Settiablog kali ini akan membahas Novel berjudul The Alchemist (Sang Alkemis) yang merupakan karangan Paulo Coelho. Novel ini diklaim mampu mengubah hidup para pembacanya. Hampir semua isi dari novel ini merupakan pertanyaan-pertanyaan dalam hidup ini. Tentang masalah Kehidupan? Impian? dan tentu saja Cinta?
Dan setelah membaca novel The Alchemist, memang benar adanya jika dikatakan novel ini mampu merubah pembacanya. Hal yang menarik adalah kata-kata yang terdapat dalam novel tersebut. Tidak hanya mengekspos petualangan seperti novel ber-genre serupa. Kemampuan Paulo Coelho untuk memberikan alur cerita dan mengungkapkan kisah-kisah pun sangat baik. Banyak rentetan cerita yang cukup menginspirasi. Dan di bawah ini Settia Blog mengambil beberapa cukilan kalimat yang mungkin akan merubah pola pandang pembaca:
“Yang membuat hidup ini menarik adalah kemungkinan untuk mewujudkan impian menjadi kenyataan...”
Sejak awal Santiago telah membuat keputusan besar dalam hidupnya, memilih menggembala untuk (mulanya) sekadar melihat kota-kota lain. Sampai suatu hari ia gamang mengenai mimpinya. Ia bermimpi sedang berada di gurun pasir, dan mendapat bisikan bahwa di tempat tersebut terdapat harta karun yang sejatinya miliknya. Ia bimbang. Di satu sisi ia mendamba seorang gadis yaitu anak dari seorang pedagang yang telah dinantinya sepanjang tahun.
“Dalam hidup ini, justru hal-hal sederhanalah yang paling luar biasa; hanya orang-orang bijak yang dapat memahaminya.”
Pertemuan Santiago dengan Raja Salem (yang baru disadarinya di penghujung cerita) membuatnya yakin akan keputusannya untuk pergi ke Mesir. Sang Raja memberinya dua butir batu, urim dan tumim, dan berpesan padanya agar mengejar mimpinya.
Dijuallah seluruh domba-dombanya, ditukarnya buku bacaannya dengan buku yang lebih tebal, dan berangkatlah ia ke Afrika. Tapi belum sampai ia di Mesir, seluruh hartanya raib oleh seorang pencuri. Di tengah kegelisahannya, ia bertemu seorang lelaki pedagang kristal. Setelah terlibat dengan obrolan seputar maktub, Santiago memutuskan tinggal dan mengumpulkan uang untuk kembali ke negara asalnya.
Lelaki pedagang kristal ini memiliki mimpi untuk menunaikan haji, namun di saat hartanya berkecukupan, ia berkehendak lain. Tidak setiap orang merasa bahagia kalau mimpinya menjadi kenyataan, dan pedagang kristal tersebut mengakui bahwa ia takut bila mimpinya menjadi kenyataan, ia jadi tidak punya alasan lagi untuk hidup.
“...kalau setiap hari terasa sama saja, itu karena orang-orang tidak menyadari hal-hal indah yang terjadi dalam hidup mereka setiap hari, seiring terbitnya matahari.”
Santiago yang sempat gamang teringat kembali kepada pesan Sang Raja, yaitu ketika beberapa kali mimpi telah mengingatkannya, namun ia mengabaikannya, maka mimpi tersebut akan pergi. Maka ia kembali berpegang teguh untuk melanjutkan perjalanannya ke Mesir.
Di perjalanan ia bertemu orang inggris yang (setelah mengetahui Santiago memiliki urim dan tumim) mengaku bahwa ia ke Mesir untuk mencari Sang Alkemis. Dari banyak buku milik orang inggris, ia merenungi tiap peristiwa yang telah dialaminya. Santiago mulai yakin akan adanya bahasa universal yang mulanya dipahami semua orang, tapi sudah terlupakan, ya, pertanda.
“Kau harus mengerti, cinta tak pernah menghalangi orang mengejar takdirnya.”
Perjalanan menuju Mesir tidaklah mudah, dikisahkan sedang terjadi perpecahan dan perang, sehingga rombongan Santiago harus berhenti di sebuah daerah. Di sinilah, Santiago bertemu tambatan hatinya, seorang gadis gurun, Fatima namanya.
Tanpa sengaja, Santiago juga bertemu dengan Sang Alkemis, yang kemudian mengajarinya memahami tiap pertanda, dan membimbingnya separuh jalan agar ia dapat sampai ke Mesir.
“Kami saling memandang, saling mendambakan. Aku memberi kehidupan dan kehangatan kepada Bumi, dan Bumi memberiku alasan untuk hidup.”
Di tengah perjalanannya, mereka ditangkap dan Santiago ditantang untuk mengubah dirinya menjadi angin. Santiago pun bertanya pada padang pasir, angin, dan matahari, yang semuanya tak mengerti bagaimana cara mengubah manusia menjadi angin. Tapi mereka berkonspirasi membuat badai pasir dan membuat ilusi seakan-akan Santiago berubah menjadi angin.
“Setiap hari adalah untuk dijalani, atau untuk menandai kepulangan kita dari dunia ini.”
Semua masalah selesai. Santiago menuju Mesir tanpa dampingan Sang Alkemis. Malangnya, sesampainya ia di piramida, ia kembali dirampok. Dan ia teringat pada semua rangkaian peristiwa yang telah dialaminya, yang mengingatkannya pada kampung halamannya.
“...ada bahasa yang tidak bergantung pada kata-kata.”
Santiago sungguh kesal sekaligus berterimakasih pada Sang Alkemis. Kini ia telah menggapai mimpinya, menemukan jati dirinya, juga cinta sejatinya. Dan rupanya, letak harta karun tersebut ada di... bawah pohon sycamore di kampung halamannya.
No comments:
Post a Comment