Setiap Orang Itu Diawasi
Seorang nenek bercerita pada cucunya, "Zaman sekarang serba susah, Cu. Beda dengan zaman dulu. Ini beneran. Dulu belanja Rp5.000 di supermarket, sudah dapat roti, susu, mentega, sampo, sabun, bedak, lipstik, sampai obat nyamuk." Si cucu pun terheran-heran, "Banyak amat ya? Kalau sekarang, kok nggak bisa, Nek?" Balas si nenek, "Sekarang susah, Cu. Soalnya ada kamera CCTV di mana-mana." He he he, ngawur nih si nenek.
Uang itu ujian. Ketika banyak uang, sebagian orang malah bersandar sama uangnya, bukan Tuhan-nya. Demikian pula dengan relasi. Ketika punya banyak relasi, sebagian orang malah bersandar sama relasinya, bukan Tuhan-nya. Ada juga yang bersandar pada suaminya. Ada pula yang bersandar sama ilmunya. Macam-macam. Walhasil, dia pun semakin jauh dari Tuhan-nya. Sungguh, bukan itu yang Dia inginkan.
Selama ini, kita sering menyimpan dua kebodohan. Pertama, selalu lupa sama Allah, padahal Allah selalu ingat sama kita. Kedua, selalu ingat dan berharap sama manusia, padahal manusia selalu lupa sama kita. Syukurnya, kalaupun kita sempat lupa sama Allah, ternyata Allah masih dan selalu ingat sama kita. Apalagi kalau kita selalu ingat sama Allah, yah pastilah Allah lebih mengingat dan lebih menjaga kita! Be spiritual
- Lagi senang, ingat Allah. Lagi susah, ingat Allah. Inilah yang semestinya dan tentulah Allah akan melapangkan kita dari segala susah.
- Sesusah-susahnya kita, toh masih ada orang lain yang lebih susah. Yah, buat apa kita berkeluh-kesah? Apalagi sampai menyalah-nyalahkan Allah.
- Orang yang jauh dari Allah, ketika masalah menimpa, susahnya akan bertambah-tambah. Kenapa? Karena masalah itu sendiri dan tiadanya ridha Allah.
- Orang yang bersandar sama Allah, hampir-hampir tiada masalah yang berarti baginya. Hanya Allah yang besar baginya, yang lain terasa kecil.
- Menariknya, kalau Allah sudah ridha kepadamu, Ia akan memerintahkan penduduk langit untuk memberitahu seluruh penduduk bumi betapa Ia meridhai dirimu.
Kadang, beberapa masalah Allah izinkan terjadi, menimpa kita, agar kita ingat sama Allah dan kembali kepada Allah. Ketahuilah, sifat rahmat Allah ada kemiripannya dengan sifat melihat Allah. Itu terjadi sepanjang waktu, selalu. Beda dengan sifat murka Allah, itu tidak terjadi sepanjang waktu, hanya tertentu.
Kembali ke soal uang. Jelas, uang itu penting. Namun jelas juga, uang bukanlah nomor satu, bukanlah penentu. Sekiranya kita berpikir uang sebagai satu-satunya solusi, yah jangan heran kalau Allah berlepas tangan dari kita. Cari hartanya. Cukup, boleh. Banyakpun, boleh. Tapi hendaknya itu tersimpan di rekening kita, bukan di hati kita. Di hati kita hanya Allah yang utama. Yang paling bahaya, di rekening tak ada uang, namun, hati dan pikiran selalu membayang-bayangkan uang. Ia berlebihan mencintai dunia (hubud dunya) itu 'mainnya' di hati. Ketika berharta banyak, tetaplah sederhana. Ketika berharta sedikit, tetaplah qona'ah. Adalah keliru kalau kita mengganggap sederhana dan qona'ah identik dengan sedikitnya harta. Ke-li-ru.
Ada yang nyerocos, "Ini urusan bisnis, Mas. Ini urusan politik, Bung. Jangan bawa-bawa agama deh." Ini orang, mulut dan akalnya sama-sama konslet. Justru dalam segala aspek, yah agama mesti dibawa serta. Be spiritual! Dalam hidup ini, tak ada satu pun aspek yang terlepas dari tinjauan dan fatwa agama. Termasuk hubungan intim suami-istri sekalipun. Kebayang kalau jalanin bisnis dan politik tanpa mengindahkan rambu-rambu agama? Wong diwanti-wanti sama agama saja, kadang kita masih ngawur dan ngelantur! Apalagi kalau nggak 'bawa-bawa agama'.
Inilah yang namanya Ihsan, di mana kita yakin dengan keberadaan Allah. Selama ini, lazimnya Ihsan hadir saat kita berada di rumah ibadah. Yah, itu sudah, namun hendaknya Ihsan juga hadirsaat kita berada di kantor atau di mana saja. Jika Ihsan sudah hadir, maka kita akan jujur, tak akan mungkin curi-curi waktu, atau mengambil sesuatu. Dengan kata lain, kita akan beraktivitas dengan membawa nilai-nilai spiritualitas.
Setiap Kerja Itu Dinilai
Ngomong-ngomong, Anda punya masalah di tempat kerja? Punya kendala di tempat usaha? Tak perlu mencari-cari bahu untuk bersandar. Tak perlu menulis-nulis status tweet untuk berkeluh-kesah. Tolong jawab, buat apa? Cukuplah semua dibawa dalam sajadah, cukuplah semua dibawa dalam sujud. "Sepenting-pentingnya gelar sarjana, lebih penting lagi gelar dagangan dan gelar sajadah, he..he.." Berbeda dengan yang kita ketahui selama ini, ternyata sujud menyimpan berbagai hikmah.
Di antaranya :
- Satu sujud, seribu makna. Ada kehambaan di sana. Ada juga ketaatan, pengharapan, keikhlasan, kepasrahan, syukur, dan lain-lain.
- Sujud bukanlah pertanda kebuntuan dan kelemahan. Sebaliknya, sujud itu pertanda kebangkitan dan kekuatan, karena kita bersama Yang Maha Kuat! Sujud dulu, baru bangkit!
- Boleh dibilang, sujud adalah bukti keintiman hamba dengan Pencipta-nya.
- Allah nggak butuh sujudnya kita. Justru kitalah yang benar-benar butuh bersujud di hadapan Allah.
- Maka rendahkan sujudmu, rendahkan suaramu, rendahkan hatimu, niscaya akan terangkat dirimu.
- Percayalah, tempat sujudmu itulah tempat tertinggimu. Tempat yang terbaik untuk 'menaikkan' doa-doamu. Disarankan pula, ketika sujud dalam shalat, sempatkan diri untuk berdoa, karena itu adalah special moment.
- Rajin sujud? Rajin tahajjud? Tahu-tahu hajat terwujud! Bikin kita semua terkejut!
- Selain takbir, sujud adalah gerakan paling banyak dalam shalat.
- Ketika yang lain menganjurkan berlutut, Nabi menganjurkan kita untuk bersujjud.
Sungguh, hanya kepada Allah sajalah bersujud segala sesuatu, baik yang berada di langit maupun yang berada di bumi, termasuklah makhluk melata, pepohonan, gunung, bulan, bintang, matahari, sebagian besar manusia, dan para malaikat. Silahkan baca An-Nahl 49, Al-Hajj 18 dan Ar-Ra'ad 15.
Sayangnya, percaya atau tidak, di sekitar kita masih banyak muslim yang sujudnya kurang tepat alias meleset. Ah, masak iya sih? Yah, lihat saja jamaah ketika shalat Jumat. Ketika sujud, ada yang kakinya mengambang, ada yang ujung kakinya berlibat. Ada pula yang hidungnya tidak menyentuh lantai. Pertanyaannya, bagaimana cara sujud yang tepat? Sabda Nabi, "Bersujud itu dengan bertumpu pada tujuh anggota badan (yaitu) dahi-dan berisyarat dengan menyentuhkan tangan sampai ke hidung beliau, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua kaki," (HR Bukhari dan Muslim).
Sementara itu menurut Psikoneuroimunologi (ilmu kekebalan tubuh dalam perspektif psikologis) yang ditekuni Prof. Sholeh, bersujud secara rutin dapat membantu kecerdasan. Dan riset ini mendapat pengakuan dari Harvard University, Amerika. Kok bisa? Perhatikan saja! Saat sujud, posisi jantung berada di atas kepala. Nah, ini memungkinkan darah yang syarat oksigen mengalir lebih maksimal ke otak dan memicu kerja sel-sel. Dan khusus kaum hawa, bersujud secara rutin dapat menjaga fungsi kelenjar air susu dan memudahkan persalinan. Masya Allah, masih enggan untuk bersujud?
Ketika bersujud, perihal ihsan kembali berperan. Teramat jarang orang hatinya lalai dan abai saat sujud. Karena ia tahu persis :
- Allah dan hanya Allah yang berhak diberi sujud.
- Allah tengah dekat-dekatnya dengan dirinya dan Allah menilai setiap titik dalam sujudnya.
Itulah lazimnya sikap kita dalam sujud. Sarat dengan ihsan. Kebayang kalau ihsan ini dibawa dalam bekerja dan berusaha? Kita akan merasa Allah benar-benar menilai setiap titik dalam kerja dan usaha kita. Wah, akan dahsyat hasilnya dan jadilah Productivity with Spirituality.
Sumber Aturan Ketika Bekerja
Kita lanjutkan. Masih membekas di benak kita, bagaimana sekelompok orang Amerika membakar Al-qur'an beberapa waktu yang lalu. Terang saja, tindakan radikal ini mengundang kecaman keras, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Hati saya juga sempat panas ketika mengetahuinya. Dan saya yakin, pemeluk agama manapun akan bersikap begitu ketika tahu kitab sucinya dibakar.
Akan tetapi, salah satu guru saya menyodorkan wacana yang berbeda. Menurutnya, "Untuk tujuan dan alasan tertentu, lembaran-lembaran Al-qur'an (mushaf) mungkin saja dibakar." Kaget saya mendengarnya! Bagaimana mungkin seorang muslim, bahkan seorang guru, membenarkan lembaran-lembaran Al-qur'an (mushaf) dibakar? Hmm...ternyata, ada penjelasannya.
Sekarang, coba Anda jawab pertanyaan berikut. Apa sikap Anda terhadap mushaf yang telah rusak dan berserakan? Sebelum di jawab, pikirkan dulu baik-baik. Kalau di biarin, keadaan ini bisa mengurangi kitab suci. Contoh saja, kena kotoran, terinjak-injak, atau terselip di antara barang-barang dalam posisi tidak terhormat. Nah, menyikapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak elok ini, agama menawarkan dua solusi. Pertama, mushaf itu dibenamkan ke tanah (menurut mazhab Hanafi dan Hambali). Kedua, mushaf itu dibakar sampai habis (menurut mazhab Maliki dan Syafi'i). Komite Fatwa Arab Saudi (Lajnah Daimah) pun membenarkan kedua-duanya. Pilihan membakar ini diadopsi dan diadaptasi dari keputusan Usman bin Affan yang dulu juga pernah membakar mushaf. Meskipun saat itu, Sang Khalifah memiliki tujuan dan alasan yang sedikit berbeda. Lihat ya, secara kasat mata, tindakan mereka sama, yaitu membakar mushaf. Lantas di mana bedanya? Yah cuma di niat dan sikap. Kalau sekelompok orang Amerika tadi? Tujuannya untuk menghina kitab suci dan sikapnya penuh kebencian. Kalau muslim? Tujuannya demi menjaga kitab suci dan sikapnya penuh kepedulian.
Ada Al-qur'an yang dibakar, ada pula masjid yang di gusur. Yang sebenarnya, gimana baiknya respons seorang muslim atas peristiwa-peristiwa ini? Yang jelas, muslim manapun mana pun pastilah merasa gusar. Akan tetapi, muslim manapun juga meyakini, segala sesuatu dengan izin Allah. Kalau Dia tidak izinkan, yah tidak terjadi. Termasuk Al-qur'an yang dibakar dan masjid yang digusur. Bukan mustahil ini terjadi karena kesalahan muslim sendiri. Lho kok bisa? Gimana ceritanya?
- Selama ini, mata dan hati muslim tidak connect dengan Al-qur'an. Ketika muslim kurang menjaga Al-qur'an, maka bagaimana mungkin orang lain akan segan dengan Al-qur'an? Akhirnya orang tertentu berani membakar sesuatu yang tidak terjaga.
- Selama ini, raga dan hati muslim tidak connect dengan masjid. Ketika muslim kurang menjaga masjid, maka bagaimana mungkin orang lain akan segan dengan masjid? Akhirnya orang tertentu akan berani menggusur sesuatu yang tidak terjaga.
- Dari pada menyalah-nyalahkan faktor eksternal, ada baiknya berubah dan berbenah faktor internal. Itu lebih memperdayakan.
Al-qur'an sendiri, kalau ditelaah, memuat rahasia yang tiada habis-habisnya. Suatu ketika, ada yang bertanya, "Mengapa Al-qur'an tidak diturunkan sekaligus? Apa hikmahnya?" pertama, agar mudah dihafal. Kedua, agar mudah dipelajari. Ketiga, memberi kesan tersendiri karena turunnya merupakan respons dan refleksi atas kejadian-kejadian di masa itu. Kesan ini semakin mendalam mengingat penyusunan ayat-ayat bukanlah berdasarkan urutan turunnya. Menariknya lagi, ayat-ayat Makkiyah (turunnya sebelum hijrah, selama 13 tahun) menitikberatkan pada iman. Sedangkan ayat-ayat Madiniyah (turunnya setelah hijrah, selama 10 tahun) berbicara tentang hukum, halal haram, muamalat dan lain sebagainya. Ini sesuai dengan teori motivasi. Sebelum disuruh melakukan sesuatu, yah orang mesti ditanamkan motivasi dan keyakinan dulu (iman). Kalau motivasi dan keyakinan sudah berurat berakar, maka ranting-ranting teknis akan lebih mudah untuk dilakukan.
Lagi pula, kalau kita rajin dan rutin membaca Al-qur'an, Sang Pencipta menjamin perniagaan kita tidak akan merugi (ingatlah QS 35:29). By the way, membaca kitab suci, sebagian kita kok beralasan dan bermalasan ya? Sebagaimana penganut agama lain memuliakan kitab sucinya, demikian pula Muslim dengan kitab sucinya. Kalau peraturan perusahaan saja ditaati, yah apalagi kitab suci. Dan itu sudah semestinya. Jika kitab suci sudah menjadi sumber aturan, maka ketika bekerja :
- ia akan sungguh-sungguh dan tidak suka menunda-nunda (baca QS 94:7)
- ia akan berusaha mematuhi pemimpinnya (baca QS 4:59)
- ia akan menhormati rekan kerjanya (baca QS 28:77)
- ia tidak akan iri pada rekan kerjanya (baca QS 4:32)
- ia tidak akan curi-curi waktu apalagi menipu (baca QS 83:1-3).
No comments:
Post a Comment