran : ayat: 96).
Maka mengunjungi atau ziarah ke kota yang diberkahi adalah sebuah pengalaman ruhani luar biasa yang dapat menguatkan iman dan meningkatkan kedekatan kepada Allah. Kata suci dalam semua ibadah menjadi salah satu kunci yang harus diperhatikan oleh setiap jamaah, terutama ibadah umrah yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
Pertama, Faktor Niat. Keberhasilan dan kemabruran ibadah umrah, sangat ditentukan oleh faktor niat. Hendaknya benar-benar meniatkan perjalanan umrah untuk ibadah kepada Allah. Niatkan dengan ikhlas hanya karena Allah semata, memenuhi panggilan Allah, perjalanandengan totalitas ibadah, bertamu ke baitullah, berziarah ke makam Nabi, mengikuti sunnah Nabi Saw. Dengan niat yang lurus, akan berdampak positif kepada kesungguhan dalam menjalani semua prosesi ibadah sejak berangkat ke tanah suci hingga kembali ke tanah air sendiri. Allah berfirman: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah” (QS. Al Baqarah : 196).
Kedua, Faktor Ilmu (Manasik). kemabruran ibadah umrah, juga ditentukan oleh faktor ilmu. Hendaknya berbekal ilmu yang memadai tentang fiqih umrah, sehingga mengetahui mana yang Rukun, Wajib dan Sunnah untuk dilaksanakan selama di tanah suci. Mana yang benar-benar menjadi tuntunan sunnah Nabi Muhammad SAW dalam umrah, dan mana yang bukan sunnah Nabi Muhammad SAW. Tanpa berbekal ilmu, semua ibadah akan sia-sia dihadapan Allah SWT. Sebagai contoh : di Ka’bah kita menyaksikan banyak orang menempel ke dinding Ka’bah, memegang dan mengusap-usap kain penutup Ka’bah, sampai berebut dan berlama-lama melakukan hal tersebut. Demikian pula banyak orang yang berjubel di sekitar maqam Ibrahim, memegang dan mengusap-usap maqam Ibrahim. Padahal tidak ada tuntunan dari sunnah Nabi Saw untuk melakukan hal-hal seperti itu. Di sinilah pentingnya ilmu manasik umrah sebagai bentuk pembekalan yang memadai, baik sebelum berangkat, selama di tanah suci, maupun saat akan kembali ke tanah air. Pada saat pembekalan inilah, diharapkan jama’ah memahami dengan detail apa yang akan dilaksanakan selama menjalankan ibadah umrah di tanah suci nanti. Hal ini akan menghindari kebingungan, juga menghindari kesalahan serta penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Ketiga Faktor Pembimbing. Ibadah umrah bagi umat Islam Indonesia bukan saja suci tapi juga sangat istimewa, bukan saja karena harus mengeluarkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit, juga karena lokasi ibadah yang di Mekah. Dengan lokasi umrah di Mekah, artinya ada kendala bahasa dan kendala teknis lainnya, yang cukup menyulitkan bagi jama’ah umrah —khususnya mereka yang sudah berusia lanjut. Maka faktor pembimbing umrah menjadi sangat penting untuk menunjang kelancaran ibadah umrah. Fungsi pembimbing bukan hanya menuntun prosesi ibadah umrah, namun juga untuk melakukan komunikasi yang diperlukan jama’ah dengan berbagai pihak selama berada di tanah suci. Ketulusan dan kesungguhan pembimbing menjadi hal yang sangat mutlak diperlukan untuk menunaikan ibadah sesuai tuntunan sunnah. Pembimbing adalah motivator, yang terus menerus memotivasi jama’ah agar tertib dan semangat melakukan ibadah selama di Mekah maupun Madinah. Jika melaksanakan umrah dengan bersungguh-sungguh karena Allah, memperbanyak ibadah selama di tanah suci, menghindari hal-hal yang merusak nilai ibadah, maka saat kembali pulang ke tanah air akan mendapatkan kesucian diri. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa, sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas dan perak” (HR. An Nasa’i nomer 2631, At Tirmidzi nomer 810, Imam Ahmad nomer 1 / 387. Syaikh Albani menyatakan hadits hasan sahih).
Bagaimana cara berinteraksi dengan Allah SWT saat Dia ridho terhadap ibadah Haji atau Umrah Kita? Sebelumnya mencari jawabannya kita perlu tahu, bagaimana kita bisa mengetahui apakah Allah SWT ridho kepada kita atau tidak? Sebagian manusia mengukur tanda keridhoan dengan pemberian duniawi. Sehingga bila seseorang telah diberi kekayaan atau jabatan tertentu ia mengatakan bahwa Allah SWT telah ridho kepadanya. Atau saat orang selamat dari suatu bahaya dengan cara yang unik, ia berkata bahwa Allah SWT masih mencintainya. Nah, apa kaitan urusan duniawi dengan ridho Allah SWT ? Kalaulah dunia adalah ukuran keridhoan Allah SWT , niscaya Rasulullah SAW tidak akan pernah tidur di atas tikar, menambal sendiri bajunya yang robek, tidak pula akan melewati tiga bulan dengan hanya mengonsumsi kurma dan air.
Jika demikian, apa tanda keridhoan Allah SWT terhadap ibadah Haji atau Umrah? Jika Allah SWT memudahkan kita untuk melakukan ibadah, meninggalkan maksiat, menambah iman dan kedekatan kita kepadaNya, maka ini adalah pertanda tambahnya ridho Allah SWT kepada kita. Ya, sangat sederhana, bila kita berada dalam ketaatan, maka Allah SWT berarti ridho kepada kita. Namun dengan syarat bahwa ketaatan itu dilakukan dengan penuh harap akan balasan Allah SWT , baik sangka kepada Allah, dan tidak disertai bangga diri. Karena ada sebagian orang yang kalau diberi kemudahan untuk melakukan ketaatan, maka dia merasa bangga diri, seakan dia telah menerima surat khusus yang memberitahukan bahwa dia salah satu ahli surga, lalu menganggap dirinya orang istimewa yang berbeda dari yang lain karena keutamaan dan kesalehannya. Barangkali dia tidak mengatakan ini dengan lisannya, namun hatinya merasakan itu.
Allah SWT berfirman: “Hai manusia, apakah yang telah memperdaya kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infithar: 6)
Yang semestinya dilakukan ialah menyandarkan nikmat ketaatan itu hanya kepada Allah SWT . Dialah satu-satunya yang berperan dalam memudahkan ketaatan yang membuatNya ridho. Ya, ridho Allah SWT adalah karunia dari Allah SWT juga, bukan karena upaya kita. Allah SWT yang memberi ridho itu, karena sifat pemurahNya, bukan karena kita berhak mendapatkannya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, ‘Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kepadamu keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 17)
Mungkin banyak orang yang heran dengan pembahasan sikap kepada Allah SWT saat Dia ridho. Anggapannya kalau Allah SWT telah ridho, maka kita tidak perlu lagi sesuatu yang lain. Namun ternyata kita tetap perlu sikap, yang tentunya lebih spesifik lagi kepada Allah SWT pada saat ini. Karena menggapai ridho Allah SWT berbeda dengan senantiasa dalam keridhoanNya. Ya, karena sekedar mencapai ridho Allah SWT itu mudah. Allah SWT cepat sekali ridho karena Dia Mahamulia dan Maha dermawan. Namun yang sulit adalah bagaimana kita bisa tetap dalam keridhoanNya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan melakukan apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Ada sebuah permisalan, seseorang belum pernah bertemu dengan menteri sama sekali, namun tiba-tiba dia diangkat menjadi direktur di kantor kementerian. Pada saat itu tentu orang ini akan berusaha keras mencari tahu apa saja yang disenangi oleh pak menteri dan apa pula yang dibencinya, kapan waktu yang tepat untuk menemuinya dan kapan pula waktu yang tidak tepat. Perkara-perkara ini dia cari tahu saat ini karena dia mendapat jabatan baru yang tentu saja dia tidak ingin jabatan itu hilang begitu saja. Ini terhadap sesama manusia, lebih-lebih kepada Allah SWT , tentu kita harus lebih berambisi agar Allah tetap ridho kepada kita dan kita tidak kehilangan kemuliaan ridhoNya. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Yang harus kita lakukan agar Allah SWT ridlo terhadap ibadah Haji atau Umroh Kita:
1. Kita harus ridho kepada Allah SWT sebagaimana Allah SWT ridho kepada kita.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepadaNya.” (QS. Al-Maidah: 119)
Ridho bahwa Allah adalah sesembahan kita, tiada sekutu bagiNya, ridho untuk taat kepadaNya, ridho dengan berita-berita yang dikabarkanNya, dengan agamanya, dengan kitab dan RasulNya. Lakukan ini dan pastikan akan terjadi hal yang luar biasa. Rasulullah saw bersabda:
مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Barang siapa ridho dengan Allah sebagai tuhanNya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya, maka ia berhak mendapat surga.” (HR. Muslim)
Katakan kepada Allah SWT bahwa kita ridho dengan apa yang Allah SWT perintahkan dan yang Dia larang. Apa yang membuat Allah ridho kita ridho, dan apa yang membuat Allah SWT murka kita pun benci. Kita ridho dengan apa yang telah Allah SWT bagi untuk kita, ridho dengan tubuh yang Allah SWT berikan, dengan keluarga yang Allah SWT karuniakan, dengan negeri yang kita tinggali, dan dengan tingkat ekonomi yang telah Allah SWT jatahkan. Intinya kita ridho kepada Allah SWT. Ridho ini adalah amalan, bukan amalan anggota badan, tetapi amalan hati. Dan amalan hati itu lebih utama dan lebih penting daripada amalan tubuh, meski keduanya sama-sama diminta oleh Allah SWT . Jika hati kita sudah bisa melakukan ini, maka kita akan bisa merasakan kebahagiaan dengan Allah SWT . Ibnul Qayyim r.h. berkata, “Buah dari sikap ridho adalah bahagia dan senang dengan Allah.”
Ridho adalah salah satu jalan menuju Allah SWT , namun memiliki keistimewaan bahwa jalan ini jalan yang paling pintas. Kalau ibadah yang lain perlu kekuatan besar, ibadah ridho hanya membutuhkan upaya kecil namun menghasilkan kebaikan yang banyak. Ibnul Qayyim r.h. berkata, “Jika Allah SWT memberi seorang hamba rezeki yang sedikit, namun ia ridho dengan itu, maka Allah Subhanahu wata’ala pun akan ridho meski dengan sedikit amalnya.”
2. Sabar dalam keridhoan Allah.
Yaitu dengan menjaga kesabaran saat menjalani ketaatan, sabar untuk tidak melakukan larangan, sabar dalam takdir Allah SWT yang secara lahir menyusahkan kita. Manusia pada dasarnya bisa sabar dalam banyak hal terkait pekerjaan sesama manusia, maka sabar terkait Allah SWT tentu lebih utama. Nabi Musa a.s. bersegera dalam melaksanakan ketaatan kemudian berkata:
“Aku bersegera kepadaMu wahai tuhanku agar Engkau ridho.” (QS. Thaha: 84)
Padahal Musa a.s. termasuk rasul yang utama, meski demikian beliau bersegera kepada Allah SWT dengan ketaatan. Kalaupun Allah SWT telah ridho kepada kita, bagaimana kita tetap bersegera untuk mendatangiNya. Melakukan perintah dengan cepat, misalnya dengan mendatangi orang tua kita demi memastikan apakah mereka berdua ridho kepada kita atau tidak, karena ridho Allah SWT sangat tergantung ridho keduanya. Atau setelah menikmati makanan segera ucapkan hamdalah karena Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِنَّ اللهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Allah ridho kepada seorang hamba saat ia makan satu makanan lalu ia memujiNya, atau meminum satu minuman lalu memujiNya.” (HR. Muslim)
Demikianlah, kita perlu menjaga keridhoan Allah SWT yang telah diraih, karena ridhoNya tidak diberikan kepada sembarang orang. Misalkan ada malaikat yang memberi kita sebidang tanah di surga Firdaus, apakah kita akan meninggalkannya? Tentu tidak mungkin bukan? Bahkan sangat wajar kalau dia harus mempertaruhkan jiwa dan raganya. Dan ridho Allah SWT itu lebih dari surga Firdaus. Ini Allah SWT sendiri yang memberitahukannya. Allah SWT berfirman:
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.”(QS. At-Taubah: 72)
Keridhoan Allah SWT ini harus kita pegang erat-erat, jangan sampai setan merebutnya dari kita, karena kalau setan tahu bahwa Allah telah ridho kepada kita, maka ia akan sangat marah dan sangat dengki, karena ia telah berjanji akan memalingkan manusia dari Allah SWT dan jalanNya.
No comments:
Post a Comment