Oct 19, 2025

Semua Akan Berubah

 


 
    
              
              
Video klip di atas ada "the fate of Ophelia" milik Taylor Swift. Ophelia sendiri di ambil dari salah satu tokoh drama Hamlet karya Shakespeare.  Ophelia  sering digambarkan sebagai perwujudan kewanitaan yang menderita di bawah tekanan patriarki. Kisahnya adalah representasi tragis dari patah hati akibat pengkhianatan, di mana ia harus menanggung kesedihan mendalam. Namun ia juga menjadi simbol perjuangan melawan norma sosial yang mengekang dan ketidakberdayaan yang dirasakan oleh perempuan. Melalui Ophelia, drama Shakespeare dan interpretasi-interpretasi selanjutnya menunjukkan dampak tragis dari budaya patriarki  yang menindas, di mana wanita sering kali ndak memiliki kekuatan untuk mengendalikan nasib mereka sendiri. Lho, kok malah ngomongin santra klasik, gimana c SettiaBlog ini.

Ngulas dikit tentang sastra klasik, ndak apa kan ya. Lagu - lagu terbarunya Taylor Swift banyak mendapat kritik. Tapi itu udah biasa, seperti yang udah - udah, setiap mengeluarkan album baru pasti akan berubah, terutama dalam gaya bermusik dan penampilannya. Dan itu bukti Taylor Swift benar - benar menikmati kehidupan yang di jalaninya. Kan dalam kehidupan ini pasti terjadi perubahan dari waktu ke waktu.

Dalam hidup yang terus berkembang, perubahan akan selalu terjadi—pada semua aspek: alam, lingkungan, budaya, politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Kita sebagai manusia terus mengalami perubahan, dari mulai dalam kandungan, lahir ke dunia, tumbuh menjadi dewasa, menua, dan kemudian menghadapi kematian. Perubahan tersebut dibarengi juga dengan perubahan fisik, rambut memutih, kulit keriput, dan kondisi fisik yang melemah. Proses itu adalah keniscayaan yang pasti terjadi dalam kehidupan kita.  

Ndak sedikit pula dari kita yang mencoba membendung perubahan, namun tetap aja perubahan ndak akan pernah membohongi waktu. Walaupun ‘satu kodi’ dokter kecantikan/kegantengan kita datangkan, perubahan ndak akan pernah bisa dielakkan. Begitupun dengan peradaban sebuah bangsa, mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Indonesia, di awali dengan pra-sejarah, Hindu-Budha, Kerajaan Islam, penjajahan, kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi, dan saat ini. Setiap fase mempunyai psikologi sosialnya masing-masing. Seperti fenomena historis, jatuhnya peradaban Cina Kong Hu Cu sejak perang candu dan bangkitnya peradaban Cina baru ketika ajaran Kong Hu Cu digantikan komunisme; runtuhnya peradaban Mesir Fir’aun dan peradaban Yunani-Romawi sekaligus pergantiannya oleh peradaban baru yang diilhami ajaran Kristen dan Islam. Begitu pula dengan runtuhnya komunisme di Uni Soviet. Perubahan juga terjadi pada politik Indonesia, dari mulai politik orde baru yang mengekang kebebasan rakyat, masuk kepada politik reformasi yang memberikan ruang terbuka, dan sekarang masuk pada politik mediakrasi di mana media menjadi supirnya. Secara fundamental, perubahan juga terjadi pada gerakekonomi kita, banyak yang awalnya miskin jadi kaya, yang kaya jadi miskin. Hidup seperti roda berputar, begitupun dengan “dunia terbalik” sebuah fenomena yang akhir-akhir ini salah kaprah. Hal tersebut juga bagian dari perubahan, dengan kebiasaan masyarakat yang ndak lagi membuang sampah pada tempatnya, melainkan membuang tempatnya pada sampah.

  Perubahan pada hakikatnya merupakan esensi dari kehidupan itu sendiri, ndak ada satupun elemen kehidupan yang ndak mengalami perubahan. Perubahan adalah hidup itu sendiri. Hidup tanpa perubahan—kemustahilan karena identik dengan mati. Seperti yang digambarkan Herakleitos, ia menggambarkan perubahan dengan dua cara, pertama, ia mengatakan seluruh kenyataan merupakan arus sungai yang mengalir, dan kedua, ia mengatakan seluruh kenyataan adalah api. Arus sungai sebagai lambang perubahan terdapat dalam fragmen yang terkenal, “Engkau tidak bisa turun dua kali ke dalam sungai yang sama”.  Maksudnya, sungai selalu mengalir, sehingga air sungai selalu berbeda. Orang yang turun ke dalam sungai dua kali ndak turun ke dalam sungai yang sama seperti semula. Semuanya mengalir dan ndak ada sesuatu pun yang tinggal menetap (panta rhei kai uden menei).

  Herakleitos juga menyatakan seluruh kenyataan adalah api, baginya api sebenarnya ndak merupakan suatu anasir yang dapat menerangkan kemantapan di belakang perubahan-perubahan dalam alam, melainkan api melambangkan perubahan itu sendiri. Ndak sulit untuk mengerti mengapa Herakleitos memilih api. Nyala api senantiasa memakan bahan bakar yang baru. Dan bahan bakar itu senantiasa berubah menjadi abu dan asap. Namun, api itu tetap api yang sama. Karenanya, api cocok sekali untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan. Kata Herakleitos,  “Ada suatu pertukaran: semua benda ditukar dengan api dan api ditukar dengan semua benda, seperti barang dengan emas dan emas dengan barang.”.  

Dalam era serba media ini, perubahan yang terjadi sangat kompleks, kita ndak bisa mengikuti begitu aja kehendak perubahan. Mau ndak mau, perubahan mempunyai dua wajah, baik dan buruk. Karena itu, kita harus bersikap selektif terhadap perubahan. Perlu diingat, kita ndak bisa menerima sepenuhnya perubahan, kenapa? Akan terjadi ke-blur-an pemahaman—maksudnya, kita ndak lagi mengetahui secara jelas nilai-nilai mana yang harus dianut. Begitupun dengan menolak seluruhnya—ndak bisa juga, efeknya—kita menjadi kagetan dan radikal setiap memandang perubahan yang terjadi.  

Dengan demikian, perubahan secara mikro atau makro yang kita alami, harus kita fungsikan ke arah meningkatnya kualitas hidup; menjadi lebih manusiawi, lebih spiritual, dan lebih baik. Bukan perubahan yang menghancurkan, apalagi mencabut status kemanusiaan seseorang. Allah Berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi....” (QS. Al-A’raaf: 56), “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu....” (QS. Huud: 112).  

Di sini kita membutuhkan kerendahan hati dan kearifan untuk membangun kesadaran, karena manusia ndak akan pernah mampu menyaring semuanya—al-insan mahal khata wa nisyan —manusia adalah tempatnya kesalahan dan kelupaan. Itu menandakan bahwa manusia ndak berada pada posisi yang mutlak, apalagi menggenggam kemutlakan.  

Menghadapai perubahan yang fundamental ini, mau ndak mau, kita harus mengingat kembali makna kehadiran di dunia ini dan membaca penuh kesadaran mengenai kekuasaan sang waktu. Karena,  "Al-waqtu kassaif"  (الوقتُ كالسيفِ)  waktu seperti pedang, kalau kita ndak mampu menggunakannya maka akan dapat mencelakakan diri sendiri.

Dalam pada itu, waktu diciptakan supaya segala sesuatunya ndak terjadi bersamaan, ketika semuanya terjadi bersamaan, itu bukan kehidupan. Waktu ndak bisa ditunda, ia terus berputar, dari berputarnya waktu—artinya, waktu memerintahkan kita untuk berproses dan mengisi, ndak hanya berdiam diri, melainkan dari proses itu juga oleh waktu dijanjikan sebuah hasil.  

Pembiaran terhadap waktu sama aja kita menikam diri sendiri, menyia-nyiakan hidup yang terus berjalan, berkembang, dan berubah. Karena itu, semua yang ada di dunia ini, entah manusia, bangsa, dan apapun bentuknya selalu berkembang bersama waktu, sekaligus mendapatkan porsi waktunya masing-masing, karena waktu memberikan isyarat adanya sebuah ‘giliran’. Dalam kaitannya dengan masalah waktu, maka hakikatnya, setiap manusia ataupun bangsa mempunyai jadwal waktu pergiliran. Di antara esensi pergilirian, Al-Qur’an, surat al-Hasyr ayat 7 menegaskan: “...supaya kekuasaan (kekayaan) itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu.”  Pergiliran, pergantian, dan pergeseran adalah bagian dari realitas kehidupan. Bahkan menjadi satu aturan kehidupan itu sendiri dan karenanya dapat dipandang sebagai sunnatullah-karenanya akan berlaku pasti. Persoalannya hanya terletak pada waktu.

  Pesan al-Qur’an surat al-‘Ashr ayat 1-3,  “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan nasihat-menasihati supaya menetapi kebenaran dan kesabaran.” Biarkan aja perubahan berjalan, menentukan arahnya—yang pasti komitmen kita terhadap kesadaran semesta harus dibangun, kesadaran ini meliputi segala aspek kehidupan—bahwa kita adalah subjek dan objek kehidupan, kita bukan penindas atau perusak. 

Udah ya, kok tambah ngacau bahasan SettiaBlog. Ndak usah di masukin hati ya dan maafin SettiaBlog lho ya.
 

Video klip kedua ada "what you say" milik Saigon Kick". Dalam lagu tersebut ada potongan lirik.
What you say and what you do is a contradiction to the life that's safe and sound..
Kalimat ini menggambarkan seseorang yang perkataan dan tindakannya ndak sejalan. Ia mungkin mengatakan akan melakukan sesuatu, tetapi pada kenyataannya justru melakukan hal yang berbeda atau ndak melakukannya sama sekali. SettiaBlog sendiri juga masih sering kok melakukan hal kayak gitu ...he...he... Tapi SettiaBlog akan selalu belajar untuk bisa menyelaraskan perkataan dan perbuatan.

Nah, demi mengatasi kebiasaan semacam ini agar ndak sering terulang, ada baiknya kita mencari penyebabnya. Apa c yang bikin perkataan dan perbuatan kita sering ndak sinkron?

ޖ. Lupa atau khilaf alias ndak sengaja

Sebagai manusia biasa, wajar banget jika kita melakukan kesalahan seperti lupa atau khilaf. Begitupun ketika kita sekali atau dua kali lupa dengan apa yang pernah dikatakan dan malah melakukan sesuatu yang sebelumnya kita anggap salah atau berjanji untuk ndak melakukannya. Namun, kekhilafan semacam ini hanya dianggap wajar jika terjadi ndak lebih dari tiga kali. Jika sampai lebih dari itu, artinya ada alasan lain selain lupa. 

ޖ. Punya standar ganda yang bikin bingung

Ucapan dan tindakan yang ndak sesuai juga mungkin disebabkan oleh adanya double standard atau standar ganda yang tanpa atau dengan kita sadari telah kita terapkan. Misal, untuk orang yang kita hormati, kita memperbolehkan sikap people pleaser  dalam diri. Namun, begitu berhadapan dengan orang yang kita anggap setara, kita bisa bersikap tegas dan menolak permintaan mereka. Padahal di lain waktu, kita adalah sosok yang sangat ndak suka dengan orang yang selalu jadi people pleaser  kepada siapa pun. Ini yang bikin orang sekitar jadi bingung dengan prinsip yang kita anut. 

ޖ. Pembohong ulung yang pandai bersilat lidah

Terlalu pandai bersilat lidah dan membuat alasan ini itu bisa aja bikin Anda dengan sembarangan mengatakan sesuatu yang ndak bisa Anda lakukan. Seperti misalnya Anda berkata ke orang-orang untuk lebih dewasa, ndak cepat marah, pandai mengatur emosi. Namun di kemudian hari Anda justru meledak marah karena hal sepele. Akan tetapi, karena pandainya Anda mengarang alasan dan membenarkan tindakan Anda yang sebelumnya salah, jadi ndak ada yang benar-benar bisa menyalahkan Anda. Hati-hati, Anda bisa terus menerus melakukan kesalahan semacam ini jika ndak segera sadar, lho. 

ޖ. Suka berkhianat sehingga perkataan dan perbuatannya ndak sinkron

Ternyata apa yang kita lakukan dan ucapkan merupakan implikasi dari bagaimana ketulusan hati kita. Orang yang sering banget berucap sesuatu yang ndak sesuai dengan tindakannya merupakan tanda bahwa dia adalah orang yang suka berkhianat. Orang seperti ini ketika berjanji ndak pernah bisa dia tepati. Pun ketika diberi amanah, dia ndak akan bisa menjalaninya dengan benar. Semoga kita ndak termasuk golongan orang seperti ini, ya. 

ޖ. Labil dan gampang banget berubah pikiran dalam sekejap

Orang yang labil juga seringkali ndak bisa menyinkronkan antara ucapan dan perkataannya. Itu karena mereka gampang berubah pikiran dan ndak punya pendirian tetap. Orang semacam ini akan mengalami kesulitan jika harus memutuskan sesuatu, sebab baginya ndak pernah adalah yang pasti di dunia ini. Mendengarkan ucapan orang seperti ini dan menganggapnya serius bisa merugikan kita. Sebab mereka sendiri aja ndak pernah menganggap serius apa yang dia katakan.

Jadilah orang yang antara ucapan dan perbuatannya sejalan. Orang seperti ini akan bisa dipercaya dan mengemban tanggung jawab. Jadi, ketika berinteraksi dengannya pun kita merasa lebih yakin dengan apa yang dia katakan.

No comments:

Post a Comment