Video klip di atas "When You Say Nothing at All" milik Alison Krauss. Enak di dengerin kalau lagi nyantai sambil mengetik kayak gini. Lagunya c tentang kepekaan pasangan, namanya juga pasangan tentu memiliki kepekaan walau tiap hari bertengkar. Tapi SettiaBlog ndak membahas hal - hal kayak gitu kok. Backgroundnya sendiri SettiaBlog gunakan kumbu hitam, itu lho yang biasanya di pakai isian bakpia. Kumbu hitam itu terbuat dari Kacang tolo atau biasanya di bilang Kacang tunggak. Kacang tolo ini memiliki kandungan kalsium yang sangat tinggi, bagus untuk menurunkan berat badan. Warna hitam sendiri dalam budaya Jawa memiliki makna tersendiri. Hitam di simbolkan dengan warna bumi yang selalu rendah hati dan ndak pernah sombong. Menjadi manusia yang selalu memberikan manfaat. Dan puser atau tali pusat diidentifikasikan dengan warna hitam. Warna hitam melambangkan misteri, kedalaman, dan keterkaitan. Tali pusat adalah penghubung langsung antara bayi dan ibu, simbol dari ikatan mendalam antara manusia dengan asal-usul dan sumber kehidupan mereka.
Seperti yang udah kita pahami, Allah SWT menciptakan kehidupan ini berpasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada laki-laki dan ada perempuan, ada langit dan bumi, ada nikmat dan juga ada musibah. Keadaan berpasangan tersebut merupakan simbol kesatuan yang menunjukkan adanya kebaikan diantara keduanya. Kita ndak bisa mengatakan bahwa keadaan yang satu baik dan keadaan yang lain ndak baik. Semua keadaan yang berpasangan itu mengandung dan memiliki kebaikan di dalamnya, karena semuanya diciptakan oleh Yang Maha Baik, yaitu Allah Rabbal Alamiin.
Demikian juga dengan pasangan nikmat dan musibah, keduanya bersumber dari Allah SWT. Oleh karena di dalam nikmat dan musibah harus kita yakini mengandung kebaikan. Menghindari keduanya adalah ndak mungkin, karena semua sudah ketentuan Allah SWT. Maka sikap yang tepat adalah menerimanya, dengan lapang dada, dengan penuh tawakkal. Caranya adalah menggunakan standar Allah SWT bukan standar kita sebagai hamba. Sebagai hamba, kita tentu selalu berharap nikmat dan dijauhkan dari musibah, karena menurut pikiran kita, nikmat adalah sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang mengandung kebaikan. Dan sebaliknya, kita selalu merasa bahwa musibah adalah sesuatu yang memilukan dan mengandung keburukan bagi kehidupan kita.
Oleh karena itu kita perlu merenungi firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 216 :
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui"
Secara tegas Allah SWT mengingatkan kepada hambaNya, bahwa ndak semua yang kita senangi itu baik bagi kita, dan juga ndak semua yang kita benci itu buruk bagi kita. Ini adalah pertanda agar kita jangan menggunakan standar akal dan perasaan kita dalam menyikapi keadaan yang terjadi. Di akhir ayat Allah SWT menegaskan bahwa Allahlah yang Maha Tahu, dan pengetahuan manusia sangat terbatas. Maka, dari ayat ini, kita perlu menanamkan dua sikap, yaitu husnudzon dan tawakkal kepada takdir Allah SWT.
Sikap husnudzon kepada takdir Allah SWT dimaknai dengan selalu berprasangka baik terhadap semua kejadian yang menimpa diri kita. Tugas kita sebagai makhluk adalah menjalankan takdir Allah SWT dengan lapang dada. Kita ndak perlu memikirkan sesuatu yang sudah dipastikan oleh Pencipta kita. Kewajiban kita adalah menjadi makhluk yang baik, yang taat kepada Allah SWT (‘abdullah) dan berbuat baik kepada makhlukNya.
Nikmat dan musibah adalah sesuatu yang pasti, hanya kita ndak tahu kapan datangnya. Keyakinan akan kepastian itu harus melahirkan keyakinan bahwa pasti ada kebaikan di dalamnya. Jika dalam nikmat ada kebaikan, maka dalam musbahpun pasti ada kebaikan. Kalau pada saat ini kita belum mampu menemukan kebaikan tersebut, maka itu karena terbatasnya pengetahuan kita. Maka sikap husnudzhon kepada takdir Allah SWT adalah sikap yang cerdas menghadapi segala situasi. Hidup kita ndak ditentukan oleh nikmat atau musibah, tetapi ditentukan oleh kadar keyakinan kita terhadap adanya kebaikan di dalamnya. Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad SAW.
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً (رواه البخاري، رقم 7405 ومسلم ، رقم2675
”Sesungguhnya Allah berfirman, “Aku menurut prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya saat ia mengingat-Ku. Jika ia mengingatku dalam kesendirian, Aku akan mengingatnya dalam kesendirian-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam keramaian, Aku akan mengingatnya dalam keramaian yang lebih baik daripada keramaiannya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya se depa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”(HR Bukhari dan Muslim).
Jika kita bisa menganggap nikmat sebagai sebuah kebaikan, maka kita juga harus bisa menganggap musibah sebagai kebaikan. Husnudzhon harus menjadi kacamata kita dalam memandang kehidupan. Dengan begitu hidup kita akan istiqamah dalam keimanan, karena menganggap semua yang kita alami sebagai rahmat Allah SWT, tanpa kita mempedulikan apakah itu berbentuk nikmat atau musibah. Sikap husnudzon juga akan membentuk karakter kemanusiaan kita, karena ndak mudah menyalahkan orang lain atau keadaan sebagai penyebab kondisi yang kita alami.
Sikap kedua yang perlu kita amalkan adalah sikap tawakkal. Tawakkal adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Sikap tawakkal dapat tumbuh jika kita memiliki sikap husnudzon kepada takdir Allah SWT. Keyakinan adanya kebaikan di setiap nikmat dan musibah, membuat kita menjalani hidup dengan ringan, ndak ada beban, karena semuanya sudah ditakdirkan Allah SWT. Hidup kita hanya focus untuk selalu dalam ketaatan dan kebaikan, tanpa mempedulikan sikap atau respon orang lain terhadap kita. Di dalam Surat At Talaq ayat 3 Allah SWT berfirman:
ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.
Ukuran kebaikan dan keburukan seorang hamba itu hanya Allah SWT yang tahu, karena Allah adalah Sang Pencipta. Hal ini membuktikan keterbatasan seorang manusia dalam menilai dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Seringkali manusia mengukur baiknya sesuatu berdasarkan apa yang menyenangkan hatinya. Demikian juga sebaliknya, manusia menganggap buruknya sesuatu karena ndak menyenangkan hatinya. Maka ketika dia mendapatkan sesuatu nikmat dia menganggapnya kebaikan, dan ketika dia mendapatkan musibah maka dia menganggapnya keburukan. Dari sinilah manusia memberikan penilaian bahwa nikmat itu identik dengan kebaikan dan musibah itu identik dengan keburukan. Padahal kita tahu, bahwa ada kenikmatan yang berpotensi menjadi istidraj, dan juga ada musibah yang berkedudukan sebagai penghapus dosa. Oleh karena itu jangan bangga dengan banyaknya nikmat dan juga jangan sedih dengan banyaknya musibah.
Demikian juga kita ndak boleh menganggap bahwa orang yang terkena musibah sebagai orang yang buruk. Sebagaimana banyak dikisahkan dalam Al Qur'an, bahwa Allah SWT menimpakan ujian berupa musibah kepada para Nabi dan orang-orang salih. Ini adalah bukti bahwa sebuah musibah yang dalam pandangan manusia ndak menyenangkan, padahal itu adalah sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Maka, disinilah konsep tawakkal itu menjadi penting, sebagai pengingat kita saat mendapatkan nikmat maupun musibah. Dengan sikap tawakkal kita ndak akan mudah terlena saat mendapatkan nikmat dan juga ndak berputus asa ketika mendapatkan musibah. Oleh karena itu, kita harus mengubah mindset kita dalam memahami nikmat dan musibah. Keduanya harus diyakini bersumber dari Allah SWT, keduanya harus diimani mengandung kebaikan bagi diri kita, dan keduanya merupakan bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hambaNya.
Lha wong tadi ngomongin kumbu hitam kok malah jadi ngelantur ke mana - mana, maaf in SettiaBlog ya.
Seperti yang udah kita pahami, Allah SWT menciptakan kehidupan ini berpasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada laki-laki dan ada perempuan, ada langit dan bumi, ada nikmat dan juga ada musibah. Keadaan berpasangan tersebut merupakan simbol kesatuan yang menunjukkan adanya kebaikan diantara keduanya. Kita ndak bisa mengatakan bahwa keadaan yang satu baik dan keadaan yang lain ndak baik. Semua keadaan yang berpasangan itu mengandung dan memiliki kebaikan di dalamnya, karena semuanya diciptakan oleh Yang Maha Baik, yaitu Allah Rabbal Alamiin.
Demikian juga dengan pasangan nikmat dan musibah, keduanya bersumber dari Allah SWT. Oleh karena di dalam nikmat dan musibah harus kita yakini mengandung kebaikan. Menghindari keduanya adalah ndak mungkin, karena semua sudah ketentuan Allah SWT. Maka sikap yang tepat adalah menerimanya, dengan lapang dada, dengan penuh tawakkal. Caranya adalah menggunakan standar Allah SWT bukan standar kita sebagai hamba. Sebagai hamba, kita tentu selalu berharap nikmat dan dijauhkan dari musibah, karena menurut pikiran kita, nikmat adalah sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang mengandung kebaikan. Dan sebaliknya, kita selalu merasa bahwa musibah adalah sesuatu yang memilukan dan mengandung keburukan bagi kehidupan kita.
Oleh karena itu kita perlu merenungi firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 216 :
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui"
Secara tegas Allah SWT mengingatkan kepada hambaNya, bahwa ndak semua yang kita senangi itu baik bagi kita, dan juga ndak semua yang kita benci itu buruk bagi kita. Ini adalah pertanda agar kita jangan menggunakan standar akal dan perasaan kita dalam menyikapi keadaan yang terjadi. Di akhir ayat Allah SWT menegaskan bahwa Allahlah yang Maha Tahu, dan pengetahuan manusia sangat terbatas. Maka, dari ayat ini, kita perlu menanamkan dua sikap, yaitu husnudzon dan tawakkal kepada takdir Allah SWT.
Sikap husnudzon kepada takdir Allah SWT dimaknai dengan selalu berprasangka baik terhadap semua kejadian yang menimpa diri kita. Tugas kita sebagai makhluk adalah menjalankan takdir Allah SWT dengan lapang dada. Kita ndak perlu memikirkan sesuatu yang sudah dipastikan oleh Pencipta kita. Kewajiban kita adalah menjadi makhluk yang baik, yang taat kepada Allah SWT (‘abdullah) dan berbuat baik kepada makhlukNya.
Nikmat dan musibah adalah sesuatu yang pasti, hanya kita ndak tahu kapan datangnya. Keyakinan akan kepastian itu harus melahirkan keyakinan bahwa pasti ada kebaikan di dalamnya. Jika dalam nikmat ada kebaikan, maka dalam musbahpun pasti ada kebaikan. Kalau pada saat ini kita belum mampu menemukan kebaikan tersebut, maka itu karena terbatasnya pengetahuan kita. Maka sikap husnudzhon kepada takdir Allah SWT adalah sikap yang cerdas menghadapi segala situasi. Hidup kita ndak ditentukan oleh nikmat atau musibah, tetapi ditentukan oleh kadar keyakinan kita terhadap adanya kebaikan di dalamnya. Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad SAW.
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً (رواه البخاري، رقم 7405 ومسلم ، رقم2675
”Sesungguhnya Allah berfirman, “Aku menurut prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya saat ia mengingat-Ku. Jika ia mengingatku dalam kesendirian, Aku akan mengingatnya dalam kesendirian-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam keramaian, Aku akan mengingatnya dalam keramaian yang lebih baik daripada keramaiannya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya se depa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”(HR Bukhari dan Muslim).
Jika kita bisa menganggap nikmat sebagai sebuah kebaikan, maka kita juga harus bisa menganggap musibah sebagai kebaikan. Husnudzhon harus menjadi kacamata kita dalam memandang kehidupan. Dengan begitu hidup kita akan istiqamah dalam keimanan, karena menganggap semua yang kita alami sebagai rahmat Allah SWT, tanpa kita mempedulikan apakah itu berbentuk nikmat atau musibah. Sikap husnudzon juga akan membentuk karakter kemanusiaan kita, karena ndak mudah menyalahkan orang lain atau keadaan sebagai penyebab kondisi yang kita alami.
Sikap kedua yang perlu kita amalkan adalah sikap tawakkal. Tawakkal adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Sikap tawakkal dapat tumbuh jika kita memiliki sikap husnudzon kepada takdir Allah SWT. Keyakinan adanya kebaikan di setiap nikmat dan musibah, membuat kita menjalani hidup dengan ringan, ndak ada beban, karena semuanya sudah ditakdirkan Allah SWT. Hidup kita hanya focus untuk selalu dalam ketaatan dan kebaikan, tanpa mempedulikan sikap atau respon orang lain terhadap kita. Di dalam Surat At Talaq ayat 3 Allah SWT berfirman:
ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.
Ukuran kebaikan dan keburukan seorang hamba itu hanya Allah SWT yang tahu, karena Allah adalah Sang Pencipta. Hal ini membuktikan keterbatasan seorang manusia dalam menilai dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Seringkali manusia mengukur baiknya sesuatu berdasarkan apa yang menyenangkan hatinya. Demikian juga sebaliknya, manusia menganggap buruknya sesuatu karena ndak menyenangkan hatinya. Maka ketika dia mendapatkan sesuatu nikmat dia menganggapnya kebaikan, dan ketika dia mendapatkan musibah maka dia menganggapnya keburukan. Dari sinilah manusia memberikan penilaian bahwa nikmat itu identik dengan kebaikan dan musibah itu identik dengan keburukan. Padahal kita tahu, bahwa ada kenikmatan yang berpotensi menjadi istidraj, dan juga ada musibah yang berkedudukan sebagai penghapus dosa. Oleh karena itu jangan bangga dengan banyaknya nikmat dan juga jangan sedih dengan banyaknya musibah.
Demikian juga kita ndak boleh menganggap bahwa orang yang terkena musibah sebagai orang yang buruk. Sebagaimana banyak dikisahkan dalam Al Qur'an, bahwa Allah SWT menimpakan ujian berupa musibah kepada para Nabi dan orang-orang salih. Ini adalah bukti bahwa sebuah musibah yang dalam pandangan manusia ndak menyenangkan, padahal itu adalah sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Maka, disinilah konsep tawakkal itu menjadi penting, sebagai pengingat kita saat mendapatkan nikmat maupun musibah. Dengan sikap tawakkal kita ndak akan mudah terlena saat mendapatkan nikmat dan juga ndak berputus asa ketika mendapatkan musibah. Oleh karena itu, kita harus mengubah mindset kita dalam memahami nikmat dan musibah. Keduanya harus diyakini bersumber dari Allah SWT, keduanya harus diimani mengandung kebaikan bagi diri kita, dan keduanya merupakan bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hambaNya.
Lha wong tadi ngomongin kumbu hitam kok malah jadi ngelantur ke mana - mana, maaf in SettiaBlog ya.
Untuk video klip kedua SettiaBlog kasih "Just Cause I Love You". Allah SWT menempatkan manusia sebagai insan yang dimuliakan (Q.S. Al-Isra: 70). Ketinggian martabat manusia diawali dari penciptaannya sebagai makhluk terbaik (fī ahsan al-taqwim, Q.S. Al-Tin: 4) dengan kedudukan dan tugas selaku “‘abdullah” untuk mengabdi kepada Allah SWT (Q.S. Az-Zariyat: 56) dan “khalifah fi al-ardl” untuk memakmurkan bumi (Q.S. Al-Baqarah: 30; Hud: 61). Kualitas ini ndak diberikan dan dimiliki makhluk Tuhan lainnya. Manusia sebagai abdullah itu berarti berserah diri atau taslim, taat kepada Allah SWT tanpa syarat. Sementara manusia sebagai khalifah pernah diragukan Malaikat, namun ini menandakan bahwa posisi ini berarti progesif dan dinamis.
Dua sisi yakni abdullah dan khalifatullah dari satu figur manusia ini sebagai kunci dari risalah Allah SWT. Adanya pemahaman ini untuk mempertegas bahwa manusia merupakan makhluk ukhrawi sekaligus duniawi. Karenanya, manusia jangan dipandang sebagai makhluk indrawi semata sebagaimana paradigma nalar materialisme, dan jangan pula hanya dipandang sebagai makhluk bayangan sebagaimana paradigma nalar kaum sufisme. Manusia dengan seluruh dimensinya mesti diletakkan dalam ruang yang moderat: kehidupan di akhirat sama pentingnya dengan kehidupan di dunia. Bangunan kehidupan yang ingin diciptakan itu pro-kehidupan, pro-dunia, tetapi dunia ndak hanya untuk dunia, melainkan dunia untuk kehidupan yang lebih panjang. Maka hidup manusia selain harus baik, dia harus berguna dan bermanfaat.
Udah ya...., O ya sebentar. SettiaBlog jadi ingat mas Tolo, temen SettiaBlog, namanya Ismu Budi Kuncoro Putro, tapi panggilannya mas Tolo, dan untuk temen - temen semua, semoga selalu di beri kesehatan, adem ayem, tetep langgeng, di lancarkan rezekinya.
Dua sisi yakni abdullah dan khalifatullah dari satu figur manusia ini sebagai kunci dari risalah Allah SWT. Adanya pemahaman ini untuk mempertegas bahwa manusia merupakan makhluk ukhrawi sekaligus duniawi. Karenanya, manusia jangan dipandang sebagai makhluk indrawi semata sebagaimana paradigma nalar materialisme, dan jangan pula hanya dipandang sebagai makhluk bayangan sebagaimana paradigma nalar kaum sufisme. Manusia dengan seluruh dimensinya mesti diletakkan dalam ruang yang moderat: kehidupan di akhirat sama pentingnya dengan kehidupan di dunia. Bangunan kehidupan yang ingin diciptakan itu pro-kehidupan, pro-dunia, tetapi dunia ndak hanya untuk dunia, melainkan dunia untuk kehidupan yang lebih panjang. Maka hidup manusia selain harus baik, dia harus berguna dan bermanfaat.
Udah ya...., O ya sebentar. SettiaBlog jadi ingat mas Tolo, temen SettiaBlog, namanya Ismu Budi Kuncoro Putro, tapi panggilannya mas Tolo, dan untuk temen - temen semua, semoga selalu di beri kesehatan, adem ayem, tetep langgeng, di lancarkan rezekinya.
No comments:
Post a Comment