Dari sekian maqam-maqam atau tahapan-tahapan spiritual yang harus dilalui oleh seorang yang berkehendak untuk mendekatkan diri pada Tuhan yang disepakati oleh para sufi pada umumnya yaitu sebagai berikut:
Taubat
Maqam pertama yang harus dilalui oleh seseorang salik atau orang yang ingin membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah ialah taubat. Taubat merupakan awal berangkatnya seorang salik menuju kepada tingkatan berikutnya. Karena itu, membangun taubat harus dengan kuat, yakni harus didasari dengan taqwa yang kuat pula. Taqwa yang kuat akan selalu mendasari setiap tingkatan maqam selanjutnya hingga pada maqam yang lebih tinggi. Imam Ali bin Abi Thalib, menjelaskan:
Janganlah sekali-kali engkau berputus asa dari dosa, karena pintu taubat senantiasa terbuka. Meninggalkan dosa lebih mudah daripada taubat. Tidak ada pemberi syafa’at yang lebih berhasil daripada taubat. Pemberi syafa’at bagi orang yang berdosa adalah pengakuan akan dosa itu, sedangkan taubatnya adalah memohon ampunan. Jika engkau melakukan perbuatan dosa, maka segeralah menghapusnya dengan bertaubat. Banyak orang yang senantiasa berbuat dosa, tetapi dia bertaubat di akhir umurnya. Aku sungguh heran terhadap orang yang berputus asa (karena dosanya), padahal masih ada kesempatan bertaubat baginya (Al-Hariri, 2009: 71).
Wara’
Wara’ merupakan salah satu maqam atau kedudukan spiritual yang harus dilalui oleh seseorang yang menempuh jalan sufi. Wara’ secara bahasa ialah menjauhi dosa, lemah, lunak hati, dan penakut. Para sufi memberikan definisi yang beragam tentang wara’ berdasarkan pengalaman dan pemahaman masing-masing. Ibrahim Ibn A’dham mengatakan bahwa wara’ adalah meninggalkan syubhat (sesuatu yang meragukan) dan meninggalkan sesuatu yang tidak berguna. Asy-Syibli memberikan pengertian yang lebih mendalam, yakni bahwa wara’ itu ialah menjauhi segala sesuatu selain Allah. As-Sarraj (2009: 92) menjelaskan bahwa: "wara’ itu merupakan kedudukan spiritual (maqam) yang mulia”. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah: “Tiang penyanggah agamamu adalah wara’” (HR. Bazzar, Thabrani, dan As-Suyuthi dari Huzaifah).
Zuhud
Suatu istilah yang sering kita dengar dalam ilmu tasawuf ialah zuhud. Sebelum ilmu tasawuf berkembang, istilah zuhud sering digunakan untuk orang- orang yang berusaha membersihkan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam tradisi tasawuf, zuhud merupakan salah satu maqam yang harus dilalui calon sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Sebelum menjadi sufi, ia harus menempuh jalan panjang berupa maqamat. Seorang calon sufi harus terlibat dahulu menjadi orang yang zuhud (zahid), dan setelah menjadi zahid barulah ia bisa meningkat menjadi sufi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap sufi adalah zahid, tetapi tidak setiap zahid merupakan sufi. Konsep zuhud dalam tasawuf pada dasarnya ada dalam Al-qur’an dan Hadits. Di antaranya, Allah berfirman:
"Ketauhilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megahan antara kamu serta berbanggaan tentang banyak harta dan anak. Ibarat hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hayalah kesenangan yang menipu" (QS. Al-Hadid: 20).
Rasulullah di dalam Haditsnya memerintahkan: “Berbuat zuhudlah terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan berbuat zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan manusia, maka orang-orang pun akan mencntai engkau” (HR. Ibnu Majah, Thabrani, da Baihaqi). Dalam Hadits yang lain, Rasulullah menjelaskan: “Apabila Allah menghendaki seorang hamba-Nya menjadi baik, maka diberinyalah pemahaman akan rahasia agama, ditimbulkannya rasa zuhud terhadap dunia dan diberinya anugerah dapat memandang yang ghaib dan ‘aib dirinya sendiri” (HR. Baihaqi).
Dari ayat Al-qur’an dan Hadits di atas, dapat dipahami bahwa ajaran Islam tidak melarang hal-hal duniawi dan tidak melarang meninggalkannya, tetapi Allah dan Rasul-Nya mengingatkan agar waspada terhadap tipuan duniawi sehingga tidak membawanya ke dalam kesesatan. Artinya, bahwa konsep zuhud dalam Islam bukan berarti menjauhi hal-hal duniawi, melainkan bagaimana kita tidak tertipu oleh dunia.
Kefaqiran
Kefaqiran berasal dari kata faqir, yang secara harfiyah artinya kebutuhan. Orang faqir yaitu orang yang senantiasa merasa butuh kepada Allah. Orang faqir bukan orang yang tidak punya bekal hidup, tetapi orang yang bersih atau kosong hatinya dari keinginan duniawi. Berkaitan dengan kefaqiran, Bahri mengemukakan pandangan para sufi tentang apa yang dimaksud dengan kefaqiran. Menurut Al- Ghazali, faqir adalah hilangnya apa-apa yang dibutuhkan. Artinya, ia benar-benar membutuhkan yang hilang itu. Jika seseorang kehilangan apa-apa yang tidak ia butuhkan, maka bukan faqir namanya. Begitu pula jika barang yang dibutuhkan itu ada dan bisa didapatkan, maka orang yang membutuhkan itu tidak bisa disebut faqir. Senada dengan al-Ghazali, Al-Jauziyah juga memandang faqir sebagai orang yang senantiasa membutuhkan Allah dalam segala keadaan dan mengakui keunggulan segala apa yang ada di sisi-Nya dibanding dengan segala yang dimilikinya (Isma’il, 2009: 358).
Kefakiran itu merupakan salah satu kedudukan spiritual yang mulia. Ibrahim ibn al-Khawwas berkata: Kefakiran itu selendang kemuliaan, pakaian para rasul, jubah orang-orang shaleh, mahkota orang-orang yang bertaqwa, perhiasan orang- orang mu’min, harta jarahan perang orang-orang ‘arif, harapan para murid, benteng- benteng orang yang ta’at, penjara orang-orang yang berdosa, penghapus kejelekan, pelipatganda kebaikan, pengangkat derajat, penyampai pada tujuan, ridha-Nya Dzat Yang Maha Kuasa, kemuliaan bagi orang-orang yang baik yang menjadi kekasih-Nya. Kefakiran adalah simbol orang-orang shaleh dan kebiasaan orang-orang yang bertaqwa.
Sabar
Sabar merupakan maqam atau kedudukan spiritual yang harus dilalui oleh seorang yang menjalani sufi. Di dalam Al-qur’an banyak ayat yang memerintahkan manusia agar bersabar dan Allah memuji orang-orang yang bersabar tersebut. Allah berfirman: “Hanyalah orang-orang yang bersabar yang akan disempurnakan pahalanya tanpa terbatas” (QS. Az-Zumar: 10). “Kedudukan spiritual sabar adalah kedudukan spiritual yang mulia” (As-Sarraj (2009: 102).
Untuk menguatkan pendapatnya, ia mengemukakan pandangan para sufi tentang sabar tersebut. Menurutnya, Al-Junaid pernah ditanya tentang sabar, kemudian ia menjawab: “Sabar ialah memikul semua beban berat sampai habis saat-saat yang tidak diinginkan". Ibrahim Al-Khawwas berkata: Sebagian besar manusia lari dari memikul beban berat sabar. Kemudian mereka berlindung diri pada berbagai sarana (sebab) dan pencarian, bahkan mereka bergantung padanya seakan-akan sesuatu tersebut yag bisa memberinya. Ada seseorang datang kepada Asy-Syibli dan bertanya: Sabar yang mana yang sangat berat bebannya bagi orang-orang yang bersabar. Asy-Syibli menjawab, “sabar pada Allah” (fillah). Orang itu berkata, “tidak”. Asy-Syibli menjawab lagi, “sabar karena Allah” (lillah). Ia berkata lagi, “tidak”. Asy-Syibli menjawab lagi, “sabar bersama Allah” (ma’allah). Ia pun berkata, “tidak”. Akhirnya Asy-Syibli marah dan balik bertanya, “celaka kau”, kalau begitu apa? orang itu menjawab, “sabar dari Allah” (‘anillah).
Tawakkal
Tawakkal merupakan maqam atau kedudukan spiritual yang harus dilalui oleh seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. Apakah yang dimaksud tawakkal itu? Beberapa pengertian tawakkal yang dikemukakan oleh para sufi yaitu sebagai berikut: Menurut Ibnu Ujaibah, tawakkal adalah kepercayaan hati terhadap Allah, sampai dia tidak bergantung kepada sesuatu selain-Nya. Dengan kata lain, bergantung dan bertumpu kepada Allah dalam segala sesuatu, berdasarkan pengetahuan bahwa Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Selain itu, tawakkal juga menuntut subjek untuk melebihkan semua yang ada dalam kekuasaan Allah lebih dipercaya daripada yang di tangan subjek. Menurut Muhammad ibn Ash-Shiddiqi, tawakkal adalah engkau mencukupkan diri dengan pengetahuan Allah tentang dirimu, dari ketergantungan hatimu kepada selain-Nya, dan engkau mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allah. Menurut Abu Said Al-Kharraz, tawakkal adalah percaya kepada Allah, bergantung kepada-Nya, dan tenteram terhadap-Nya dalam menerima segala ketentuan-Nya, serta menghilangkan kegelisahan dari dalam hati terhadap perkara duniawi, rizki, dan semua urusan yang penentunya adalah Allah (Isa, 2010: 261).
Ridha
Ridha adalah kedudukan spiritual yang mulia. Ridha adalah pintu Allah yang paling agung dan merupakan surga dunia. Ridha adalah dapat menjadikan hati seorang hamba merasa tenang di bawah kebijakan hukum Allah Azza wa jalla. Al- Qannad pernah ditanya tentang ridha, ia menjawab: Ridha adalah tenangnya hati atas berlakunya takdir. Dzunnun al-Misri pun pernah ditanya tentang ridha, lalu ia menjawab: Ridha adalah senangnya hati atas takdir yang berlaku padanya. Ibnu Atha berkata: Ridha adalah melihatnya hati nurani pada pilihan Allah yang lebih dahulu telah ditetapkan untuk hamba-Nya, agar ia tahu bahwa Allah memilihkannya yang terbaik untuknya, sehingga ia ridha dan tidak jengkel dengan-Nya (As-Sarraj, 2009: 110).
No comments:
Post a Comment