“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS Al-Tîn [95] :4-6). Islam adalah iman dan amal. Artinya, iman merupakan fondasi pertama dalam perbuatan amal.
Begitu juga amal, merupakan follow up dari ”perbuatan iman” itu sendiri. Jadi, Islam adalah integrasi dari dua entitas (iman dan amal) dalam suatu “kerja”.
Singkatnya, hidup seorang muslim senantiasa bekerja demi terwujudnya kemaslahatan dunia (rahmatan lil „âlamîn). Manusia (suka atau tidak) merupakan “binatang kerja” (animal lobarans). Demikianlah hakikat eksistensi kelahiran manusia: untuk bekerja. Sebaliknya, jika manusia itu menganggur terancamlah harga dan hakikat dirinya, karena ia tidak dapat mengaktualisasikan diri dengan masyarakat. Menurut arti secara letterlijk, etos berarti semangat. Yaitu semangat dalam menjalani setiap pekerjaan yang digeluti, demikian apa yang dimaksud tema di atas.
Persoalannya kemudian adalah semangat dalam dan untuk pekerjaan seperti apa? Sehingga pekerjaan itu mampu mengantarkan manusia pada kedudukan yang tinggi, tentu saja karena manusia adalah khalifah di muka bumi ini. Manusia bekerja jika dicermati secara mendalam untuk kepentingan dirinya sendiri pada satu sisi, dan untuk kepentingan bersama pada pihak lain. Dalam konteks tersebut kehidupan ini berjalan dialektis; individu satu dengan lainnya saling mengisi kekurangan (kalau bisa disebut kekurangan) masing-masing pihak.
Hal ini, memang, merupakan sesuatu yang taken for granted yang dalam bahasa agama disebut sunnatullâh. Dengan kata lain, manusia sendiri secara fitrah memiliki keterbatasan kemampuan untuk bisa survive menapaki hidup ini. Manusia diciptakan hidup dalam sebuah kondisi saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Menurut Goethe, sebagaimana dikutip Cak Nur, “Manusia membawa dalam dirinya tidak hanya pribadinya sendiri tetapi seluruh kemanusiaan dengan segala potensinya sekalipun dia dapat mewujudkan potensi-potensi itu hanya dengan suatu cara yang terbatas, disebabkan pembatasan-pembatasan dari luar terhadap eksistensi pribadinya”.
Berari jelas, dengan bekerja dalam kerangka di atas terpenuhi hubungan horizontal, atau manusia dengan manusia. Namun persoalannya tidak cukup sampai disitu, bagaimana bekerja tidak saja sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar fisik dan biologis , juga secara teologis, yaitu bekerja untuk aktualisasi harga dan harkat manusia sebagai makhluk Tuhan kita sering menyebutnya dengan hubungan vertikal. Bahkan dalam diskursus keagamaan ada apa yang disebut dengan menjalin hubungan positif dengan alam atau lingkungan (hablum minal „âlam) dimana kita hidup. Yang saya maksud di sini adalah integralisasi humanisasi kerja. Yaitu humanisasi kerja yang tetap mampu memelihara nilai-nilai harga, dan harkat kemanusiaan.
Pekerja tidak saja hanya menjadi komoditas produksi. Bekerja tanpa memahami substansi pekerjaan yang digelutinya saban waktu dan hari. Ia menjadi manusia patuh yang seakan sulit menolak perintah atasan. Yang terjadi kemudian adalah sikap fatalistik, segala sesuatu yang serba pasti. Dalam agama (Islam) terdapat penilaian terhadap manusia, yaitu adanya dua fungsi: teologi negatif, meminjam istilah intelektual muslim, Muslim Abdurrahman, yang dalam bahasa agama disebut amar ma‟rûf nahi munkar. Teologi positif, tutur Muslim, berkaitan dengan etos kerja manusia di dunia sebagai khalifah Tuhan untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Dalam kaca mata agama bekerja pada dasarnya merupakan ibadah, karenanya akan mendapatkan pahala.
Bekerja dalam pandangan agama memiliki tujuan pada dua entitas, dunia dan akhirat. Bekerja memiliki tujuan yang tinggi, yakni bersifat transenden, maka bekerja bukan sekedar mengejar sejumlah upah. Bekerja yang dilandasi oleh hasrat menyumbangkan kontribusi kepada peradapan yang didorong oleh keinginan mencari keridlaan Tuhan. Masalah mencari keridlaan ini penting agar kita tidak terjebak pada dikhotomi dunia dan akhirat. Padahal dunia dan akhirat merupakan konsep waktu yang kontinyu dari perjuangan hidup manusia yang secara religius harus ditempatkan dalam pandangan eskatologis yang panjang (Muslim, 1995). Orang kebanyakan terjangkiti sikap eskapistis, yaitu menempatkan pengharapan surga secara berlebihan dan kurang mementingkan karya nyata di dunia. Dan selanjutnya hidup bergantung pada takdir Tuhan. Di sinilah kelemahan kita, padahal banyak ajaran agama Islam yang menggugah manusia untuk mengejar kemakmuran hidup di dunia. Hidup tidak melulu mengejar tiket akhirat an sich, tapi melupakan kehidupan di dunia. Dengan bahasa lain, kehidupan yang ideal adalah kehidupan yang balance antara dunia dan akhirat. Tentunya sikap keseimbangan tersebut dengan sendirinya akan melahirkan keadaan yang positif. Misalnya: sikap puritan, kerja keras, hemat, menghargai waktu, kesediaan menunda kesenangan sesaat demi peningkatan prestasi, dan lain sebagainya.
Namun demikian betulkah persoalannya sesederhana itu, mampukah kita menciptakan kondisi bagi tumbuhnya benih-benih etika keagamaan semacam itu? Mungkin tepat apa yang dikemukakan oleh Muslim, bahwa hal itu bisa kita wujudkan, asal kita berani menonjolkan orientasi “kekhalifahan” daripada “kepahalaan”. Dengan kata lain, kerja sebagai ibadah, dan kerja tidak hanya sebagai penyangga kehidupan. Kerja tidak saja hanya dipahami sebagai wahana menumpuk sejumlah materi, tapi sebagai tugas kekhalifahan di muka bumi. Dan menjadikan manusia yang memanusia dan dimanusiakan.
Penting juga kiranya menjaga stabilitas lingkungan kita bekerja. Di sinilah kita melihat bahwa persoalan kerja tidak bisa dilihat dalam satu sisi per se, tapi merupakan proses aktualisasi manusia dalam mencari harga dan harkat kemanusiaannya. Pada akhir tulisan ini saya ingin mengutip pendapat Weber, “Agama mungkin dapat memberikan motivasi bagi peningkatan prestasi kerja atau ekonomi dalam lingkungan tertentu jika ada faktor-faktor yang menumbuhkan affinitas ekletif"
No comments:
Post a Comment