Apr 23, 2019

Cara Mengenal Allah



Suatu ketika saya belum berumur sepuluh tahun ayah saya bertanya kepada saya, "Dimanakah Allah?" Saya menjawab, "Allah berada di surga." Karena bagi saya surga adalah istana indah, yang Allah pantas berada di dalarnnya. Tetapi, sambil tersenyum ayah saya bertanya lagi. "Kalau Ada di dalam surga, besar manakah AIlah dengan surga?" Kontan saya jawab, "Ya besar surga..!"
Tetapi, sambil masih tersenyum ayah saya bertanya. "Lho, katanya Allah Maha Besar, kok besar surga?" Saya merasa, ayah tidak setuju dengan jawaban saya, tetapi beliau tidak menyalahkannya. Cuma menggiring saja. Saya pun dengan cepat meralat jawaban saya, "Kalau begitu Allah di langit." Bayangan saya, langit demikian besarnya. Dan saya sering  melihat orang berdoa mendongak ke langit. Lagi-lagi ayah saya tersenyurn, sambil bertanya. "Kalau Allah di langit berarti di Bumi tidak ada?  Jauh ya Allah itu? Katanya, Dia Maha Dekat?" Dengan sigap, saya merubah lagi jawaban saya. "Kalau begitu Allah dekat dengan kita, bersama kita...!" Tawa ayah semakin lebar, tapi sambil terus bertanya. "Bersama aku? Bersama kamu? Kalau gitu Allah itu banyak?" Saya pun menyerah angkat tangan. Ayah saya mengambil segelas air teh yang ada di meja makan. Lantas mengatakan, Allah dan makhluk-Nya sudah melebur seperti air yang jernih dengan warna teh yang kecoklatan. Tak bisa lagi dibedakan. Saya manggut-manggut, tapi tidak mengerti...

Mungkin banyak di antara kita yang mengalami seperti ilustrasi di atas. Baik itu terucap atau tidak terucap, pertanyaan tentang keberadaan Allah sering muncul dalam benak setiap manusia.

Yang menjadi persoalan sekarang bagaimana kita dengan logika bisa sampai ke sana, bisa memaharni ilah yang muthlaq itu. Sejak lama sudah dikenal di masyarakat Islam sampai ke segenap pelosok, khususnya di Indonesia, suatu metode berfikir yang diajarkan oleh ulama terkenal Abul Hasan Al-Asy'ari. Terkenal sebagai 'Sifat Dua Puluh'.

Beliau mulai dengan hukum akal yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat, bahwa tidak ada sesuatu pun yang tidak ada penyebabnya. Hukum akal ini beliau definisikan dengan tiga aksioma: wajib, mustahil dan jaiz.

Wajib, adalah sesuatu yang mau tidak mau harus diterima oleh akal. Akal mesti menerima akan adanya atau berlakunya.

Mustahil, adalah sesuatu yang tidak mungkin diterima oleh akal. Akal tidak mungkin (mustahil) dapat menerimanya.

Jaiz, dalam hal ini akal berdiri netral.

Contohnya :

Wajib : sudut alas dari segitiga samakaki wajib sama.

Mustahil, kalau ada orang yang mampu menggambarkan segitiga samakaki tetapi sudut alasnya tidak sama; ini satu hal yang mustahil pada akal.

Contoh yang jaiz misalnya ada orang yang mengatakan, "Dalam perjalanan dari rumah ke mari, saya melihat ada tabrakan. Ada 2 orang yang meninggal". lni sesuatu yang jaiz, akal di sini netral, bisa menerima dan bisa menolak, tergantung kepada kepercayaan kita terhadap orang yang mengatakannya.

Dengan aksioma ini pula Ahul Hasan al-Asy'ari mengatakan bahwa dunia ini sudah ada, maka wajib ada yang menciptakannya, karena tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Maka siapakah yang menciptakannya? Ada tiga kemungkinan :

 Pertama, menurut proses "daur". Kalau dunia ini disebut A, maka A ini diciptakan oleh B. Sedangkan B sendiri adanya diciptakan oleh C karena B tidak mungkin ada dengan sendirinya sesuai dengan hukum sebab akibat. Kemudian siapa pula yang menciptakan C? Tentu saja D. Dan D sendiri diciptakan oleh A yang pertama tadi. lnilah artinya "daur". lni mustahil, tidak dapat diterima akal! Apa sebabnya? Bagaimana A bisa menciptakan D sedang adanya A itu diciptakan oleh si B dan B pun demikian sebab diciptakan olch C. jadi mana yang terdahulu? Kalau lingkarannya diperpendek, A diciptakan oleh B. B diciptakan oleh A. Mana mungkin, ini tidak masuk akal. Mesti ada satu yang terdahulu. Mesti ada awalnya! Karena itu "daur" ini mustahil pada akal.

Kemungkinan kedua, menurut Ahul Hasan Al-Asy'ari adalah yang disebut "tasalsul". Prosesnya demikian, A diciptakan oleh B, B diciptakan oleh C, C diciptakan oleh D, demikian seterusnya sampai infinitum. Tidak ada akhirnya. Ini pun mustahil pada akal. Menurut Ahul Hasan al-Asy'ari infinitum itu tidak ada. Di sini terdapat kelemahan; kalau kita hadapkan hukum "tasalsul" ini kepada mahasiswa yang saban hari bergelimang dengan "diferensial integral", ternyata infinitum ini tidak lagi merupakan masalah bagi mereka, ltu sudah menjadi bahasa sehari-hari. Kalau kita katakan bahwa infinitum itu mustahil, mereka akan geleng kepala. Metode Ahul Hasan al-Asy'ari ini mengandung kelemahan, terutama jika diterapkan bagi mahasiswa-mahasiswa eksakta, yang sukar menerima tasalsul itu mustahil. Kemustahilan daur pun tidak dapat dipastikan, kecuali kalau waktu dianggap muthlaq. Kalau wujud Allah didasarkan kepada mus-tahilnya tasalsul dan daur, maka wujud Allah masih belum wajib kalau kemustahilan daur dan tasalsul belum pasti. Ini berbahaya. Andaikata orang sudah mulai ragu akan wujud Allah, maka ragulah seluruh keimanannya.

Kemungkinan ketiga, karena kedua kemungkinan terdahulu itu mustahil, maka tinggallah satu-satunya kemungkinan lagi yang kemudian melahirkan sifat duapuluh itu. Demiklan, adanya dunia ini menghendaki kepada adanya yang menjadikan. Wajib atau mesti ada penciptanya. Itulah Maha Pencipta, Allah SWT yang mesti bersifat Wujud. Sebab kalau tidak, tidak mungkin alam ini ada. Oleh karena alam ini ada, adalah mustahil jika tidak ada penciptanya. Maka sifat wujud (exist) wajib ada pada Allah. Adapun sifat-sifat yang lainnya adalah: Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil Hawadits, Wandaniyah, Qudrat, Iradat, Sama', Bashar, Kalam, Qadiran, Muridan, Hayat, Ilmu, dan seterusnya sampai dua puluh sifat, merupakan penjabaran dari sifat 'wajibul wujud' (wajib ada) yang pertama tersebut.

Selanjutnya cara mengenal Allah dengan bertitiktolak dan dijabarkan dari ayat-ayat al-Qur'an, dengan tidak langsung mempergunakan hukum-hukum akal ala al-Asy'ari tadi. Definisi ini dirumuskan berdasar kata dan istilah "ilah" yang berulang kali ditampilkan oleh al-Qur'an dalam berbagai kalimat dan ungkapan, baik dalam bentuk tunggal atau jamak. Ditampilkannya dalam berbagai konteks, misalnya Fir'aun, dia memanggil dirinya sebagai "ilah"

-ู…َุง ุนَู„ِู…ْุชُ ู„َูƒُู… ู…ِّู†ْ ุฅِู„َٰู‡ٍ ุบَูŠْุฑِูŠ 

Aku tidak sangka kalian masih kalian masih mempunyai ilah selain daripadaku. (QS 28:38)

Kemudian dalam sura.h al-Furqan :  43, Tuhan pun berfirman.

ุฃَุฑَุฃَูŠْุชَ ู…َู†ِ ุงุชَّุฎَุฐَ ุฅِู„َٰู‡َู‡ُ ู‡َูˆَุงู‡ُ 

Tidakkah engkau perhatikan banyak manusia yang memper-ilah keinginan - keinginan hawa nafsunya.(QS 25:43)

Keinginan hati itu banyak ragamnya. Oleh karena itu dikatakan, sesuatu yang dipenthigkan manusia. Ini berarti apabila manusia ikatkan dirinya sedemikian rupa kepada sesuatu sehingga dia didominir, diperhamba oleh sesuatu itu, maka itulah ilah-nya.

Mengenai adanya Allah sebagai Maha Pencipta kita jumpai beberapa ayat dalam al-Qur'an yang menegaskannya. Dan ini tidak Iagi menjadi masalah, sebab manusia pada dasarnya (secara fithrah) mengakui adanya Maha Pencipta itu. Dalam surah Luqman ayat 25 ditegaskan,

ูˆَู„َุฆِู† ุณَุฃَู„ْุชَู‡ُู… ู…َّู†ْ ุฎَู„َู‚َ ุงู„ุณَّู…َุงูˆَุงุชِ ูˆَุงู„ْุฃَุฑْุถَ ู„َูŠَู‚ُูˆู„ُู†َّ ุงู„ู„َّู‡ُ ۚ ู‚ُู„ِ ุงู„ْุญَู…ْุฏُ ู„ِู„َّู‡ِ ۚ ุจَู„ْ ุฃَูƒْุซَุฑُู‡ُู…ْ ู„َุง ูŠَุนْู„َู…ُูˆู†َ

Dan Aku bersumpah kepadamu, wahai Nabi, jika kamu menanyakan kepada mereka, "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" mereka pasti menjawab, "Yang menciptakannya adalah Allah." Katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan bukti-bukti keesaan-Nya, yang menghapuskan perbuatan mereka untuk menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam beribadah." Tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui bahwa dengan pengakuan mereka itu, sebenarnya mereka telah membuat alasan atas mereka sendiri, yang membuktikan tentang kerusakan akidah mereka.

Demikian pula Fir'aun, diapun percaya kepada Allah sebagai pencipta langit dan bumi. Tetapi yang di permasalahkan oleh Fir'aun bukan itu. Yang dipermasalahkan nya adalah kedaulatan yang ada pada dirinya yang mempunyai kelebihan dari manusia lainnya, sehingga mampu memperlakukan rakyatnya menurut kehendak hatinya. Itulah yang menurut al-Qur'an memper-ilah dirinya. Inilah yang menjadi masalah, bahkan sampai zaman sekarang pun belum habis-habisnya manusia-manusia berwatak Fir'aun ini.

Oleh karena itu refleksi Tauhid yang pertama dan utama adalah seseorang itu marnpu menganggap dirinya sama dan sederajat hak dan kewajibannya dengan orang Iain. Kalaupun ada perbedaan hanyalah sekedar "devision of labour" saja, yang satu pernbicara yang lain sebagai pendengar, satu menjadi imam yang lain sebagai ma'rnum, atau sebagai tukang kebun, pembersih WC dan sebagainya. Itu belum atau tidak menunjukkan rank atau derajat yang sebenarnya. Sebab derajat yang sesungguhnya terletak pada taqwanya kepada Allah SWT; dalam hal ini apakah dalam melaksanakan dan menunaikan tugas dan professinya itu diiringi oleh keikhlasan atau tidak. Sedang keikhlasan itu adalah buah ketauhidan pula. 

No comments:

Post a Comment