Video klip di atas ada "You'll Be in My Heart" milik Phil Collins. Lagu c menekankan pentingnya dukungan, kepercayaan, dan cinta dalam setiap hubungan, baik itu hubungan keluarga,
hubungan sahabat atau hubungan yang lain. O ya, kita semua kan juga sering mengucapkan kata heart (hati), bukan organ hati manusia secara fisik kan ya. Dalam psikologi, "hati" ndak merujuk pada organ fisik, tetapi pada pusat emosi, perasaan, dan kesadaran spiritual seseorang. Ini adalah konsep yang sering dikaitkan dengan hati nurani, intuisi, dan kebijaksanaan batin. Hati juga sering dianggap sebagai pusat spiritualitas dalam berbagai tradisi, termasuk dalam psikologi Sufi, yang menekankan pentingnya hati dalam hubungan manusia dengan Allah SWT.
Ditinjau dari lingkup kejiwaan, manusia dipengaruhi oleh dimensi psikis yang memiliki nilai dan tingkat kemanusiaan yang berasal dari dimensi jiwanya (nafs). Artinya, meskipun manusia terdiri dari esensi material (jasmani) dan imaterial (jiwa, ruh, akal, dan hati), namun hakikatnya esensi material manusia hanyalah materi dasar yang mati, karena kehidupannya bergantung pada adanya esensi lain, yaitu nafs atau ruh.
Apabila kita tinjau berdasarkan konsep nafs dalam Al-Qur’an, dapat kita interpretasikan bahwa nafs merupakan bagian psikis yang memiliki dua kekuatan, yakni Al-ghadabiyyah dan Al-syahwaniyyah. Landasan kerja kedua kekuatan ini ialah berupaya untuk mengejar kenikmatan dan membebaskan dorongan agresif dan hasrat seksual, sehingga manusia yang cuma menuruti kedua kekuatan ini layaknya seperti binatang dalam arah hidup yang diikutinya, bahkan lebih tercela. Itulah sebabnya dorongan ini dinamakan al-nafs al-hayawaniyyah yang jika dibiarkan akan membawa manusia pada gaya hidup hedonistik, materialistik, seks bebas, dan lain-lain. Gaya hidup semacam inilah yang disalahkan dalam Al-Qur’an bahwa saat manusia dikuasai oleh hawa nafsu itu akan selalu mengarahkannya pada keburukan dan kesengsaraan. Namun seandainya jiwa mampu mengontrol kedua kekuatan tersebut, maka keduanya akan berperan sebagai pelindung dan kekuatan hidup, sekaligus mendorong pemiliknya untuk menunjukkan sisi kemanusiannya, berbuat kebaikan, dan menikmati hidup. Keadaan ini hanya akan terjadi ketika jiwa manusia mengutamakan sisi akal dan hati atas hawa nafsunya.
Akal dan hati merupakan dua unsur yang menentukan nilai dan tingkat kepribadian manusia, sebagai bentuk karakter manusia dan memberikan ciri khas dalam aspek nafs. Selain memberikan ciri khas kepada aspek al-nafs, akal dan hati yang berperan sebagai aspek psikis juga memberikan ciri khas kepada al-ruh, dan al-fitrah. Sebagai perumpamaan, makhluk yang hanya dikendalikan oleh nafs (nafsu) yaitu binatang. Sedangkan makhluk yang hanya dipengaruhi oleh al-ruh dan al-fitrah yaitu malaikat. Sementara makhluk dengan gabungan keduanya yakni fungsi dan tingkat kebinatangan dan kemalaikatan yaitu manusia karena dirangkai dengan dimensi akal dan hati dalam susunan komposisi psikis manusia.
Dijelaskan oleh Al-Ghazali bahwa tubuh adalah kendaraan bagi qalb dengan bahan bakar yaitu ilmu yang bermanfaat yang akan menghasilkan amal saleh, dimana ilmu tersebut didapat selama kehidupan dunia. Karena tubuh adalah perangkat yang bisa rusak, maka qalb mendapat kewajiban untuk menjaga tubuh dengan tiga cara, yaitu dengan makan, dengan melindunginya dari sebab-sebab kerusakan tubuh, dan dengan ilmu pengetahuan. Dalam perkara makan, terdapat dua tentara yang diciptakan untuk qalb yakni batin yang berupa syahwat dan zahir yang berupa tangan dan anggota tubuh yang dibutuhkan saat makan. Dalam memelihara dari sebab kerusakan diciptakan pula dua tentara, yakni batin terkait sifat marah dan zahir ialah tangan dan kaki yang menuruti kemauan sifat marah tersebut. Jadi dalam hal ini seluruh anggota tubuh ibarat senjata bagi jiwa (qalb). Disamping itu, dalam menjaga tubuh dari kehancuran diciptakan juga unsur pengetahuan, pertama: batin, yakni pengetahuan daya indrawi (pendengaran, penglihatan, perasa,peraba, dan penciuman), kedua: zahir, yakni alat panca indra
Manusia (nafs) ibarat gambaran sebuah kota pemerintahan. Di mana qalb sebagai presiden, tubuh seakan seluruh wilayah, akal sebagai perdana menteri, syahwat sebagai gubernur wilayah, amarah sebagai musuh, sementara anggota tubuh baik zahir maupun batin laksana para prajurit presiden. Menjadi kewajiban presiden untuk bekerjasama serta bermusyawarah dengan perdana menteri dimana ia yang memiliki daya nalar berpikir guna menciptakan keadaan negara yang baik terutama dalam mengawasi gubernur dan para musuh. Kalaupun demikian yang terjadi, niscaya jiwa seseorang akan baik, namun kalau presiden abai, perdana menteri pun ndak ada kekuatan untuk mengamankan para musuh sehingga semuanya berada di bawah kendali musuh, maka terjadilah kekacauan pada jiwa.
Demikian pula gambaran terkait jiwa seseorang, dimana qalb dan ‘aql harus mampu mengendalikan nafsu dan amarah, sehingga dengannya semua anggota tubuh akan mengarah pada kebaikan. Ketika qalb ndak bekerja, maka ‘aql menjadi lemah, sehingga nafsu dan amarah lebih mudah menguasai jiwa seseorang. Akibatnya, jiwa semakin diwarnai oleh nafsu dan amarah yang akan membawanya pada keburukan.
Dari semua penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa dalam jiwa manusia tampaknya selalu ada tarik menarik yang terjadi antara akal dan nafsu. Akal selalu mengarah pada kebaikan, sedangkan nafsu selalu mengarah pada perilaku buruk. Sebenarnya, jika nafsu dan amarah bisa dikendalikan itu akan menjadi baik karena di situlah kehidupan seimbang. Namun keduanya cenderung selalu berlebihan dan mengarah pada keburukan. Setelah itu, apakah akal yang diutamakan atau nafsu yang dikedepankan, ini masih dipengaruhi lagi oleh kondisi hatinya, karena hati (qalb) juga berpikir dan yang memutuskan. Tetapi dalam keadaan sehari-hari, meskipun tiap manusia telah diberikan ‘aql dan qalb yang sama, faktanya kedua dimensi psikis ini ndak selalu mampu mengendalikan nafsu dan keinginan manusia. Namun ndak dapat dipungkiri, bahwa faktor pengetahuan terlebih dahulu lah yang mempenagruhi perilaku manusia.
Udah ya, maafin SettiaBlog ya. Mungkin kali ini bahasannya kurang enak tapi SettiaBlog harus tetap memaparkannya. Untuk backgroundnya ini kelihatan sederhana tapi itu sebenarnya kombinasi banyak warna dan di lapisan background paling bawah ada pola lekukan yang acak.
Ditinjau dari lingkup kejiwaan, manusia dipengaruhi oleh dimensi psikis yang memiliki nilai dan tingkat kemanusiaan yang berasal dari dimensi jiwanya (nafs). Artinya, meskipun manusia terdiri dari esensi material (jasmani) dan imaterial (jiwa, ruh, akal, dan hati), namun hakikatnya esensi material manusia hanyalah materi dasar yang mati, karena kehidupannya bergantung pada adanya esensi lain, yaitu nafs atau ruh.
Apabila kita tinjau berdasarkan konsep nafs dalam Al-Qur’an, dapat kita interpretasikan bahwa nafs merupakan bagian psikis yang memiliki dua kekuatan, yakni Al-ghadabiyyah dan Al-syahwaniyyah. Landasan kerja kedua kekuatan ini ialah berupaya untuk mengejar kenikmatan dan membebaskan dorongan agresif dan hasrat seksual, sehingga manusia yang cuma menuruti kedua kekuatan ini layaknya seperti binatang dalam arah hidup yang diikutinya, bahkan lebih tercela. Itulah sebabnya dorongan ini dinamakan al-nafs al-hayawaniyyah yang jika dibiarkan akan membawa manusia pada gaya hidup hedonistik, materialistik, seks bebas, dan lain-lain. Gaya hidup semacam inilah yang disalahkan dalam Al-Qur’an bahwa saat manusia dikuasai oleh hawa nafsu itu akan selalu mengarahkannya pada keburukan dan kesengsaraan. Namun seandainya jiwa mampu mengontrol kedua kekuatan tersebut, maka keduanya akan berperan sebagai pelindung dan kekuatan hidup, sekaligus mendorong pemiliknya untuk menunjukkan sisi kemanusiannya, berbuat kebaikan, dan menikmati hidup. Keadaan ini hanya akan terjadi ketika jiwa manusia mengutamakan sisi akal dan hati atas hawa nafsunya.
Akal dan hati merupakan dua unsur yang menentukan nilai dan tingkat kepribadian manusia, sebagai bentuk karakter manusia dan memberikan ciri khas dalam aspek nafs. Selain memberikan ciri khas kepada aspek al-nafs, akal dan hati yang berperan sebagai aspek psikis juga memberikan ciri khas kepada al-ruh, dan al-fitrah. Sebagai perumpamaan, makhluk yang hanya dikendalikan oleh nafs (nafsu) yaitu binatang. Sedangkan makhluk yang hanya dipengaruhi oleh al-ruh dan al-fitrah yaitu malaikat. Sementara makhluk dengan gabungan keduanya yakni fungsi dan tingkat kebinatangan dan kemalaikatan yaitu manusia karena dirangkai dengan dimensi akal dan hati dalam susunan komposisi psikis manusia.
Dijelaskan oleh Al-Ghazali bahwa tubuh adalah kendaraan bagi qalb dengan bahan bakar yaitu ilmu yang bermanfaat yang akan menghasilkan amal saleh, dimana ilmu tersebut didapat selama kehidupan dunia. Karena tubuh adalah perangkat yang bisa rusak, maka qalb mendapat kewajiban untuk menjaga tubuh dengan tiga cara, yaitu dengan makan, dengan melindunginya dari sebab-sebab kerusakan tubuh, dan dengan ilmu pengetahuan. Dalam perkara makan, terdapat dua tentara yang diciptakan untuk qalb yakni batin yang berupa syahwat dan zahir yang berupa tangan dan anggota tubuh yang dibutuhkan saat makan. Dalam memelihara dari sebab kerusakan diciptakan pula dua tentara, yakni batin terkait sifat marah dan zahir ialah tangan dan kaki yang menuruti kemauan sifat marah tersebut. Jadi dalam hal ini seluruh anggota tubuh ibarat senjata bagi jiwa (qalb). Disamping itu, dalam menjaga tubuh dari kehancuran diciptakan juga unsur pengetahuan, pertama: batin, yakni pengetahuan daya indrawi (pendengaran, penglihatan, perasa,peraba, dan penciuman), kedua: zahir, yakni alat panca indra
Manusia (nafs) ibarat gambaran sebuah kota pemerintahan. Di mana qalb sebagai presiden, tubuh seakan seluruh wilayah, akal sebagai perdana menteri, syahwat sebagai gubernur wilayah, amarah sebagai musuh, sementara anggota tubuh baik zahir maupun batin laksana para prajurit presiden. Menjadi kewajiban presiden untuk bekerjasama serta bermusyawarah dengan perdana menteri dimana ia yang memiliki daya nalar berpikir guna menciptakan keadaan negara yang baik terutama dalam mengawasi gubernur dan para musuh. Kalaupun demikian yang terjadi, niscaya jiwa seseorang akan baik, namun kalau presiden abai, perdana menteri pun ndak ada kekuatan untuk mengamankan para musuh sehingga semuanya berada di bawah kendali musuh, maka terjadilah kekacauan pada jiwa.
Demikian pula gambaran terkait jiwa seseorang, dimana qalb dan ‘aql harus mampu mengendalikan nafsu dan amarah, sehingga dengannya semua anggota tubuh akan mengarah pada kebaikan. Ketika qalb ndak bekerja, maka ‘aql menjadi lemah, sehingga nafsu dan amarah lebih mudah menguasai jiwa seseorang. Akibatnya, jiwa semakin diwarnai oleh nafsu dan amarah yang akan membawanya pada keburukan.
Dari semua penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa dalam jiwa manusia tampaknya selalu ada tarik menarik yang terjadi antara akal dan nafsu. Akal selalu mengarah pada kebaikan, sedangkan nafsu selalu mengarah pada perilaku buruk. Sebenarnya, jika nafsu dan amarah bisa dikendalikan itu akan menjadi baik karena di situlah kehidupan seimbang. Namun keduanya cenderung selalu berlebihan dan mengarah pada keburukan. Setelah itu, apakah akal yang diutamakan atau nafsu yang dikedepankan, ini masih dipengaruhi lagi oleh kondisi hatinya, karena hati (qalb) juga berpikir dan yang memutuskan. Tetapi dalam keadaan sehari-hari, meskipun tiap manusia telah diberikan ‘aql dan qalb yang sama, faktanya kedua dimensi psikis ini ndak selalu mampu mengendalikan nafsu dan keinginan manusia. Namun ndak dapat dipungkiri, bahwa faktor pengetahuan terlebih dahulu lah yang mempenagruhi perilaku manusia.
Udah ya, maafin SettiaBlog ya. Mungkin kali ini bahasannya kurang enak tapi SettiaBlog harus tetap memaparkannya. Untuk backgroundnya ini kelihatan sederhana tapi itu sebenarnya kombinasi banyak warna dan di lapisan background paling bawah ada pola lekukan yang acak.
Video klip kedua ada "Against All Odds" ju ga milik Phil Collins. Kalau klipnya ini di ambil dari film 'once upon a time in America" yang mengambil latar waktu sekitar tahun 1930 an. SettiaBlog suka gaya rambutnya, gaya pakaiannya dan setidaknya SettiaBlog juga tahu bagaimana kehidupan di sekitar tahun 1930 an, bagus kan ya buat menambah wawasan.
Dalam salah satu karyanya yang berharga, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana lisan ndak hanya mencerminkan keadaan hati, tetapi juga memiliki potensi untuk mempengaruhinya. Kutipan dari "Al-Fawaid" yang menyatakan, "Lisan adalah penerjemah hati. Apa yang ada di hati akan tampak dari ucapan lisan. Jika hati bersih dan baik, maka ucapan pun akan baik. Namun, jika hati kotor, maka lisan pun akan kotor," menggambarkan hubungan timbal balik antara hati dan lisan. Konsep ini memiliki paralel yang menarik dengan teknik psikologi modern, khususnya dalam pemanfaatan ulangan ucapan sebagai alat sugesti untuk mempengaruhi pikiran dan emosi.
Dalam psikologi, teknik sugesti melalui ulangan sering digunakan untuk memprogram ulang pola pikir dan emosi seseorang. Ulangan kata-kata atau frasa tertentu secara konsisten dapat membantu mengubah sikap internal kita terhadap berbagai situasi. Misalnya, mengulangi afirmasi positif seperti "Saya mampu dan saya kuat" dapat membantu membangun kepercayaan diri dan mengurangi kecemasan.
Menurut Ibnu Qayyim, kebersihan hati terkait erat dengan kejernihan lisan. Ulangan kata-kata positif dapat dianggap sebagai alat untuk membersihkan hati, sama seperti air membersihkan fisik. Saat kita secara aktif memilih untuk mengulangi kata-kata yang membangun dan positif, kita sebenarnya sedang membersihkan hati kita dari pikiran-pikiran negatif dan toksik, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kualitas ucapan kita.
Penerapan Afirmasi Harian: Memulai hari dengan afirmasi positif dapat menetapkan nada untuk pemikiran dan interaksi yang lebih positif sepanjang hari. Misalnya, mengulangi "Saya menghargai diri sendiri dan orang lain" dapat membantu memperkuat sikap hormat dan positif terhadap diri sendiri dan sesama. Mengulangi Ayat atau Do'a: Dalam tradisi Islam, mengulangi do'a atau ayat-ayat tertentu merupakan praktek yang sering digunakan untuk menjaga kejernihan hati dan pikiran. Hal ini serupa dengan konsep ulangan dalam psikologi yang memanfaatkan kekuatan repetisi untuk menginternalisasi nilai-nilai dan mempengaruhi perilaku.
Terapi Ucapan: Psikoterapi sering menggunakan teknik seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang melibatkan mengulangi kalimat-kalimat yang merangkum pandangan realistis dan sehat tentang situasi yang dihadapi pasien. Ini membantu dalam menggantikan pikiran-pikiran irasional atau negatif dengan pandangan yang lebih seimbang.
Saran Ibnu Qayyim tentang pengaruh hati terhadap lisan dan sebaliknya memberikan panduan yang ndak hanya spiritual tetapi juga praktis dalam konteks modern. Teknik ulangan dalam psikologi, yang mirip dengan penggunaan do'a dan zikir dalam Islam, menunjukkan bahwa konsistensi dalam kata-kata yang kita pilih mempengaruhi keadaan internal kita dan bagaimana kita mengekspresikan diri kita ke dunia. Melalui disiplin dalam ucapan dan hati, kita bisa membentuk kehidupan yang lebih positif dan produktif.
Dalam salah satu karyanya yang berharga, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana lisan ndak hanya mencerminkan keadaan hati, tetapi juga memiliki potensi untuk mempengaruhinya. Kutipan dari "Al-Fawaid" yang menyatakan, "Lisan adalah penerjemah hati. Apa yang ada di hati akan tampak dari ucapan lisan. Jika hati bersih dan baik, maka ucapan pun akan baik. Namun, jika hati kotor, maka lisan pun akan kotor," menggambarkan hubungan timbal balik antara hati dan lisan. Konsep ini memiliki paralel yang menarik dengan teknik psikologi modern, khususnya dalam pemanfaatan ulangan ucapan sebagai alat sugesti untuk mempengaruhi pikiran dan emosi.
Dalam psikologi, teknik sugesti melalui ulangan sering digunakan untuk memprogram ulang pola pikir dan emosi seseorang. Ulangan kata-kata atau frasa tertentu secara konsisten dapat membantu mengubah sikap internal kita terhadap berbagai situasi. Misalnya, mengulangi afirmasi positif seperti "Saya mampu dan saya kuat" dapat membantu membangun kepercayaan diri dan mengurangi kecemasan.
Menurut Ibnu Qayyim, kebersihan hati terkait erat dengan kejernihan lisan. Ulangan kata-kata positif dapat dianggap sebagai alat untuk membersihkan hati, sama seperti air membersihkan fisik. Saat kita secara aktif memilih untuk mengulangi kata-kata yang membangun dan positif, kita sebenarnya sedang membersihkan hati kita dari pikiran-pikiran negatif dan toksik, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kualitas ucapan kita.
Penerapan Afirmasi Harian: Memulai hari dengan afirmasi positif dapat menetapkan nada untuk pemikiran dan interaksi yang lebih positif sepanjang hari. Misalnya, mengulangi "Saya menghargai diri sendiri dan orang lain" dapat membantu memperkuat sikap hormat dan positif terhadap diri sendiri dan sesama. Mengulangi Ayat atau Do'a: Dalam tradisi Islam, mengulangi do'a atau ayat-ayat tertentu merupakan praktek yang sering digunakan untuk menjaga kejernihan hati dan pikiran. Hal ini serupa dengan konsep ulangan dalam psikologi yang memanfaatkan kekuatan repetisi untuk menginternalisasi nilai-nilai dan mempengaruhi perilaku.
Terapi Ucapan: Psikoterapi sering menggunakan teknik seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang melibatkan mengulangi kalimat-kalimat yang merangkum pandangan realistis dan sehat tentang situasi yang dihadapi pasien. Ini membantu dalam menggantikan pikiran-pikiran irasional atau negatif dengan pandangan yang lebih seimbang.
Saran Ibnu Qayyim tentang pengaruh hati terhadap lisan dan sebaliknya memberikan panduan yang ndak hanya spiritual tetapi juga praktis dalam konteks modern. Teknik ulangan dalam psikologi, yang mirip dengan penggunaan do'a dan zikir dalam Islam, menunjukkan bahwa konsistensi dalam kata-kata yang kita pilih mempengaruhi keadaan internal kita dan bagaimana kita mengekspresikan diri kita ke dunia. Melalui disiplin dalam ucapan dan hati, kita bisa membentuk kehidupan yang lebih positif dan produktif.