Video klip di atas ada "big big world"
milik Emilia. Liriknya c menggambarkan perasaan seseorang yang merasa kecil dan lemah di dunia yang begitu besar dan harus menghadapi tantangan emosionalnya sendiri. Seperti yang kita tahu kan ya,
emosi adalah bagian dari kehidupan kita. Kalau ada yang bertanya, "Apa yang bisa menghancurkan mimpi kita, hidup kita, dan hubungan kita?" Mungkin sebagian orang akan ada yang menyebut pihak luar sebagai biang kerok, yang telah menghancurkan ketiga aspek tersebut. Meskipun pihak luar mungkin berkontribusi terhadap kehancuran hidup kita, namun mereka hanya punya andil sedikit saja. Dan sering kali akar dari masalah-masalah itu sendiri justru luput dari kesadaran dan ndak terefleksikan oleh kita. Apa saja itu?
ᰒ. Takut
Kita dilahirkan dengan ndak memiliki keberanian, juga ndak memiliki rasa takut. Kemungkinan besar atau kecil, ketakutan kita justru disebabkan oleh pengalaman kita sendiri, orang lain, dan apa yang kita baca atau dengar. Beberapa perasaan takut memang nyata, seperti berjalan di kota yang sepi dan juga gelap pada waktu dini hari. Atau berlayar di atas kapal kecil yang diganggu ikan hiu lapar. Meskipun terkadang rasa takut akan bahaya luar terus mengancam kita, namun kita ndak mesti memiliki rasa takut tersebut dengan seumur hidup.
ᰒ. Ketidakpedulian
Memiliki sikap ketidakpedulian merupakan sikap negatif dalam kehidupan sosial dan individual. Hidup dalam individual adalah dunia kita yang berhak meluangkan waktu sendirian dan memiliki hak untuk membuat pilihan hidup. Sedangkan hubungan sosial adalah interaksi diri kita dengan orang lain. Bila Anda sering mengabaikan orang lain, maka feed back orang lain kepada Anda juga akan seperti itu. Sama halnya dengan ketidakpedulian terhadap diri sendiri. Bila pilihan hidup Anda diputuskan orang lain meskipun Anda yang berhak memutuskannya, maka Anda akan menjalani kehidupan yang distir oleh orang lain dan Anda akan meragukan diri sendiri.
ᰒ. Keraguan
Banyak dari kita yang meragukan masa depan dikarenakan arah hidup dan cita-cita yang masih belum jelas. Termasuk juga meragukan orang lain, pemerintah, bahkan meragukan kesempatan atau peluang. Namun, yang paling berbahaya adalah dengan meragukan diri sendiri. Lambat laun, keraguan akan menghancurkan hidup kita serta peluang kita untuk sukses secara perlahan. Keraguan juga adalah musuh bagi kita. Ia akan mengosongkan hati dan rekening kita, serta mengharuskan kita untuk rela ditinggalkan pasangan yang sudah lama bersama.
ᰒ. Khawatir
Perasaan khawatir cukup bermanfaat bagi kita atas suatu ketidakpastian yang bertentangan dengan perasaan positif. Misalnya kita sudah lama menunggu saudara yang masih belum pulang ke rumah, dan kita khawatir dengan dirinya yang sudah berada di jalan mana, lalu kita bergumam, ”Apakah dia baik-baik saja?”; “Semoga tidak terjadi apa-apa di jalan.” Tetapi, kita ndak bisa melepaskan rasa khawatir sebelum kita melihat dan memprediksi suatu hal di luar kekhawatiran. Dugaan dan prasangka juga akan menimbulkan perasaan khawatir sesuai konteksnya. Kendati demikian, rasa khawatir yang berlebihan dan sulit untuk dilepaskan akan membuat pikiran dan tubuh kita memburuk. Ndak hanya secara fisik, juga peluang dan kesempatan kita.
ᰒ. Malu
Memiliki sifat malu adalah hal yang wajar, termasuk orang yang pemalu sekali pun, selama sifat tersebut ndak menjadi beban baginya. Namun, yang menjadi persoalan adalah rasa malu-malu (malu yang berlebihan) yang ndak sedikit menyiksa dirinya sendiri. Kita dapat menebak bahwa rasa malu-malu pada seseorang kemungkinan karena faktor internalisasi masa kecilnya, dan juga faktor lain yang turut mempengaruhinya. Namun dengan menyadari sifat malu yang buruk ini, kita akan tergerak untuk berdiri tegak dan sesekali membentangkan tangan sambil berteriak "Aku percaya diri!".
Itulah beberapa musuh emosional penghancur diri yang selalu mengganggu kita. Persoalan dari poin - poin tersebut merupakan sifat manusia sebagai makhluk yang terbatas dan menginginkan kepastian dalam hidupnya. Karena bagaimanapun, kita harus mengelola emosi-emosi kita secara terukur.
Udah ya, maafin SettiaBlog lho ya. Untuk backgroundnya ini ada cahaya bulan purnama di balik dedaunan. Fontnya SettiaBlog gunakan Viga, Viga sendiri bisa di artikan kekurangan. Ya, setiap manusia tentu memiliki kekurangan dan kelebihannya masing - masing.
ᰒ. Takut
Kita dilahirkan dengan ndak memiliki keberanian, juga ndak memiliki rasa takut. Kemungkinan besar atau kecil, ketakutan kita justru disebabkan oleh pengalaman kita sendiri, orang lain, dan apa yang kita baca atau dengar. Beberapa perasaan takut memang nyata, seperti berjalan di kota yang sepi dan juga gelap pada waktu dini hari. Atau berlayar di atas kapal kecil yang diganggu ikan hiu lapar. Meskipun terkadang rasa takut akan bahaya luar terus mengancam kita, namun kita ndak mesti memiliki rasa takut tersebut dengan seumur hidup.
ᰒ. Ketidakpedulian
Memiliki sikap ketidakpedulian merupakan sikap negatif dalam kehidupan sosial dan individual. Hidup dalam individual adalah dunia kita yang berhak meluangkan waktu sendirian dan memiliki hak untuk membuat pilihan hidup. Sedangkan hubungan sosial adalah interaksi diri kita dengan orang lain. Bila Anda sering mengabaikan orang lain, maka feed back orang lain kepada Anda juga akan seperti itu. Sama halnya dengan ketidakpedulian terhadap diri sendiri. Bila pilihan hidup Anda diputuskan orang lain meskipun Anda yang berhak memutuskannya, maka Anda akan menjalani kehidupan yang distir oleh orang lain dan Anda akan meragukan diri sendiri.
ᰒ. Keraguan
Banyak dari kita yang meragukan masa depan dikarenakan arah hidup dan cita-cita yang masih belum jelas. Termasuk juga meragukan orang lain, pemerintah, bahkan meragukan kesempatan atau peluang. Namun, yang paling berbahaya adalah dengan meragukan diri sendiri. Lambat laun, keraguan akan menghancurkan hidup kita serta peluang kita untuk sukses secara perlahan. Keraguan juga adalah musuh bagi kita. Ia akan mengosongkan hati dan rekening kita, serta mengharuskan kita untuk rela ditinggalkan pasangan yang sudah lama bersama.
ᰒ. Khawatir
Perasaan khawatir cukup bermanfaat bagi kita atas suatu ketidakpastian yang bertentangan dengan perasaan positif. Misalnya kita sudah lama menunggu saudara yang masih belum pulang ke rumah, dan kita khawatir dengan dirinya yang sudah berada di jalan mana, lalu kita bergumam, ”Apakah dia baik-baik saja?”; “Semoga tidak terjadi apa-apa di jalan.” Tetapi, kita ndak bisa melepaskan rasa khawatir sebelum kita melihat dan memprediksi suatu hal di luar kekhawatiran. Dugaan dan prasangka juga akan menimbulkan perasaan khawatir sesuai konteksnya. Kendati demikian, rasa khawatir yang berlebihan dan sulit untuk dilepaskan akan membuat pikiran dan tubuh kita memburuk. Ndak hanya secara fisik, juga peluang dan kesempatan kita.
ᰒ. Malu
Memiliki sifat malu adalah hal yang wajar, termasuk orang yang pemalu sekali pun, selama sifat tersebut ndak menjadi beban baginya. Namun, yang menjadi persoalan adalah rasa malu-malu (malu yang berlebihan) yang ndak sedikit menyiksa dirinya sendiri. Kita dapat menebak bahwa rasa malu-malu pada seseorang kemungkinan karena faktor internalisasi masa kecilnya, dan juga faktor lain yang turut mempengaruhinya. Namun dengan menyadari sifat malu yang buruk ini, kita akan tergerak untuk berdiri tegak dan sesekali membentangkan tangan sambil berteriak "Aku percaya diri!".
Itulah beberapa musuh emosional penghancur diri yang selalu mengganggu kita. Persoalan dari poin - poin tersebut merupakan sifat manusia sebagai makhluk yang terbatas dan menginginkan kepastian dalam hidupnya. Karena bagaimanapun, kita harus mengelola emosi-emosi kita secara terukur.
Udah ya, maafin SettiaBlog lho ya. Untuk backgroundnya ini ada cahaya bulan purnama di balik dedaunan. Fontnya SettiaBlog gunakan Viga, Viga sendiri bisa di artikan kekurangan. Ya, setiap manusia tentu memiliki kekurangan dan kelebihannya masing - masing.
<
Video klip kedua SettiaBlog kasih "kiss me" milik Sixpence None The Richer. Tema lagunya c tentang koneksi emosional yang di miliki setiap manusia normal. Koneksi emosional merupakan bagian mendasar dari sifat manusia, didorong oleh kebutuhan mendalam akan hubungan sosial yang memengaruhi kesehatan mental, fisik, dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Pernah ndak Anda merasa cemas sebelum wawancara kerja, atau jantung berdebar saat menunggu kabar penting? Banyak orang buru-buru ingin menghilangkan rasa itu. Padahal, emosi bukan sekadar gangguan, mereka adalah sinyal dari tubuh bahwa “ini penting hal buat Anda”. Neuroscientist Antonio Damasio melalui teorinya Somatic Marker Hypothesis (SMH) menjelaskan bahwa emosi bekerja sebagai “penanda tubuh” yang membantu kita mengambil keputusan. “Feelings are not a luxury, they are a guide to survival”.
Kalau kita perhatikan lebih dalam, setiap emosi sebenarnya membawa pesan. Rasa marah bisa menjadi tanda bahwa batas diri kita sedang dilanggar. Sedih muncul ketika kita kehilangan sesuatu yang bernilai. Cemas hadir karena kita peduli terhadap hasil yang akan datang. Emosi bahagia meningkatkan performa dalam berbagai tugas pengendalian diri, seperti menunda kepuasan, bertahan dalam tugas yang sulit, dan bahkan memutus kebiasaan lama dibandingkan dengan emosi sedih. Artinya, emosi ndak hanya muncul sebagai reaksi, tetapi juga bisa menjadi motivator yang mendorong kita bertahan dan berkembang. Dalam keseharian, otak sering mengambil jalan pintas dengan menggunakan emosi (perasaan) sebagai jalan pintas mengambil keputusan yang disebut affect heuristic. Kalau kita merasa nyaman dengan sebuah pilihan, kita cenderung menilai risikonya lebih rendah dan lebih aman. Sebaliknya, jika pilihan terasa ndak enak, kita lebih waspada. Contoh sederhana: ketika bertemu orang baru, ada rasa “klik” atau justru ndak nyaman. Itu bukan kebetulan, tapi kompas emosional kita sedang bekerja memberi arah.
Kita sering diajarkan untuk “mengendalikan” emosi agar ndak menguasai diri. Padahal, emosi bukan sekadar hal yang harus ditekan, tapi justru sumber informasi penting tentang apa yang berarti bagi kita. Seperti kompas, emosi memberi petunjuk ke arah mana kita perlu melangkah. Bukan hanya emosi yang kita rasakan sekarang yang memengaruhi keputusan, tapi juga emosi yang kita bayangkan. Mereka membedakan dua jenis pengalaman emosi:
Anticipatory emotions – emosi yang muncul saat menunggu hasil atau masih dalam proses, misalnya cemas menjelang ujian.
Anticipated emotions – emosi yang kita bayangkan akan muncul setelah hasil terjadi, misalnya rasa lega atau bahagia setelah lulus.
Kedua jenis emosi ini sama-sama berperan sebagai “peta jalan”. Rasa cemas bisa membuat kita lebih giat belajar, sedangkan membayangkan kebahagiaan setelah lulus memberi semangat tambahan. Dengan kata lain, emosi ndak hanya bereaksi pada masa kini, tapi juga memandu kita menghadapi masa depan.
Sayangnya, banyak orang masih menganggap emosi sebagai kelemahan. Marah sering dicap buruk, cemas dianggap salah, sedih dipandang lemah. Padahal, setiap emosi memiliki bahasa dan pesan tersendiri.
“We cannot selectively numb emotions. When we numb the painful emotions, we also numb the positive ones.” Menolak satu jenis emosi berarti juga menutup pintu untuk merasakan yang indah secara utuh.
Daripada melawan emosi, mending coba dengarkan pesannya:
Dalam karier: kalau Anda terus gelisah di tempat kerja, mungkin itu tanda butuh tantangan baru.
Dalam hubungan: rasa kesal bisa jadi pesan bahwa Anda perlu menetapkan batas lebih tegas.
Dalam keputusan besar: takut dan ragu bisa jadi ajakan untuk mengecek ulang apakah pilihan itu sejalan dengan nilai hidup Anda.
Tips sederhana: setiap kali emosi kuat muncul, tanya diri sendiri: “Apa c yang sebenarnya ingin diingatkan perasaan ini?”
Emosi ndak selalu memberi jawaban final, tapi mereka selalu memberi arah. Saat kita berani mendengarkan emosi baik yang menyenangkan maupun yang sulit kita sedang belajar lebih jujur pada diri sendiri. “We are not thinking machines that feel, we are feeling machines that think”
Pernah ndak Anda merasa cemas sebelum wawancara kerja, atau jantung berdebar saat menunggu kabar penting? Banyak orang buru-buru ingin menghilangkan rasa itu. Padahal, emosi bukan sekadar gangguan, mereka adalah sinyal dari tubuh bahwa “ini penting hal buat Anda”. Neuroscientist Antonio Damasio melalui teorinya Somatic Marker Hypothesis (SMH) menjelaskan bahwa emosi bekerja sebagai “penanda tubuh” yang membantu kita mengambil keputusan. “Feelings are not a luxury, they are a guide to survival”.
Kalau kita perhatikan lebih dalam, setiap emosi sebenarnya membawa pesan. Rasa marah bisa menjadi tanda bahwa batas diri kita sedang dilanggar. Sedih muncul ketika kita kehilangan sesuatu yang bernilai. Cemas hadir karena kita peduli terhadap hasil yang akan datang. Emosi bahagia meningkatkan performa dalam berbagai tugas pengendalian diri, seperti menunda kepuasan, bertahan dalam tugas yang sulit, dan bahkan memutus kebiasaan lama dibandingkan dengan emosi sedih. Artinya, emosi ndak hanya muncul sebagai reaksi, tetapi juga bisa menjadi motivator yang mendorong kita bertahan dan berkembang. Dalam keseharian, otak sering mengambil jalan pintas dengan menggunakan emosi (perasaan) sebagai jalan pintas mengambil keputusan yang disebut affect heuristic. Kalau kita merasa nyaman dengan sebuah pilihan, kita cenderung menilai risikonya lebih rendah dan lebih aman. Sebaliknya, jika pilihan terasa ndak enak, kita lebih waspada. Contoh sederhana: ketika bertemu orang baru, ada rasa “klik” atau justru ndak nyaman. Itu bukan kebetulan, tapi kompas emosional kita sedang bekerja memberi arah.
Kita sering diajarkan untuk “mengendalikan” emosi agar ndak menguasai diri. Padahal, emosi bukan sekadar hal yang harus ditekan, tapi justru sumber informasi penting tentang apa yang berarti bagi kita. Seperti kompas, emosi memberi petunjuk ke arah mana kita perlu melangkah. Bukan hanya emosi yang kita rasakan sekarang yang memengaruhi keputusan, tapi juga emosi yang kita bayangkan. Mereka membedakan dua jenis pengalaman emosi:
Anticipatory emotions – emosi yang muncul saat menunggu hasil atau masih dalam proses, misalnya cemas menjelang ujian.
Anticipated emotions – emosi yang kita bayangkan akan muncul setelah hasil terjadi, misalnya rasa lega atau bahagia setelah lulus.
Kedua jenis emosi ini sama-sama berperan sebagai “peta jalan”. Rasa cemas bisa membuat kita lebih giat belajar, sedangkan membayangkan kebahagiaan setelah lulus memberi semangat tambahan. Dengan kata lain, emosi ndak hanya bereaksi pada masa kini, tapi juga memandu kita menghadapi masa depan.
Sayangnya, banyak orang masih menganggap emosi sebagai kelemahan. Marah sering dicap buruk, cemas dianggap salah, sedih dipandang lemah. Padahal, setiap emosi memiliki bahasa dan pesan tersendiri.
“We cannot selectively numb emotions. When we numb the painful emotions, we also numb the positive ones.” Menolak satu jenis emosi berarti juga menutup pintu untuk merasakan yang indah secara utuh.
Daripada melawan emosi, mending coba dengarkan pesannya:
Dalam karier: kalau Anda terus gelisah di tempat kerja, mungkin itu tanda butuh tantangan baru.
Dalam hubungan: rasa kesal bisa jadi pesan bahwa Anda perlu menetapkan batas lebih tegas.
Dalam keputusan besar: takut dan ragu bisa jadi ajakan untuk mengecek ulang apakah pilihan itu sejalan dengan nilai hidup Anda.
Tips sederhana: setiap kali emosi kuat muncul, tanya diri sendiri: “Apa c yang sebenarnya ingin diingatkan perasaan ini?”
Emosi ndak selalu memberi jawaban final, tapi mereka selalu memberi arah. Saat kita berani mendengarkan emosi baik yang menyenangkan maupun yang sulit kita sedang belajar lebih jujur pada diri sendiri. “We are not thinking machines that feel, we are feeling machines that think”