Merek juga melekat pada sebuah negara. Bukan hanya pada produk atau servis. Salah satunya adalah Indonesia. Nah, untuk mengetahui citra Indonesia di mata dunia, simaklah cerita selingan berikut ini.
Alkisah, di atas kapal kecil di tengah laut, berbincang-bincang lah tiga orang penumpang. Kebetulan mereka berasal dari Indonesia, Malaysia dan Amerika.
"Sepertinya, kapal kita bakal tenggelam. Mungkin karena muatannya terlalu berat." si Malaysia mulai percakapan.
"Wah, kalau begitu kita harus mengurangi muatan," usul si Indonesia.
"Jangan khawatir, teman-teman," sahut si Amerika sambil berdiri.
"Saya membawa setumpuk celana jins dari Amerika. Semuanya akan saya buang ke laut. Di negara saya, yang seperti itu sih banyak. Murah-murah lagi." Setumpuk celana jins pun dibuang oleh si Amerika ke laut.
Beberapa menit kemudian, si Malaysia kembali berkata, "Kapal ini masih mungkin tenggelam. Rupa-rupanya, muatannya masih terlalu berat."
"Jangan khawatir, teman-teman," giliran si Indonesia yang menjawab seraya berdiri. "Saya membawa baju batik dari Indonesia. Semuanya akan saya buang ke laut. Di negara saya, yang seperti itu sih banyak. Murah-murah lagi." Setumpuk baju batik pun di buang oleh si Indonesia ke laut.
Ternyata kapal kecil itu tetap saja terancam tenggelam, karena memang muatannya terlalu berat. Langsung saja si Malaysia dilirik oleh si Amerika maupun si Indonesia. Si Malaysia pun tahu diri. Serta merta ia berdiri.
"Mohon maaf, saya tidak membawa apa-apa," ujar si Malaysia.
"Tetapi, saya tidak tinggal diam." Usai bicara, tiba-tiba saja si Malaysia mendorong si Indonesia sehingga jatuh ke laut.
"Hei, mengapa si Indonesia itu didorong ke laut?" ungkap si Amerika dengan penuh keheranan.
"Jangan khawatir, teman," balas si Malaysia dengan tenang, "Di negara saya, yang seperti ini sih banyak. Murah-murah lagi."
Tahan marah Anda! Demikianlah, merek Indonesia sering mejadi bahan olok-olok, baik dalam keseharian maupun dalam bisnis. Sudah tiba saatnya merek Indonesia dipoles habis-habisan. Istilahnya, grand repositioning. Namun saya juga tahu diri. Mengupas merek sebuah negara terlalu berat buat SettiaBlog. Oleh karena itu di bab ini hanya mengulas merek sebuah daerah. Adapun studi kasusnya adalah Batam, salah satu kota paling dinamis di Asia Tenggara.
Bukan rahasia lagi, mayoritas penduduk Batam adalah pendatang, yang berasal dari berbagai penjuru tanah air, dari Kepulauan Riau, Sumatera, Jawa, Kalimantan maupun Indonesia Timur. Suka atau tidak suka, tentu saja masing-masing etnis mengusung kulturnya sendiri. Ketika segelintir orang mencemaskan keragaman etnis dan kultur ini sebagai benih perpecahan, saya malah memandang sebaliknya. Bukankah keragaman ini dapat menjadi nilai jual wisata.
Agak mirip dengan Amerika Serikat. Hm, bagaimana ceritanya, kok bisa begitu? Walaupun Amerika Serikat juga dikenal sebagai negeri pendatang, tetapi, tengoklah! Betapa lihai dan piawai mereka memperdayakan keragaman etnis dan kultur sebagai alat untuk memajukan dan memasarkan diri.
Tahu sendiri kan, mereka itu terdiri atas kaum kulit putih, kulit hitam, kulit merah (keturunan Indian), kulit cokelat (keturunan Hispanik) dan kulit kuning (keturunan Asia); mewakili hampir segenap penghuni bumi. Lebih jauh lagi, setiap etnis beserta perangkat kulturnya membentuk magnet tersendiri, sehingga menarik warga dunia untuk bertandang ke sana. Wal hasil, jadilah Amerika merek wisata nomor satu di planet ini.
Barangkali Amerika terlalu jauh untuk kita. Baiklah, saya ambil Malaysia sebagai pembanding. Saya berani bertaruh, sebenarnya pembauran etnis di Indonesia jauh lebih membumi ketimbang di Malaysia. Namun, dari segi pemanfaatan keragaman etnis dan kultur sebagai suatu nilai jual wisata, saya yakin kita masih harus belajar dari mereka. Nggak percaya? Perkenankan saya membedah latar belakangnya terlebih dahulu.
Beberapa tahun terakhir, mereka sibuk memasarkan merek Malaysia dengan slogan Truly Asia (Asia yang sesungguhnya) ke seluruh pelosok dunia. Dan slogan itu sangatlah lugas lagi cerdas. Bukankah setiap kali diperdengarkan kata "Asia" di telinga orang barat, maka terbayang di benak mereka seorang berbangsa China, India atau Melayu? Bagi orang barat, Asia sangat identik dengan ketiga etnis ini, baik dari sosok fisik, kultur maupun bahasanya. Iya kan?
Dengan kata lain, Malaysia adalah potret Asia yang sejati. Etnis China, India dan Melayu yang terkesan begitu meng-Asia, ternyata semuanya dapat ditemukan di Malaysia. Maka lahirlah slogan Truly Asia. Begitulah ceritanya. Tak pelak lagi, keragaman etnis dan kultur berhasil menguatkan merek Malaysia. Bahkan sekarang merek Malaysia diakui sebagai salah satu merek wisata terdepan di Asia.
Sejenak, coba kita kilas balik sejarah. Konon, negeri-negeri seperti Jepang dan China pernah mengisolasi diri. Salah satu alasannya adalah demi melindungi keaslian budaya mereka. Bertahan kah? Sejarah mencatat, akhirnya mereka menyerah. Mereka pun membuka diri. Apalagi di tengah gelombang pasang globalisasi belakangan ini, pastilah sikap mengagungkan budaya sendiri dan melecehkan budaya lain sama sekali tidak pada tempatnya (anachronism). Benar? Bukankah kitab suci juga mengajarkan dan menganjurkan, manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal?
Nah, penduduk Batam patut bersyukur. Kenapa? Yah, karena beragam etnis dan kultur berkumpul di sana. Katakanlah, Melayu, Padang, Batak, Jawa, Sunda, Betawi, Flores, Teochew, Hokkian dan masih banyak lagi. Pendek kata, hampir semua etnis, kultur dan agama besar di Indonesia terwakili di Batam. Maka, terimalah itu sebagai strength, bukan weakness. Betapa tidak? Bukankah dengan demikian, selain Jakarta, Batam layak didaulat sebagai miniatunya Indonesia.
Hebatnya lagi, kendati etnis dan kulturnya beragam, masyarakatnya tetap rukun. Boleh dikatakan, di sana tidak ada kebencian dan kecemburuan yang berarti. Itu betul. Di Batam, ketika si miskin melihat si kaya, ia akan bergumam, "Suatu hari nanti aku akan seperti dia!" Sementara di kota-kota tertentu, ketika si miskin melihat si kaya, ia akan bergumam, "Suatu hari nanti, saya akan habisi dia!" Yah, pantas saja rusuh, tidak rukun.
Sementara itu, secara geografis, Batam merupakan titik terluar dari Indonesia yang bersinggungan langsung dengan sejumlah negara. Sekadar catatan, perjalanan laut dari Batam ke Singapura dan Malaysia hanya memakan waktu sekitar dua jam. Oleh karena itu, wajar apabila Batam bertindak sebagai representasi Indonesia. Lagi pula di Batam sudah berdiri Sumatera Promotion Centre; pusat pemasaran provinsi di Sumatera.
Selanjutnya, agar tidak mngcewakan, haruslah ada kesesuaian pernyataan dengan kenyataan. Dengan kata lain, ini harus dikongkretkan, di mana keragaman yang terlanjur dimiliki mesti divisualisasikan melalui ikon dan aktivitas budaya. Amatilah, Singapura! Dari segi budaya, mereka tidak sekaya Malaysia dan Amerika. Akan tetapi, apakah kita melihat Singapura sebagai negara yang minus budaya? Hm, saya tidak memandangnya begitu.
Ada-ada saja perhelatan budaya yang dipertunjukkan di Singapura. Dan ini menjadi salah satu alasan mengapa hampir 10 juta pelancong mancanegara bertandang ke sana tiap tahunnya. Padahal penduduknya sekitar 4 juta jiwa. Sebagai merek wisata, Singapura terhitung berhasil. Bandingkan saja, Indonesia hanya mampu mendatangkan sekitar 5 juta pelancong dalam setahun. Tahu sendiri kan, penduduk Indonesia lebih dari 220 juta jiwa. PR kita bersama hanyalah menggalinya, sehingga memungkinkan objek wisata yang enjoyable dan penduduk yang sociable. Tentu saja, harus dilengkapi dengan infrastruktur yang visitable dan lingkungan yang comfortable.
No comments:
Post a Comment