Kali ini SettiaBlog ada sedikit cerita, cerita ini mengingatkan SettiaBlog pada seorang teman, bukannya ingin mengajak bersedih, tapi untuk mengingatkan kita semua akan pentingnya menjaga kesehatan dan pentingnya menghargai hidup.
Musim ini sakura bermekaran dengan indah…
Seorang gadis terlihat sedang duduk di kursi taman bunga central park. Parasnya yang lembut menambah kecantikan sang gadis. Gadis itu duduk tepat di hadapan pohon sakura yang sedang bermekaran. Tapi, walaupun gadis itu disuguhi pemandangan bunga sakura yang indah, raut wajahnya terlihat sedih ketika memandang kelopak sakura yang mulai berjatuhan itu. Ekspresinya menggambarkan kesedihan, kepedihan, dan rasa putus asa akan sesuatu yang mungkin tak akan ada satu orang pun yang mengerti.
Nama gadis itu adalah Ageha. Sebulan yang lalu, dokter memvonis bahwa Ageha positif terkena kanker hati akut dan sudah masuk stadium akhir. Dan dia hanya menunggu sisa-sisa hidupnya sebelum ajal menjemput. Ageha putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya. Tapi, berapa kali pun ia melakukan percobaan bunuh diri. Usaha yang ia lakukan selalu gagal oleh beberapa hal yang selalu menghalanginya.
Suatu hari dokter menyarankan untuk menjalani operasi, tapi kemungkinan untuk berhasil sangatlah sedikit dan taruhannya adalah nyawa Ageha sendiri. Ageha sangat sedih dan merasa ia takkan bisa sembuh juga tidak akan bisa bersekolah seperti dahulu. Dia marah kepada Tuhan, Kenapa Engkau memberikanku cobaan yang sangat berat? Aku tak ingin meninggalkan ibuku sendirian. Kenapa engkau begitu tega memberikanku penyakit yang sangat mengerikan ini, Tuhan. Jika engkau mencabut nyawaku, lalu ibuku bagaimana? Aku tak mau melihat ibuku terus menangis karena kepergianku. Batinnya. Sekarang Ageha duduk di kursi taman central park, sembari merenungkan nasibnya kelak dan berusaha untuk menentukan pilihan, dioperasi atau tidak.
Dari kejauhan, terlihat seorang pemuda berdiri memperhatikan seorang gadis sedang duduk dengan raut wajah sedih melalui kelopak sakura yang berjatuhan. Ia memandang gadis itu dengan penuh tanya. Sedang apa gadis itu? Batinnya. Ia mendekati gadis tersebut, semakin mendekat raut wajah pria itu berubah menjadi terpesona. Ia tidak terpesona dengan paras gadis tersebut, melainkan pandangan sedih akan gadis tersebut. Ia merasa ditarik oleh mata sayu itu. Mata yang berwarna hitam kehijauan tajam tersebut. Perlahan ia berjalan mendekati gadis itu, ketika ia mulai berada di dekatnya…
Tess… tess… Ia terkejut melihat air mata yang mengalir dari pipi gadis itu. Ia terpana akan tangisan yang ditahan gadis itu walaupun air matanya tak tertahankan lagi. Ia pikir, gadis ini mengalami hal pahit yang membuatnya sedih. Saat itu dia seakan ingin rasa pahit gadis itu cepat sirna dan dia ingin melihat seulas senyuman terlukis di bibirnya.
“Kamu tak apa-apa?” Ageha menoleh, ia mendapati sosok pemuda rupawan yang menyodorkan sapu tangan kepadanya sambil tersenyum lembut. Ageha meraih sapu tangan itu dengan senyum kecil di bibirnya.
“Aku… tidak apa-apa,” jawabnya, sembari menyeka air matanya.
“Sedang apa kamu sendirian di sini? Dan… kenapa kamu menangis?”
Ageha diam. Pemuda itu menyadari kata-katanya yang sangat tidak sopan untuk seseorang yang baru saja bertemu. Ia pun mulai mencari kalimat yang dapat menghibur Ageha.
“Maaf, jika aku asal tanya. Oh iya, namaku Ryuga. Salam kenal.” Sahut pemuda itu dengan senyuman lebar di bibirnya.
“Aku Ageha. Salam kenal juga.”
“Wah… nama yang indah. Hm… kupu-kupu ya… indah sekali. Menurutku… kupu-kupu itu adalah hewan yang cantik,”
Kening Ageha mengerut. Apa dia baru saja menggodaku?. Batinnya.
“Oh, maaf. Jika aku berkata yang tidak-tidak. Tapi kenapa kamu menangis sendirian di sini. Apa tidak bahaya, di sini banyak orang mabuk, lho.”
“Tidak. Aku hanya ingin berfikir jernih saja. Lagi pula rumahku ada di dekat sini.”
“Benarkah? Rumahku juga ada di dekat sini. Aku baru pindah, makanya rumahku agak berantakan. Jadi aku malas di rumah. BE-RAN-TAK-AN sekali.”
Ageha merasa geli dengan perilaku pemuda yang ada di hadapannya ini. Tapi ia pikir, pemuda ini bukanlah orang jahat. Senyuman tersinggung dari bibir Ageha.
“Kenapa tersenyum. Emang ada yang lucu dari aku?”
“Tidak. Tidak ada, kok. Aku hanya heran, dari semua orang yang melewati taman ini dari tadi. Tidak ada satu pun yang berani menyapaku. Tapi… aku salut dengan keberanian kamu untuk menyapaku.”
“Yah… tidak usah sungkan-sungkan. Aku orangnya memang seperti ini. Tidak bisa melihat seorang gadis menangis begitu saja.”
Ageha tersenyum.
“Makasih karena kamu sudah menghiburku. Aku mau pulang dulu, sampai nanti,”
“Eh, kapan-kapan ketemuan lagi ya.”
Ageha meninggalkan Ryuga dengan senyumannya. Ryuga menatap sosok Ageha yang perlahan hilang ditelan kegelapan malam dihiasi bulan yang indah.
Keesokan harinya, Ageha pergi ke sekolah untuk menimba ilmu. Tapi, karena panyakit yang diidapnya. Dia tak ingin pergi sekolah. Tapi ibunya memaksanya untuk tetap bersekolah dan mencari hal yang dapat menenangkan hati dan pikirannya. Karena tak ingin menyakiti hati ibu untuk kedua kalinya. Akhirnya Ageha pergi ke sekolah dengan perasaan tak enak mengganjal di hatinya. Sesampainya di sekolah, Ageha langsung disambut oleh kerabat baiknya dengan raut wajah simpati atas apa yang menimpanya. Dan hal itu membuat Ageha kesal, sangat kesal. Ia tak ingin teman-temannya menganggap bahwa ia sebentar lagi akan meninggalkan mereka.
“Ageha, aku turut prihatin dengan keadaan kamu.”
“Iya, aku juga. Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat di mana kita bisa menikmati masa-masa terakhir kami denganmu.”
“Iya. Kami tidak ingin kamu pergi, Ageha”
“Sudah cukup!!!!! Aku tak ingin medengarkan omongan kalian tentang aku akan pergi atau tidak. Kalian seperti mengharapkan aku lekas mati! Seharusnya kalian memberikanku semangat untuk hidup! Bukan sebaliknya!” Bentaknya.
Semua murid yang ada di kelas menatap Ageha dengan pandangan yang menusuk. Tanpa peduli, ia berjalan melewati teman-temannya, dan duduk di kursinya. Setelah inisiden itu, guru yang mengajar fisika pun masuk ke dalam kelas. Ketua kelas langsung memberikan aba-aba kepada semua murid untuk memberi hormat.
“Berdiri,”
“Beri hormat,”
“Selamat pagi, pak.” Ucap semua murid yang ada di dalam kelas.
“Selamat pagi. Ya, anak-anak. Hari ini kalian mendapatkan teman baru.”
Seluruh murid mulai bergemuruh.
“Tenang… tenang! Dia adalah murid pindahan dari Tokyo, jadi kalian semua harus membantunya beradaptasi di lingkungan sekolah.”
“Baik pak…”
“Ya, bagus. Kalo begitu silahkan masuk, Suzuki.”
Pemuda berbadan tegap dan berbahu bidang yang tampan masuk ke dalam kelas. Dia adalah murid baru yang diperkenalkan guru tadi. Ketika pemuda itu masuk, semua gadis yang ada di dalam kelas tercengang. Melihat betapa gagahnya murid baru itu. Dan mulai bergemuruh.
“Tenang semuanya! Jangan ribut! Ya, silahkan suzuki. Perkenalkan dirimu.”
“Baik. Perkenalkan nama saya Suzuki Ryuga. Kalian bisa panggil saya Ryuga, mohon bantuannya.”
Ageha yang sedang memasukan buku pelajarannya ke dalam laci. Merasa mendengar nama yang tak asing di telinganya. Ia kemudian menoleh ke anak baru yang berdiri di depan kelas itu. Dan ia langsung tahu bahwa murid baru itu adalah pemuda yang ia temui malam tadi. Tapi reaksi Ryuga ketika melihat Ageha sangatlah dingin. Dia hanya melihat Ageha dengan pandangan dingin dan kembali berkonsentrasi dengan seisi kelas.
“Terima kasih. Kamu bisa duduk sekarang.”
Ryuga berjalan melalui bangku-bangku murid lain dengan tatapan berbinar dari para gadis. Ia menemukan bangku kosong di belakang Ageha, dan ia berjalan menuju bangku kosong itu. Saat mereka berpapasan, Ageha hanya tertunduk diam dan mebiarkan pemuda itu melewatinya serta duduk di belakangnya. Ternyata semua cowok sama saja. Batinnya. Guru fisika yang sering dipanggil Nakao sensei itu mengabsen semua murid yang ada di dalam kelas.
“Abbechi?”
“Hadir.”
“Ageha? Apa Ageha hadir?”
“Saya hadir, sensei.” Jawab Ageha. Guru tersebut memandang Ageha yang tertunduk diam. Sewaktu dokter memvonis bahwa ia kena kanker hati. Ageha tidak pernah masuk sekolah. Dan walaupun masuk sekolah, ia tidak ada di dalam kelas. Melainkan di atas atap.
“Ageha, nanti bisa ikut saya ke kantor guru?”
“Iya, sensei.”
Ageha beranjak dari tempat duduknya, diikuti pak Nakao. Tapi sebelum keluar, pak Nakao berpesan kepada muridnya.
“Anak-anak, kalian saya tinggal sebentar. Kalian self–study saja. Kalau begitu bapak permisi.”
“Baik, sensei.”
Ketika pak Nakao dan Ageha meninggalkan ruangan kelas, seluruh murid yang ada di kelas langsung ribut dan siswi perempuan mulai mengerubungi Ryuga. Bertanya-tanya apa dia punya pacar, rumahnya di mana, alamat E-mailnya apa, serta tipe gadis yang ia sukai. Ryuga menanggapinya dengan santai, ia menjawab semua pertanyaan yang di berikan oleh semua siswi perempuan yang nge-fans dengannya. Sementara siswa pria mulai mendekati Ryuga dan mengajaknya bergaul dan dia langsung berbaur dengan mereka. Sebuah kalimat muncul di pikirannya. Ternyata gadis yang kutemui malam tadi bersekolah di sini. Aku tak menyangka itu. Tapi melihat dari ekspresi wajahnya, sepertinya ia terkejut dengan perlakuanku yang sangat berbeda dari malam itu. Dasar gadis bodoh, gadis memang mudah dikelabui. Batinnya.
Sementara itu di kantor guru. Ageha terduduk diam dengan wajah tertunduk. Di depan Nakao sensei terdapat tumpukan absensi dirinya yang sudah terlalu banyak. Pak Nakao menghela nafas, ia sangat tidak mengerti dengan muridnya ini.
“Ageha, bapak tahu dengan keadaan yang sedang yang kau alami saat ini. Tapi hal tersebut jangan membuatmu berhenti bersekolah.”
Ageha hanya diam, tidak mendengar kalimat yang dikatakan pak Nakao.
“Hhh… jika kamu terus seperti ini. Bapak tidak jamin kamu akan lulus. Kamu terlalu banyak absen. Apa kamu ingin membuat ibumu kecewa?”
Ageha menggelengkan kepalanya. Dan berkata.
“Sensei. Menurut sensei apakah saya akan sembuh?”
Nakao terkejut mendengar perkataan muridnya yang tiba-tiba. Ia tahu Ageha terkena kanker hati stadium akhir yang sukar untuk di sembuhkan. Tapi jika Ageha bertanya seperti itu membuatnya kehabisan kalimat dan terdiam.
“Apakah saya bisa mengikuti ujian negara? Dengan keadaan yang saya yang seperti ini. Dan tidak adanya orang yang memberikan saya semangat untuk hidup. Apakah saya akan bertahan menghadapi semuanya…”
“Teman baik yang dulu saya punyai selalu mengatakan hal yang sangat saya benci. Mereka merasa saya akan segera meninggalkan dunia ini. Terlebih lagi, saya tentu tidak ingin mengecewakan ibu saya dan juga tidak ingin meninggalkannya. Saat ini saya tidak memiliki tujuan hidup dan tidak mendapatkan semangat hidup dari orang lain…”
“Mendapatkan semangat hidup dari orang lain… orang lain…”
Ageha meneteskan air matanya.
“Mendapatkan semangat hidup dari orang lain yang peduli dengan saya. Dan saat ini tidak ada satu pun orang yang peduli dengan saya. Dan saya takut, saya takut jika ajal tersebut mendatangi saya dengan cepat. Saya takut…”
Ageha mengeluarkan isi hatinya sambil meneteskan air mata. Pak Nakao melihat muridnya dengan pandangan iba, ia tidak menyangka Ageha yang selalu berekspresi kuat dan tak takut dengan penyakitnya. Ternyata sangat rapuh dan rentan. Nakao menatap mantap muridnya.
“Maka… maka berusahalah untuk selalu hidup!”
Ageha mengangkat wajahnya, terkejut akan kalimat yang dikatakan pak Nakao.
“Berusahalah hidup untuk ibumu. Berusahalah hidup untukku. Berusahalah hidup untuk orang yang menyayangimu. Berusahalah hidup untuk dirimu sendiri. Berusahalah hidup untuk masa depanmu…”
Pak Nakao mendekati Ageha dan bediri di sampingnya serta memegang tangan Ageha.
“Berusahalah hidup untuk satu hal yang dapat membuatmu kuat. Kuatlah, karena putus asa bukanlah jalan keluar untuk sembuh dari penyakitmu. Buanglah rasa takut yang ada di dalam dirimu. Bapak akan selalu mendukungmu untuk hidup, dan begitu pula ibumu. Dia tentu tidak ingin melihat anaknya menjadi seperti ini. Maka untuk itu, berusahalah hidup untuk semua orang yang peduli dan sayang padamu.”
Ageha terdiam sejenak mendengar semangat yang diberikan oleh pak Nakao. Tangis Ageha lepas dalam pelukan pak Nakao yang hangat. Air mata kesedihan yang selama ini ia tahan terlepaskan. Yang ada hanyalah air mata kebahagiaan yang telah diberikan oleh pak Nakao untuk dirinya.
“Sebenarnya semua nilai yang kau peroleh ketika kau aktif. Semuanya nilai yang baik. Dengan nilai ini, mungkin kamu akan dengan mudah diterima di SMA bergengsi.”
Pak Nakao membolak-balik data Ageha yang ia pegang.
“Asalkan kau aktif belajar dan selalu masuk sekolah. Bapak yakin kamu akan lulus walaupun absensi kamu yang banyak akan merepotkan bapak. Karena harus berdebat dengan guru yang lain.”
“Iya, pak. Saya akan berusaha. Terima kasih atas bantuan bapak selama ini.”
“Oh, tidak apa-apa. Kamu sudah bapak anggap seperti anak bapak sendiri. Jadi jangan sungkan.”
Ageha tersenyum.
“Kalau begitu. Saya permisi dulu, pak.”
“Ageha…”
Langkah Ageha terhenti dan tidak jadi menutup pintu ruang pak Nakao.
“Kamu harus selalu mengingat kata-kata bapak tadi.”
“Baik, pak. Saya akan selalu mengingatnya.”
Ageha meninggalkan ruangan pak Nakao. Ageha berjalan menelusuri koridor sekolah yang sangat panjang. Sebersit perasaan bersalah muncul. Dari dulu cuma pak Nakao yang selalu mensuportnya, sedangkan teman baiknya hanya ingin bersenang-senang bersamanya. Ketika ia sedang tertimpa masalah, temannya menghilang tak tau kemana. Saat itu Ageha memutuskan untuk melawan penyakit yang di deritanya. Ia tidak peduli kapan ajal itu akan mencabut nyawanya. Dia sadar, betapa salahnya ia menyalahkan tuhan yang menciptakannya tanpa ada kekurangan apa pun. Dan saat itu juga ia berfikir, bahwa penyakit yang diberikan Tuhan untuknya adalah sebuah berkah. Berkah untuk hidup dan melawan segala rintangan dengan tegar dan tanpa putus asa.
No comments:
Post a Comment