SettiaBlog awalnya kesusahan untuk menulis. Meskipun pernah dapat bimbingan menulis dari almarhum paman SettiaBlog di surabaya, yang kebetulan dia seorang wartawan. Pernah juga dapat bimbingan dari salah satu majalah nasional. Namun masih kesusahan. Ketika menulis, ada perasaan terbebani dan sering kehilangan ide. Untuk menulis satu cerpen bisa sampai berbulan-bulan baru selesai. Buat puisi juga sama, buat karikatur juga sama. Pernah juga buat blog dalam bahasa Inggris, banyak banget viewernya, namun baru dapat sekitar 20 postingan sudah macet kehilangan ide. SettiaBlog merasa tidak berbakat menulis.
Seperti lagu "don't give up on me" di atas.
I will fight, I will fight for you
I always do until my heart is black and blue
(yang jauh di sana jangan ngambek terus)
SettiaBlog masih terus menulis. Berawal dari belajar HTML coding dan PHP coding, SettiaBlog mulai otak-atik blog lagi. 2016 yang lalu SettiaBlog membuat postingan pertama blog ini. Berlanjut ke postingan ke 2, ke 3 dan seterusnya sampai sekarang. Anehnya, kenapa ide terus sliweran di depan SettiaBlog dan dengan mudah SettiaBlog mengetik bahasan. Kok bisa gini ya? Kenapa sekarang mudah mendapatkan ide? Setelah SettiaBlog renungkan, ternyata "keikhlasan" kuncinya. Dulunya SettiaBlog menulis karena ingin mencari uang, entah alasan apa, ide seakan susah untuk muncul. Lha...sekarang, SettiaBlog menulis karena suka dan ingin berbagi, ide pun dengan mudahnya bermunculan.
Ketika ide muncul SettiaBlog langsung tulis, sekarang banyak kemudahan, menulis pake android saja bisa, lalu kita simpan, ada kesempatan lagi kita buka lagi, lalu dikembangkan. Sejatinya penulis professional, menulis hanya hitungan jam langsung menghasilkan satu halaman, dua halaman, satu bab, bahkan bisa satu buku. Menakjubkan!. (tanya Dytto, mungkin dia lebih paham soal ini)
Keikhlasan mendasari kreatifitas tulisan kita mempengaruhi mengalirnya ide-ide cemerlang, maka ketika menulis, selain focus juga ikhlas, dan senang sehingga tulisan itu penuh dengan makna sesungguhnya dan menarik untuk dibaca. Ketika tulisan kita dibaca banyak orang, perasaan senang langsung menghantui kreatifitas kita untuk terus menulis, dan menulis lagi, apa lagi tulisan kita dilombakan lalu terpilih, ada rasa kepuasan tersendiri.
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya”(Al-Insiqaq:6)
Jangan menulis tentang nikmatnya cita rasa kopi, jika Anda bahkan tak suka meminumnya. Jangan menulis tentang bahagianya diguyur hujan, jika Anda bahkan benci dibasahi olehnya. Bahkan Anda tak perlu menulis tentang politik dan kebijakan pemerintah, jika Anda lebih suka nonton film daripada nonton berita dan membaca koran.
Dari yang SettiaBlog perhatikan, beberapa orang yang menulis di blog memiliki mindset bahwa, “I have to give a good reading in front of public.” Sehingga yang berusaha mereka tuliskan adalah hal-hal bagus yang diinginkan khalayak. Bukan berasal dari keinginan pribadi untuk menanggapi sesuatu yang menggelitik diri. Malah ujung-ujungnya, tulisan yang mereka buat bukan menghasilkan tulisan yang bagus, tapi tulisan yang dibagus-baguskan. Seasli-aslinya orang menulis adalah orang yang menuangkan segala pemikiran yang ada di kepalanya ke dalam media tulisan. Itu berarti, menulis betul-betul berasal dari sepengetahuan kepala kita saja. Seperti kita tidak dapat mengupas dengan baik kulit buah kelapa jika kita tak betul paham cara melakukannya. Sama ketika kita tidak dapat mengupas tuntas suatu pembahasan jika kita tak betul paham menguraikannya. Lalu kenapa masih ada pikiran untuk menuliskan sesuatu di luar permasalahan pengetahuan kita?
Tulisan seseorang bisa ditentukan dari berapa umur yang ia punya, problem apa yang ia hadapi, dan sesuatu apa yang ingin ia capai. Semua menggambarkan proses kedewasaan sang penulis. Ketika SettiaBlog masih di umur anak sekolah, SettiaBlog tidak pernah menuliskan permasalahan tentang pusingnya ngejar-ngejar dosen. Pun saat ini SettiaBlog belum pernah menuliskan kegelisahan tentang pusingnya mengambil hati calon mertua. Kenapa? Karena masalah itu tidak sesuai dengan sepengetahuan SettiaBlog, tidak sesuai dengan problem apa yang SettiaBlog hadapi, dan tidak sesuai dengan sesuatu apa yang ingin SettiaBlog capai.
Kalau dari pandangan SettiaBlog; proses menulis adalah proses mengamati suatu masalah, observasi suatu kondisi, dan atau memainkan sebuah imajinasi. Kemudian pemikiran-pemikiran itu ditarik keluar dari kepala, dikumpulkan di satu wadah yang sama, diberi kaca pembesar, dan akhirnya dituliskan berdasarkan perspective kita sendiri. Lalu ketika tulisan itu disampaikan ke khalayak, kadang-kadang di antara pembaca, baru akan mengetahui bahwa ternyata banyak hal yang mereka lewati, selama ini mereka acuh untuk mengerti, dan akhirnya mereka sadar untuk melihat masalah lebih dalam lagi. Hingga mereka akan mendapatkan momen, “o.. iya", “ohh, begitu toh ternyata", “nah, bener kan yang aku rasain.”
Kalau kata J.K Rowling sang Novelis ternama dari Inggris, “Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri.”
Karena begini, ketika kita menulis tentang sesuatu yang tidak betul-betul berasal dari hati. Maka orang-orang yang akan membacanya, juga takkan merasakan hati dari tulisan itu. Sebab menulis dengan ikhlas itu sangat perlu. SettiaBlog lebih suka menyebut proses ini dengan, “Menulis adalah berbagi rasa lewat abjad dan menyentuh hati lewat kata.” Ibarat dunia musik. Ketika kita menyanyikan sebuah lagu dengan datar-datar saja, tanpa penghayatan dan tanpa perasaan. Ya...sudah, orang-orang yang mendengarnya juga tidak dapat tersentuh hatinya. Yah bagaimana orang mau menghayati dengan perasaan, kita yang menyanyikannya juga tidak pakai perasaan. Maka menulis dengan hati yang ikhlas itu sangat penting. Kenapa? Karena jika semua anggota tubuh kita berbohong, hanya satu yang akan tetap jujur. Iya, benar; HATI. Bukankah hati sebaiknya disuarakan untuk kita mengerti apa yang kita gelisahkan? Mmmm..., kalau Anda sudah berhubungan dengan hati, Anda takkan bisa memaksanya menuliskan sesuatu di luar dari keresahannya. Lagian, dampak paling besar dari proses kita menulis akan berimbas kepada siapa? Bukan orang lain, tapi kita sendiri.
“Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.”
Dengan menulis, kita jadi punya mesin waktu pribadi dan punya buku comedy sendiri. Tidak percaya?
No comments:
Post a Comment