Video klip di atas ada Stacy Leadbeatter, salah satu kontestan BGT yang membawakan lagu "Angels" milik Robbie Williams. Power vokalnya cukup OP. Di tambah setting panggungnya dengan background matrix yang menyatu dengan sekitarnya, bikin penampilannya terlihat megah dan menawan . Ya emang background kayak gitu di namakan matrix, bukan film The Matrix lho ya. Kalau film The Matrix temanya c tentang hakikat realitas, perenungan tentang kebenaran versus ilusi. The Matrix banyak dibandingkan dengan alegori Plato, di mana manusia terperangkap dalam bayangan (simulasi Matrix) dan ndak menyadari realitas kebenaran yang sebenarnya.
Melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah kehidupan mayarakat, kita dapat memperhatikan bahwa era ini memang merupakan masa pasca kebenaran. Pasca kebenaran adalah sebuah frasa populer yang berarti sulitnya mencari dan menemukan kebenaran sejati dari sebuah kejadian. Kita bahkan sering mendengar istilah “ndak ada yang benar atau salah, tergantung sudut pandang”. Sekilas, ungkapan tersebut terlihat sederhana dan mungkin ada benarnya. Tetapi, apa jadinya jika istilah tersebut kemudian disangkutpautkan dengan persoalan yang menyentuh syariat Islam dan membutuhkan hukum benar atau salah?
“Apakah ada kebenaran yang absolut?”
Kebenaran di mana dengannya kita dapat berpegang teguh dan menjadikannya sebagai rujukan permanen dalam menyikapi segala isu dan problematika kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Jawabannya adalah “Ya! Tentu saja, ada.” Kebenaran absolut itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pemahaman paling dasar sebagai seorang muslim yang beriman. Jelas, dalam rukun iman, sebagai komitmen mukmin kita wajib beriman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (beriman kepada Rasul).
Terhadap persoalan kebenaran absolut ini, sangat jelas. Allah SWT pada awal surah Al-Baqarah menegaskan bahwa ndak ada keraguan yang patut dipersoalkan lagi dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman,
ذَ ٰلِكَ ٱلۡكِتَـٰبُ لَا رَیۡبَۛ فِیهِۛ هُدࣰى لِّلۡمُتَّقِینَ
“Kitab (Al-Qur`ān) tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2)
Lebih lanjut, terhadap kebenaran risalah As-Sunnah yang telah sempurna disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, Allah SWT pun menegaskan bahwa segala apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW adalah wahyu dari Allah yang wajib kita imani dan laksanakan.
وَمَا یَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰۤ ○ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡیࣱ یُوحَىٰ
“Dan yang diucapkannya itu bukanlah menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur`ān itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3 – 4)
Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan,
“Allah bersumpah dengan bintang ketika terbenam. Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyimpang dari jalan hidayah dan kebenaran, tetap istikamah dan berada dalam kebenaran. Ucapannya tidak berasal dari kemauan hawa nafsunya. Al Qur’an dan sunnah itu tiada lain hanyalah wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Al-Muyassar)
Oleh karenanya, pemahaman prinsip yang sangat mendasar ini seharusnya terpatri dengan kokoh pada hati dan jiwa seorang muslim. Sehingga, ndak mudah bagi siapapun menggoyahkan keimanannya yang kokoh.
Kembali pada persoalan penyimpangan pemahaman dan praktik agama, mungkin membingungkan bagi sebagian orang. Tapi, ndak untuk seorang mukmin yang berilmu. Persoalan penyimpangan pemahaman dan praktik agama tersebut adalah masalah pokok yang ndak perlu diperbaharui. Syariat telah dengan jelas dan paripurna menuntun kita untuk urusan ukhrawi, kita hanya tinggal mengikuti saja. Namun, orang-orang jahil tetap saja membuat masalah pokok yang ndak membutuhkan perdebatan itu muncul ke permukaan.
Entah apa maksudnya, apakah memang disengaja untuk mencari jalan memperoleh keuntungan duniawi, atau memang benar-benar ndak mengetahui bagaimana seharusnya memilih jalan yang benar dalam kehidupan beragama. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata,
العلم نقطة كثرها الجاهلون
“Ilmu syariat dahulu hanya satu titik saja (sedikit), namun diperbanyak oleh orang-orang tidak berilmu.” (Lihat Mu’jam A’lamul Jazair karya Adil Nuhaid, hal 98)
Sebagai seorang mukmin, sepatutnya kita tunduk dan patuh pada apa yang telah diajarkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Perintah dikerjakan, larangan ditinggalkan. Pada prinsipnya, sesederhana itu.
Karena kebinasaan umat terdahulu ndak lain disebabkan oleh banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada nabi-nabi mereka yang berkaitan dengan perkara agama ini. Rasulullah SAW bersabda,
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Apa yang aku larang, hendaklah kalian menghindarinya. Dan apa yang aku perintahkan, hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)
Jika ndak punya Ilmu agama, bagaimana kita bisa membedakan salah benarnya?
Emang kebenaran absolut itu ndak ada, kecuali yang bersumber dari Al-qur’an dan As-Sunnah. Namun, akan sangat berpotensi pada penyimpangan dan salah kaprah dalam pemahaman ketika jalan yang kita ambil dan cara kita memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah ndak berpegang teguh pada sebuah metode (manhaj). Adapun manhaj yang telah dikenalkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kita adalah manhaj para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan Tirmidzi dan dia berkata hasan sahih) Nabi Muhammad SAW juga bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
Oleh karenanya, sudah sepatutnya kita memahami bahwa kebenaran absolut itu adalah hanya ada pada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Udah ya, maafin SettiaBlog dan ndak usah di masukkan hati omongan SettiaBlog.
Melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah kehidupan mayarakat, kita dapat memperhatikan bahwa era ini memang merupakan masa pasca kebenaran. Pasca kebenaran adalah sebuah frasa populer yang berarti sulitnya mencari dan menemukan kebenaran sejati dari sebuah kejadian. Kita bahkan sering mendengar istilah “ndak ada yang benar atau salah, tergantung sudut pandang”. Sekilas, ungkapan tersebut terlihat sederhana dan mungkin ada benarnya. Tetapi, apa jadinya jika istilah tersebut kemudian disangkutpautkan dengan persoalan yang menyentuh syariat Islam dan membutuhkan hukum benar atau salah?
“Apakah ada kebenaran yang absolut?”
Kebenaran di mana dengannya kita dapat berpegang teguh dan menjadikannya sebagai rujukan permanen dalam menyikapi segala isu dan problematika kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Jawabannya adalah “Ya! Tentu saja, ada.” Kebenaran absolut itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pemahaman paling dasar sebagai seorang muslim yang beriman. Jelas, dalam rukun iman, sebagai komitmen mukmin kita wajib beriman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (beriman kepada Rasul).
Terhadap persoalan kebenaran absolut ini, sangat jelas. Allah SWT pada awal surah Al-Baqarah menegaskan bahwa ndak ada keraguan yang patut dipersoalkan lagi dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman,
ذَ ٰلِكَ ٱلۡكِتَـٰبُ لَا رَیۡبَۛ فِیهِۛ هُدࣰى لِّلۡمُتَّقِینَ
“Kitab (Al-Qur`ān) tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2)
Lebih lanjut, terhadap kebenaran risalah As-Sunnah yang telah sempurna disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, Allah SWT pun menegaskan bahwa segala apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW adalah wahyu dari Allah yang wajib kita imani dan laksanakan.
وَمَا یَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰۤ ○ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡیࣱ یُوحَىٰ
“Dan yang diucapkannya itu bukanlah menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur`ān itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3 – 4)
Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan,
“Allah bersumpah dengan bintang ketika terbenam. Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyimpang dari jalan hidayah dan kebenaran, tetap istikamah dan berada dalam kebenaran. Ucapannya tidak berasal dari kemauan hawa nafsunya. Al Qur’an dan sunnah itu tiada lain hanyalah wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Al-Muyassar)
Oleh karenanya, pemahaman prinsip yang sangat mendasar ini seharusnya terpatri dengan kokoh pada hati dan jiwa seorang muslim. Sehingga, ndak mudah bagi siapapun menggoyahkan keimanannya yang kokoh.
Kembali pada persoalan penyimpangan pemahaman dan praktik agama, mungkin membingungkan bagi sebagian orang. Tapi, ndak untuk seorang mukmin yang berilmu. Persoalan penyimpangan pemahaman dan praktik agama tersebut adalah masalah pokok yang ndak perlu diperbaharui. Syariat telah dengan jelas dan paripurna menuntun kita untuk urusan ukhrawi, kita hanya tinggal mengikuti saja. Namun, orang-orang jahil tetap saja membuat masalah pokok yang ndak membutuhkan perdebatan itu muncul ke permukaan.
Entah apa maksudnya, apakah memang disengaja untuk mencari jalan memperoleh keuntungan duniawi, atau memang benar-benar ndak mengetahui bagaimana seharusnya memilih jalan yang benar dalam kehidupan beragama. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata,
العلم نقطة كثرها الجاهلون
“Ilmu syariat dahulu hanya satu titik saja (sedikit), namun diperbanyak oleh orang-orang tidak berilmu.” (Lihat Mu’jam A’lamul Jazair karya Adil Nuhaid, hal 98)
Sebagai seorang mukmin, sepatutnya kita tunduk dan patuh pada apa yang telah diajarkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Perintah dikerjakan, larangan ditinggalkan. Pada prinsipnya, sesederhana itu.
Karena kebinasaan umat terdahulu ndak lain disebabkan oleh banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada nabi-nabi mereka yang berkaitan dengan perkara agama ini. Rasulullah SAW bersabda,
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Apa yang aku larang, hendaklah kalian menghindarinya. Dan apa yang aku perintahkan, hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)
Jika ndak punya Ilmu agama, bagaimana kita bisa membedakan salah benarnya?
Emang kebenaran absolut itu ndak ada, kecuali yang bersumber dari Al-qur’an dan As-Sunnah. Namun, akan sangat berpotensi pada penyimpangan dan salah kaprah dalam pemahaman ketika jalan yang kita ambil dan cara kita memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah ndak berpegang teguh pada sebuah metode (manhaj). Adapun manhaj yang telah dikenalkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kita adalah manhaj para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan Tirmidzi dan dia berkata hasan sahih) Nabi Muhammad SAW juga bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
Oleh karenanya, sudah sepatutnya kita memahami bahwa kebenaran absolut itu adalah hanya ada pada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Udah ya, maafin SettiaBlog dan ndak usah di masukkan hati omongan SettiaBlog.
Untuk video klip kedua ada "run to you" milik Lea Michele. Temanya c tentang kecenderungan manusia untuk mencari kebenarannya sendiri. Mencari kebenaran (keshalehan) adalah keharusan untuk ditemukan dan dimiliki setiap manusia. Namun, merasa paling benar (shaleh) adalah sikap yang harus dihindari dan dihilangkan. Sungguh, manusia perlu mencari kebenaran, bersikap benar, menegakkan kebenaran, dan berprilaku benar. Namun, sikap ideal ini terkadang sulit untuk temui, dimiliki dan dilaksanakan.
Sikap merasa paling benar berkorelasi dengan sikap merasa paling baik dan paling pintar. Sifat ini merupakan karakter iblis tatkala berdialog dengan Allah SWT ketika penciptaan Adam sebagai manusia pertama. Hal ini dinukilkan Allah :Allah SWT berfirman : “lngatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’, Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’. (QS.Al• Baqarah 2: Ayat 30).
Kesemua sikap tersebut acapkali muncul bersamaan dalam diri seseorang. Persoalannya ada pada sikap yang “selalu curiga” pada orang berbuat benar dan memandang diri paling benar. Kecurigaan pada orang sesungguhnya mencerminkan diri pelaku apa yang dicurigai. Kecurigaan ini muncul karena beberapa sebab, antara lain :
ഌ. Pertama, pribadi yang mencurigai sebenarnya memiliki prilaku berbuat salah yang serupa dan sering melanggar aturan yang ada. Kecurigaan yang muncul disebabkan pantulan atas prilakunya sendiri. Apalagi bila kecurigaan dipaksa hadir akibat ndak memperoleh “pembagian” yang diharapkan. Padahal, “pembagian” tersebut sungguh menyuburkan kesalahan yang ndak berkesudahan. Bila hal ini terjadi, “pembagian” sungguh merupakan butir – butir api neraka yang akan masuk dalam seluruh batang tubuh diri. Akibatnya, semua prilaku orang lain dinilai pada prilakunya yang ada dan kesibukan yang berupaya mencari kesalahan akan terus dilakukan.
ഌ. Kedua, pemilik prilaku kebenaran (kesalehan) acapkali hadir dalam komunitas minor (sedikit). Mereka berada pada situasi di tengah komunitas mayor (banyak) para pelaku kesalahan. Akibatnya, minoritas pelaku kebenaran dinilai sama dengan prilaku mayoritas pelaku kesalahan. Atau bahkan yang lebih arah tatkala pelaku kebenaran (minoritas) dianggap salah karena ndak sejalan dengan pelaku kesalahan (mayoritas). Hal ini berakibat, posisi minoritas penegak kebenaran ndak mampu muncul dan mewarnai kebenaran di tengah mayoritas pelaku kesalahan. Hal ini seperti kata pepatah “bagai menyiram garam di tengah lautan samudera”. Ndak akan bermanfaat sama sekali. Bila kuat idealism kebenaran dan keimanannya, maka meski terseok-seok akan dipertahankan. Bila ndak, maka pelaku kesalahan akan terus bertambah dengan suburnya.
ഌ. Ketiga, secara pendekatan tasawuf, pelaku kesalahan yang membutakan kebenaran disebabkan “sumber asal” yang masuk dalam tubuhnya. Bila sumber asal adalah halal, maka kebenaran yang akan muncul dalam dirinya. Bila sumber asal yang dikonsumsi berupa yang haram, maka kesalahan dan kejahatan yang akan muncul dalam prilakunya.
ഌ. Keempet; bijak memilih lingkungan, baik interaksi sosial maupun interaksi profesional. Pengaruh interaksi lingkungan ndak bisa dipandang remeh. Tarik menarik pengaruh interaksi lingkungan sangat besar bagi mewarnai sikap atas kebenaran dan kesalahan. Banyak pepatah yang menyebutkan demikian.
ഌ. Kelima, kualitas munajat vertikal (kedekatan hamba dan Sang Khaliq). Bila munajat vertikal terajut dengan benang iman dan kecintaan pada-Nya, maka akan lahir sikap tawadhu’ pada diri. Gerak hati selalu merasa kurang berbuat kebaikan dan merasa begitu kerdilnya diri dihadapan Allah SWT. Namun, bila kualitas interaksi vertikal rendah, maka sikap kesombongan dan pongah akan lebih menonjol mewarnai kehidupannya. Kualitas interaksi vertikal ndak bisa dikelabui hanya dengan tampilan asesories “sosok yang baik”. Sebab, acapkali tampilan “kebaikan semu” menyilaukan dan membutakan orang yang melihat. Apalagi oleh mata-mata yang terbiasa gemerlap dunia dan mata yang ndak pernah menangis oleh kerinduan munajat pada Allah SWT. Kualitas interaksi vertikal hanya bisa dilihat dari kualitas horizontal yang membawa misi kekhalifahan rahmatan Iii ‘alamin.
ഌ. Keenam, sikap merasa paling benar menunjukkan kekerdilan kebenaran yang dimiliki dan upaya menutupi rindangnya kesalahan yang (sudah atau sedang) dilakukan. Kebenaran hanya bisa dilihat oleh orang – orang yang berbuat kebenaran. Kebenaran ndak akan mampu dilihat oleh orang yang sering berbuat kesalahan. Demikian pula sebaliknya.
ഌ. Ketujuh, menilai orang lain salah terkadang muncul karena sumber informasi yang sepenggal, keliru, atau info fitnah yang sengaja digulirkan. Di sisi lain, penilaian kesalahan muncul akibat persoalan pribadi (politik) yang acapkali dibawa ke ranah komunal. Akibatnya, penilaian atas kesalahan lebih dominan didahulukan untuk memenuhi “target” yang diinginkan. Pada saat yang sama, kebenaran akan tertutupi oleh kebencian subyektif yang lebih dikedepankan. Namun sebaliknya, kesalahan bisa pula ditutup menjadi kesalehan karena kepentingan pula. Ada akibat kepentingan “onggokan” material, tekanan politik, atau transaksi menutupi kesalahan yang sama dari kedua pihak. Semakin tinggi rasa diri paling benar, sesungguhnya mencerminkan semakin besar kesalahan dilakukan. Demikian pula sebaliknya. Islam justru mengajarkan agar manusia merasa diri berbuat salah, lalu mohon ampun pada – Nya sembari berupaya berbuat kebaikan. Namun, kebaikan yang dilakukab tak pernah dihitungnya, apalagi minta untuk dihormati orang lain. Diri orang yang baik (pencari kebenaran) selalu sibuk mencari kesalahan dirinya sendiri dan melihat kebaikan orang lain. Berbeda dengan orang yang berbuat kesalahan yang justeru selalu sibuk melihat kebaikan diri sendiri dan mencari celah-celah kesalahan orang lain. Sungguh aneh di tengah-tengah begitu jelasnya murka Allah SWT dalam kehidupan ini, pencari kebenaran selalu dibuli, dicerca dan dicaci. Tapi, para pelaku kesalahan justru selalu dihormati, dilindungi, bahkan diberi jabatan tinggi. Lalu, mari kita bercermin atas sifat dan sikap diri kita atas kebenaran dan kesalahan yang selama ini dilakukan. Apakah kita merupakan pribadi pelaku kesalahan yang minta dinilai benar dan dihormati atau pencari kebenaran yang ndak ingin minta dihormati. Semuanya tergantung kualitas diri masing-masing. Apakah keangkuhan menutup kesalahan diri, atau tawadhu’ diri yang tak sempat melihat kesalahan orang lain. lngatlah apa yang disabdakan Rasulullah bahwa “dunia adalah sawah dan ladang”. Semua akan menuai atas apa yang ditanam. Mungkin ndak kini, tapi pasti esok lusa.
Sikap merasa paling benar berkorelasi dengan sikap merasa paling baik dan paling pintar. Sifat ini merupakan karakter iblis tatkala berdialog dengan Allah SWT ketika penciptaan Adam sebagai manusia pertama. Hal ini dinukilkan Allah :Allah SWT berfirman : “lngatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’, Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’. (QS.Al• Baqarah 2: Ayat 30).
Kesemua sikap tersebut acapkali muncul bersamaan dalam diri seseorang. Persoalannya ada pada sikap yang “selalu curiga” pada orang berbuat benar dan memandang diri paling benar. Kecurigaan pada orang sesungguhnya mencerminkan diri pelaku apa yang dicurigai. Kecurigaan ini muncul karena beberapa sebab, antara lain :
ഌ. Pertama, pribadi yang mencurigai sebenarnya memiliki prilaku berbuat salah yang serupa dan sering melanggar aturan yang ada. Kecurigaan yang muncul disebabkan pantulan atas prilakunya sendiri. Apalagi bila kecurigaan dipaksa hadir akibat ndak memperoleh “pembagian” yang diharapkan. Padahal, “pembagian” tersebut sungguh menyuburkan kesalahan yang ndak berkesudahan. Bila hal ini terjadi, “pembagian” sungguh merupakan butir – butir api neraka yang akan masuk dalam seluruh batang tubuh diri. Akibatnya, semua prilaku orang lain dinilai pada prilakunya yang ada dan kesibukan yang berupaya mencari kesalahan akan terus dilakukan.
ഌ. Kedua, pemilik prilaku kebenaran (kesalehan) acapkali hadir dalam komunitas minor (sedikit). Mereka berada pada situasi di tengah komunitas mayor (banyak) para pelaku kesalahan. Akibatnya, minoritas pelaku kebenaran dinilai sama dengan prilaku mayoritas pelaku kesalahan. Atau bahkan yang lebih arah tatkala pelaku kebenaran (minoritas) dianggap salah karena ndak sejalan dengan pelaku kesalahan (mayoritas). Hal ini berakibat, posisi minoritas penegak kebenaran ndak mampu muncul dan mewarnai kebenaran di tengah mayoritas pelaku kesalahan. Hal ini seperti kata pepatah “bagai menyiram garam di tengah lautan samudera”. Ndak akan bermanfaat sama sekali. Bila kuat idealism kebenaran dan keimanannya, maka meski terseok-seok akan dipertahankan. Bila ndak, maka pelaku kesalahan akan terus bertambah dengan suburnya.
ഌ. Ketiga, secara pendekatan tasawuf, pelaku kesalahan yang membutakan kebenaran disebabkan “sumber asal” yang masuk dalam tubuhnya. Bila sumber asal adalah halal, maka kebenaran yang akan muncul dalam dirinya. Bila sumber asal yang dikonsumsi berupa yang haram, maka kesalahan dan kejahatan yang akan muncul dalam prilakunya.
ഌ. Keempet; bijak memilih lingkungan, baik interaksi sosial maupun interaksi profesional. Pengaruh interaksi lingkungan ndak bisa dipandang remeh. Tarik menarik pengaruh interaksi lingkungan sangat besar bagi mewarnai sikap atas kebenaran dan kesalahan. Banyak pepatah yang menyebutkan demikian.
ഌ. Kelima, kualitas munajat vertikal (kedekatan hamba dan Sang Khaliq). Bila munajat vertikal terajut dengan benang iman dan kecintaan pada-Nya, maka akan lahir sikap tawadhu’ pada diri. Gerak hati selalu merasa kurang berbuat kebaikan dan merasa begitu kerdilnya diri dihadapan Allah SWT. Namun, bila kualitas interaksi vertikal rendah, maka sikap kesombongan dan pongah akan lebih menonjol mewarnai kehidupannya. Kualitas interaksi vertikal ndak bisa dikelabui hanya dengan tampilan asesories “sosok yang baik”. Sebab, acapkali tampilan “kebaikan semu” menyilaukan dan membutakan orang yang melihat. Apalagi oleh mata-mata yang terbiasa gemerlap dunia dan mata yang ndak pernah menangis oleh kerinduan munajat pada Allah SWT. Kualitas interaksi vertikal hanya bisa dilihat dari kualitas horizontal yang membawa misi kekhalifahan rahmatan Iii ‘alamin.
ഌ. Keenam, sikap merasa paling benar menunjukkan kekerdilan kebenaran yang dimiliki dan upaya menutupi rindangnya kesalahan yang (sudah atau sedang) dilakukan. Kebenaran hanya bisa dilihat oleh orang – orang yang berbuat kebenaran. Kebenaran ndak akan mampu dilihat oleh orang yang sering berbuat kesalahan. Demikian pula sebaliknya.
ഌ. Ketujuh, menilai orang lain salah terkadang muncul karena sumber informasi yang sepenggal, keliru, atau info fitnah yang sengaja digulirkan. Di sisi lain, penilaian kesalahan muncul akibat persoalan pribadi (politik) yang acapkali dibawa ke ranah komunal. Akibatnya, penilaian atas kesalahan lebih dominan didahulukan untuk memenuhi “target” yang diinginkan. Pada saat yang sama, kebenaran akan tertutupi oleh kebencian subyektif yang lebih dikedepankan. Namun sebaliknya, kesalahan bisa pula ditutup menjadi kesalehan karena kepentingan pula. Ada akibat kepentingan “onggokan” material, tekanan politik, atau transaksi menutupi kesalahan yang sama dari kedua pihak. Semakin tinggi rasa diri paling benar, sesungguhnya mencerminkan semakin besar kesalahan dilakukan. Demikian pula sebaliknya. Islam justru mengajarkan agar manusia merasa diri berbuat salah, lalu mohon ampun pada – Nya sembari berupaya berbuat kebaikan. Namun, kebaikan yang dilakukab tak pernah dihitungnya, apalagi minta untuk dihormati orang lain. Diri orang yang baik (pencari kebenaran) selalu sibuk mencari kesalahan dirinya sendiri dan melihat kebaikan orang lain. Berbeda dengan orang yang berbuat kesalahan yang justeru selalu sibuk melihat kebaikan diri sendiri dan mencari celah-celah kesalahan orang lain. Sungguh aneh di tengah-tengah begitu jelasnya murka Allah SWT dalam kehidupan ini, pencari kebenaran selalu dibuli, dicerca dan dicaci. Tapi, para pelaku kesalahan justru selalu dihormati, dilindungi, bahkan diberi jabatan tinggi. Lalu, mari kita bercermin atas sifat dan sikap diri kita atas kebenaran dan kesalahan yang selama ini dilakukan. Apakah kita merupakan pribadi pelaku kesalahan yang minta dinilai benar dan dihormati atau pencari kebenaran yang ndak ingin minta dihormati. Semuanya tergantung kualitas diri masing-masing. Apakah keangkuhan menutup kesalahan diri, atau tawadhu’ diri yang tak sempat melihat kesalahan orang lain. lngatlah apa yang disabdakan Rasulullah bahwa “dunia adalah sawah dan ladang”. Semua akan menuai atas apa yang ditanam. Mungkin ndak kini, tapi pasti esok lusa.
No comments:
Post a Comment