Perjalanan haji bukan perjalanan mencari dunia, melainkan perjalanan menuju Allah. Pelaku haji sedang menuju ke rumah Allah, sehingga semua perkara yang engkau kerjakan semasa haji haruslah dikerjakan dengan orientasi Ilahi. Para pelaku haji adalah rombongan kafilah menuju Allah.
Para nabi dan imam suci merupakan musafir menuju Allah SWT. Mereka tidak pernah melanggar program yang telah digariskan oleh syariat untuk sampai kepada Sang Pencipta. Ketika engkau berada di miqat, engkau mengucapkan talbiyah (labbaika allahummah labbaik) yang berarti panggilan Allah SWT telah engkau sambut. Dalam perjalanan ini, tidaklah patut bagimu untuk berbuat sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah SWT sehingga Pencipta langit dan bumi itu mengatakan: "Aku tidak menerimamu, karena engkau bersikap tidak sesuai dengan ajaran Islam."
Dalam perjalanan Ilahi ini, pelaku haji merajam setan dengan jumrah. Tetapi, sekiranya ia sendiri berada pada barisan setan—al-'iyadhu billah—artinya ia merajam dirinya sendiri. Karena itu, ia harus terlebih dahulu menjadi pasukan ar-Rahman (Maha Pengasih) sehingga perajaman yang ia lakukan adalah perajaman rahmaniah atau perajaman pasukan Allah SWT atas pasukan setan.
Ucapan talbiah yang diulang berkali-kali itu akan menemukan artinya yang hakiki apabila manusia mendengar panggilan Allah SWT dengan sepenuh jiwanya dan menjawab seruan-Nya dengan al-ism al-jami' (Nama Allah yang Sempurna). Pada saat itu, manusia berada di mahdhar. Allah SWT dan tempat penyaksian keindahan al-Mahbub (Sang Kekasih Mutlak), seolah-olah tatkala manusia berkata labbaik di mahdhar ini ia tidak lagi sadar akan dirinya dan terus mengulang-ulang talbiahnya. Setelah itu, manusia menolak menyekutukan Allah secara mutlak.
Menurut para arif (ahli makrifat), penolakan mempersekutukan bukan hanya sebatas uluhiyah (ketuhanan), melainkan mencakup semua tingkatannya termasuk kefanaan aiam dan semua yang kita suka dan inginkan. Misalnya, ungkapan inna al-hamda wa al-ni'mata laka berarti segala puji dan nikmat hanya untuk-Mu. Menurut kaca mata ahli makrifat, pengkhususan pujian dan nikmat untuk Allah dan penolakan sekutu itu merupakan tujuan akhir tauhid. Jelasnya, segala pujian dan nikmat yang mewujud di alam semesta ini adalah pujian dan karunia Allah yang tiada sekutu hagi-Nya. Dan ini berlaku pada setiap mauqif dan masy'ar, wuquf dan harakah (diam dan gerakan) dalam ibadah haji. Semua yang bertentangan dengan prinsip itu merupakan kesyirikan dalam artian umum, di mana kita yang buta hati ini terjangkit oleh penyakit seperti itu. Talbiahmu harus merupakan jawaban atas seruan Allah SWT. Jadikan dirimu muhrim (berihram/boleh berdekatan) di hadapan-Nya dan hilangkan kesyirikan dalam semua tingkatnya dengan mengucapkan labbaik kepada Allah.
Berhijrahlah dari berhala diri (ego) yang merupakan induk semua kesyirikan menuju kepada Allah SWT yang Mahatinggi dan Mahamulia. Bagi mereka yang serius mencari hakikat, semoga dapat merasakan "kematian" setelah hijrah ini dan mendapatkan pahalanya di sisi Allah SWT.
Akan tetapi, bila engkau mengabaikan dimensi-dimensi spiritual haji, maka mustahil engkau bisa melepaskan diri dari cengkeraman setan. Sebelum engkau melepaskan diri dari cengkeraman ego dan hawa nafsu, mustahil engkau dapat melakukan jihad fi sabilillah dan membela harim (kehormatan) Allah SWT.
Peristiwa pengorbanan lsmail as oleh Nabi Ibrahim as adalah suatu hal yang amat besar menurut kacamata manusia. Sedangkan yang lebih besar dari itu adalah kejadian sebelum pengorbanan itu. Pembicaraan yang berlangsung antara ayah dan anak merupakan sebuah perkara ruhani yang berada di luar nalar kita. Kita hanya tahu bahwa Nabi Ibrahim telah berkorban. Pengorbanan memang penting, tetapi apakah dalam persepsi Nabi Ibrahim ia sendiri telah berkorban? Adakah dalam perspektif lbrahim, ia telah mengorbankan seorang anak untuk Allah SWT? Dan adakah Ismail juga berpikiran sama dengan ayahnya? Atau persoalannya tidak demikian? Pengorbanan berlaku bagi manusia yang masih memiliki ego dan cinta diri, sehingga ia mengatakan "aku mengorbankan anakku di jalan Allah dan aku korbankan diriku untuk Allah." Pengorbanan yang seperti itu memang sangat penting dan luar biasa. Namun, bagi Nabi Ibrahim, pengorbanannya bukan perkara yang penting dan berat, karena ia tidak lagi menganggapnya sebagai suatu pengorbanan. Nabi Ibrahim as sudah tidak lagi melihat dirinya sehingga dapat dikatakan ia telah berkorban. Dapat dikatakan bahwa pengorbanan terjadi bila ada asumsi "aku" dan "Engkau", sehingga timbul klaim "aku telah berkorban untuk-Mu." Sedangkan dalam kaca mata ahli makrifat dan wali Allah, cara pandang seperti itu adalah bagian dari kesyirikan, meski rnenurut pandangan kita pengorbanan itu sudah merupakan suatu kesempurnaan yang besar.
No comments:
Post a Comment