Lihat klip di atas, itu hamparan pohon padi menghijau yang SettiaBlog ambil tadi siang. Dalam falsafah Jawa ada pitutur ngelmu pari tansaya isi tansaya tumungkul, semakin merunduk, semakin berisi, begitulah nasehat yang kita bisa dapatkan dari sebuah Padi. Seorang yang pandai dan unggul yang rendah hati tidak akan menunjukkan kepintarannya di hadapan orang lain, justru sikapnya tenang dan tindakannya selaras dengan apa yang diucapkannya. Lagunya SettiaBlog ambil "lir ilir". Lagu ini diciptakan oleh Eyang Sunan Kalijaga dalam rangka menyebarkan agama Islam di tanah Jawa pada awal abad ke-16. Maaf! Untuk pemilik klip lagu ini yang asli, SettiaBlog mengganti klipnya, tidak bermaksud merusak. SettiaBlog suka dengan gaya vokalnya, ada sesuatu dalam vokal anak tersebut saat SettiaBlog dengarkan dan ini link aslinya, https://youtu.be/rRnaIYL5Fn0
Dalam lagu Lir-Ilir tersebut, sebenarnya memiliki makna bahwa kita sebagai umat manusia harus bangun dari keterpurukan. Kita harus bangun dari sifat malas yang ada dalam diri kita ini. Diri manusia itu dilambangkan sebagai tanaman yang sedang bersemi dan berwarna hijau. Maka, terserah diri kita untuk tetap tidur (bermalas-malasan) sehingga “tanaman” dalam diri kita akan mati; atau akan bangun (berjuang) supaya “tanaman” dalam diri kita dapat tumbuh besar.
Apabila “tanaman” dalam diri kita tumbuh besar maka tentu saja kita akan mendapatkan kebahagiaan layaknya pengantin baru yang tengah berbahagia. Sementara itu, dalam lirik “Cah angon” memiliki makna bahwa diri kita ini sebenarnya mampu membawa orang lain dan dirinya sendiri dalam jalan yang benar. Dalam lirik tersebut, si anak gembala diminta untuk memanjat pohon belimbing bukan? Nah, pohon belimbing itu kan memiliki ciri khas berbentuk seperti bintang dengan lima ujung. “Lima” tersebut digambarkan sebagai Rukun Islam yang berjumlah lima.
Lalu, meskipun dalam memanjat pohon belimbing itu licin dan susah, tetapi sebagai umat Muslim, kita harus tetap berusaha dalam rangka meraih Rukun Islam tersebut. Selanjutnya, pakaian yang terkoyak dalam lirik “Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir” itu bermakna umat manusia harus selalu memperbaiki iman dalam dirinya supaya kelak dapat siap ketika dipanggil oleh-Nya. Lirik “Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane” itu menggambarkan dalam rangka memperbaiki iman dalam diri kita harus dilakukan selagi bulan masih menyinari bumi dan selagi waktu yang kita miliki di dunia masih banyak.
Terima kasih Eyang Sunan Kalijaga, yang telah banyak berkorban demi meningkatkan kualitas masyarakat Jawa. Mbak Yu Pembayun, masyarakat sekarang sudah banyak yang sadar tentang keindahan kultur Jawa dan Yogyakarta itu sebagai tolak ukur budaya Jawa lho Mbak Yu. Dan Mbak Yu Pembayun yang paling mengerti konsep Jawa. Dalam konsep Jawa pemimpin adalah seorang yang pandai dan unggul yang rendah hati tidak akan menunjukkan kepintarannya di hadapan orang lain, justru sikapnya tenang dan tindakannya selaras dengan apa yang diucapkannya. Rela berkorban demi kemakmuran masyarakat yang di pimpinnya.
Konsep Jawa juga sangat menghargai waktu seperti yang di singgung Eyang Sunan Kalijaga. Al-ashr adalah sesuatu yang paling berharga yang dikaruniakan Allah SWT pada manusia. Sebab dengan al-ashr manusia dapat beribadah kepada Allah ta’ala, dengan adanya al-ashr Allah SWT diibadahi. Jika manusia memanfaatkan secara maksimal umurnya, waktunya dan hari-hari yang dia lalui untuk menegakkan dan meninggikan kalimat tauhid, maka dia telah memperoleh mutiara yang paling berharga dan mulia; al-ashr. Dan jangan salah paham dan hati - hati dalam mengelola waktu. Semua ada batasnya, namun kita tidak tahu berapa lama kita di beri waktu oleh Allah SWT. Begitu juga seluruh organ manusia ini memiliki batas kemampuan, kitapun harus bijaksana menggunakannya.
Mumpung masih ada kesempatan, gunakan waktu sebaik-baiknya tanpa melupakan kesehatan tubuh, hati dan pikiran.
No comments:
Post a Comment