Alkisah, seorang laki - laki setengah baya sedang duduk sendirian, memperhatikan matahari yang berangsur - angsur tenggelam. Suasananya cukup hening. Ia melihat begitu indahnya warna langit yang di penuhi dengan mega berwarna kuning jingga. Ia memperhatikannya dengan seksama, hingga akhirnya suasana indah itu hilang seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat. Entah apa penyebabnya, tiba - tiba ia tak mampu membendung air matanya. Hatinya terasa pedih. Ia menangis tersedu - sedu.
Ia menengadahkan kedua tangannya sambil berkata : "Ilahi lastu lil firdausi ahlan Walaa aqwaa ‘alannaril jahiimii fahabli taubatan waghfir dzunuubi fainnaka ghafirudzdzambil ‘adzhiimii dzunuubi mitslu a’daadir rimali fahablii taubatan yaa dzal jalaali wa ‘umrii naaqishun fii kulliyaumi wa dzambii zaa idun kaifahtimali ilahi ‘abdukal ‘aashi ataaka muqirran bi dzunubi waqad da’aaka fa in taghfir faanta lidzaka ahlun wa in tadrud faman narjuu siwaakaa “ Terjemahannya kurang lebih demikian : ” Ya Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi ahli syurga firdausMu Namun aku juga tak kan sanggup masuk ke neraka jahimMu. Oleh karena itu, terimalah taubatku dan tutupilah dosa - dosaku. Sesungguhnya Engkau maha mengampuni dosa – dosa besar. Dosa - dosa ku seperti hamparan pasir di laut, maka terimalah taubatku wahai Dzat yang Maha Agung… Umurku terus berkurang setiap hari, namun dosa - dosaku bertambah setiap hari… Bagaimana aku mampu menanggungnya ? Ya Tuhanku, hambaMu yang berlumur dosa ini datang kepadaMu. Sesungguhnya aku benar - benar berdosa kepadaMu. Dan bila Engkau tidak mengampuni aku, kepada siapa lagi aku berharap selain Engkau ?”
Abu Nawas, sosok yang dikenal sosok lugu, agak pandir dan sering kita anggap sosok konyol yang tingkah dan ucapannya mengundang tawa, sebenarnya adalah orang yang baik dan sangat jujur. Kalimat - kalimat diatas adalah bentuk pengakuan dirinya atas semua dosa - dosa yang telah ia perbuat. Ketika Ia menyadari usianya yang semakin senja, tentu saja kepastian untuk segera kembali menghadap Allah itu pun akan segera datang. Ia menangis ketika menyaksikan matahari tenggelam, karena ia menyadari bahwa orang hidup di dunia ini dapat di ibaratkan seperti itu. Namun jarang sekali kita mau merenungkan tanda - tanda kebesaran Allah SWT.
Dan mengambil pelajaran dari peristiwa demi peristiwa dalam hidup kita. Ketika matahari akan tenggelam sering kali membawa suasana menyenangkan dan warna langit menjadi sangat indah. Sampai - sampai banyak orang yang terlena oleh keindahannya. Sementara mereka tidak menyadari bahwa sebentar lagi matahari akan tenggelam dan kegelapan malampun akan segera menyelimutinya. Kecuali orang yang sadar dan telah menyiapkan diri dengan membawa lentera untuk menerangi ketika malam tiba. Rasulullah saw menangis hingga berguncang dadanya dan jenggotnya basah oleh air mata ketika menerima wahyu yang berbunyi : ” Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda - tanda (kebesaran Allah) bagi orang – orang yang berakal. Yaitu orang - orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk ataupun berbaring, dan mereka yang merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata : ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua dengan sia - sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.” (QS. Ali - Imran : 190 – 191)
Ketika Bilal bin Rabbah, muadzin kesayangan Rasulullah datang menegur, ” Mengapa engkau menangis wahai Rasulullah ? Padahal Allah telah mengampuni dosa - dosamu yang lalu dan yang akan datang ?” Rasulullah pun menjawab, ” Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur ? Aku menangis karena tadi malam telah turun wahyu kepadaku yang bunyinya : ‘Celakalah orang - orang yang membaca ayat ini kemudian tidak mau merenungkannya.’ “
Saat ini, Rasulullah dan Abu Nawas sama - sama sudah tiada, namun kita harus merenungkan semua ini. Sudahkah kita menjadi hamba yang bersyukur dan menyadari keberadaan kita di dunia ini dan kewajiban kita padaNya. Seperti yang di katakan oleh Rasulullah bahwa hidup di dunia ini hanya persinggahan saja untuk menuju ke tujuan utama kita yaitu akhirat. Namun sudah cukupkan bekal kita untuk melakukan perjalanan tersebut ? Perjalanan akhirat menuju kehidupan yang sebenarnya, yang kekal dan abadi ?
Berikut syair lengkap dan artinya:
اِلَهِى لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ اَهْلًا # وَلَا اَقْوَى عَلَى النَّاِر الْجَحِيمِ
Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi
Wahai Tuhanku, hamba tak pantas menjadi penghuni syurga. Namun, hamba pun tak sanggup menjadi penghuni neraka.
فَهَبْ لِى تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِي # فَإِنَّكَ غَافِرُ الذُنُوْبِ العَظِيْمِ
Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil ‘azhiimi
Terimalah tobat-tobat hamba dan ampunilah dosa-dosa hamba. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pengampun atas segala dosa yang hamba perbuat.
ذُنُوْبِى مِثْلُ اَعْدَادِ الرِّمَالِ # فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَا ذَا الْجَلَالِ
Dzunuubii mitslu a’daadir rimaali fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali
Dosa-dosa hamba bagaikan tumpukan pasir. Terimalah tobat hamba, wahai yang Maha Mulia.
وَ عُمْرِى نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ # وَ ذَنْبِي زَائِدٌ كَيْفَ اخْتِمَالىِ
Wa ‘umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzambii zaa-idun kaifah timaali
Sementara umur hamba kian hari kian berkurang. Dan dosa hamba kian bertambah, bagaimana mungkin hamba mampu memikulnya.
إِلَهِى عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ # مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ
Ilaahii ‘abdukal ‘aashii ataaka muqirran bidzdzunuubi wa qad da’aaka
Wahai tuhanku, hamba-Mu yang penuh dengan dosa ini, kini menghadap-Mu memohon ampunan.
فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَاكَ اَهْلٌ # وَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُوْ سِوَاكَ
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka
Jika Engkau mengampuni, pantaslah karna Engkau maha pengampun. Namun, jika Engkau menolak permohonan hamba, kepada siapa hamba berharap selain Engkau.
No comments:
Post a Comment